Sat. Apr 20th, 2024

angkaberita.id

Situs Berita Generasi Bahagia

Ke Lingga (1): Melacak Mitos Kampung Kado, Menikmati Pancur “Hongkong” Di Selatan Kepri

5 min read

suasana pelantar di kawasan pancur, kecamatan lingga utara, kabupaten lingga belum lama ini. pancur merupakan kawasan perekonomian sekaligus pecinan di kabupaten lingga, khususnya pulau lingga/foto robby patria

Ke Lingga (1): Melacak Mitos Kampung Kado, Menikmati Pancur “Hongkong” Di Selatan Kepri

angkaberita.id – Sejak masih bernama Selingsing, Kabupaten Lingga hingga sekarang tak jauh dari tiga wilayah penyangga itu, termasuk urusan perekonomian dan demografi. Selingsing kependekan dari Senayang, Lingga dan Singkep.

Ketiganya juga terus berkembang, bahkan belum lama ini, telah mekar menjadi sejumlah kecamatan baru seiring bertambahnya jumlah desa pemekaran di kabupaten berjuluk Negeri Bunda Tanah Melayu itu. Data Dinas PMD Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kepri, Lingga menjadi kabupaten dengan jumlah desa terbanyak di Bumi Segantang Lada.

Tak heran, alokasi dana desa di kabupaten gerbang selatan Provinsi Kepri, itu juga terus bertambah. Selain dana desa, penggerak perekonomian di kabupaten tapal batas dengan Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Jambi, ialah sektor perkebunan. Kemudian perikanan dan perdagangan, khususnya antarpulau.

Sektor pertambangan, di masa lalu, juga menjadi penopang perekonomian di Lingga. Bahkan, hingga tahun 2018, berdasarkan data BPS Kepri, bersama dengan sektor manufaktur dan konstruksi, sektor pertambangan menjadi nyawa perekonomian Kepri. Jauh sebelum itu, di masa Kesultanan Riau Lingga, sektor pertambangan juga menjadi andalan.

Saat itu, seperti Bangka Belitung di masa kini, Lingga dikenal sebagai gudangnya timah. Lokasinya di Pulau Singkep, dengan jantung perekonomiannya di Dabo, sebagai konsesi kesultanan kepada Belanda agar tak merecoki kesultanan di Daik, Pulau Lingga. Jejak dan bekas konsesi pertambangan itu, masih terjaga hingga kini.

Seperti Kepri di masa kini, Kesultanan Lingga memiliki dua penjuru perpindahan penduduk. Ialah Daik di Pulau Lingga dan Dabo di Pulau Singkep. Satu berstatus ibukota kesultanan sekaligus pusat kekuasaan politik, dan satunya berperan jalur penghubung usaha ekstraksi kolonial Belanda di era 1900-an.

Daik di masa lalu, tak ubahnya Tanjungpinang di Kepri masa kini. Dabo di waktu itu, mirip dengan Batam sekarang. Yakni, pusat perekonomian. Tidak heran, jika pada akhirnya, sejumlah nama besar pengusaha di Kepri, untuk sebagian, berasal dari Lingga. Karena di masa lalu, wilayah itu merupakan pusat perputaran uang dan perniagaan.

Pecinan Pancur

Selain Daik dan Dabo, di Kabupaten Lingga, denyut perekonomian juga terasa di Pancur, kecamatan di utara kabupaten terkenal dengan lanskap Gunung Daik itu. Sektor perdagangan dan perikanan menjadi urat nadi kehidupan kecamatan itu, dan Pulau Lingga secara umum.

Selain pasar dan akses transportasi, indikasi sederhana denyut perekonomian, tentu saja perbankan. Ada Bank Riau Kepri di sini. Pancur, bersama Pelabuhan Sei Tenam dan Pelabuhan Buton, menjadi lokasi akses tranportasi feri ke Batam dan Tanjungpinang.

Pelabuhan Buton di Daik, dan Pelabuhan Jagoh di Dabo menjadi pilihan warga melaut ketika musim barat menghempas. Sebaliknya, Pelabuhan Sei Tenam menjadi pilihan sewaktu angin musim selatan menderu di kepulauan. Denyut kehidupan Pancur terkonsentrasi di muara. Pasar dan deret pertokoan menjadi saksi bisu.

Selain konsentrasi perekonomian kecamatan, Pancur juga menjadi pusat kebudayaan, khususnya budaya Tionghoa. Tak aneh, lanskap di kawasan, termasuk bentuk rumah dan jembatan mirip dengan facade rumah pelantar di Tiongkok daratan. Bisa dikatakan, Pancur merupakan pecinan di Pulau Lingga.

Tak heran, dari mulut ke mulut, terdengar sebutan Pancur “Hongkong” nya Lingga. Klenteng besar, termasuk tertua di Lingga juga menjadi penanda di kawasan itu. Seperti pecinan lainnya di Kepri, pecinan Pancur juga lekat dengan suku tertentu. Yakni, Teochew sebagai suku Tionghoa dominan di lokasi.

Selain Teochew, suku Tionghoa di Kepri sesuai daerah asal leluhur, juga terdapat suku Hokkien, Hakka atau Kek, Hainan dan sebagainya. “Kalau Pancur kebanyakan Teochew,” ungkap Edyanto, Peminat Budaya Tionghoa di Tanjungpinang, belum lama ini.

Dia juga tak menampik, jika setiap suku memiliki kesuksesan di bidang tertentu, meskipun sifatnya tidak mutlak. Semisal, suku Kek hebat berkebun, Teochew berdagang, Hokkien di bidang politik.

Selain sebagai lokasi berniaga, seperti pecinan di Tanjungpinang dengan pusatnya di kawasan Potong Lembu hingga ke Pasar, Pancur juga menjadi lokasi permukiman. Kondisi serupa juga terlihat di Tanjungbatu dan Meral, lokasi pecinan di Karimun.

Bersama Lingga, belakangan pengusaha asal pecinan itu juga besar di Kepri, khususnya di Batam. Sejumlah pengusaha besar di Kepri, untuk sebagian, dapat disebut berasal dari daerah pulau.

Pembukaan Batam di era 1970-an menandai ekspansi bisnis dan peruntungan mereka dengan berhijrah dari pulau masing-masing. “Bisa disebut seperti itu,” kata Suyono Saputra, Pengamat Ekonomi Kepri di Batam, mengonfirmasi fenomena itu.

Kampung Kado

Selain pecinan, Pulau Lingga juga kaya lanskap wisata dan atraksi kebudayaan. Tak heran, di masa Bupati Alias Wello, bersama sektor agroindustri menjadi andalan penyumbang PAD. Kabar baiknya, tahun PAD Lingga di APBD 2021 beringsut naik di saat kabupaten lainnya berkurang, bahkan kosong kas daerah akibat pandemi COVID-19.

Selain wisata alam dan spiritual, Pulau Lingga khususnya Daik juga kaya destinasi wisata kultural, meskipun sebagian di antaranya belum dikembangkan. Selain cagar budaya dan seni tradisi, kekayaan budaya Daik Lingga juga mencakup legenda dan cerita rakyat bergenerasi di tengah masyarakat.

Satu di antaranya Kampung Kado. Konon, gadis-gadis dari kampung itu di masa lalu dikenal cantik-cantik. Sehingga menjadi “kembang desa” di masa kesultanan. Benarkah? “Itu cerita rakyat saja. Karena belum dikaji dan belum ditemukan bukti sejarahnya,” kata Nadar, Budayawan Di Lingga, pada satu kesempatan.

Soal kampung di Lingga, memang banyak cerita-cerita di baliknya. Namun tak seluruhnya dapat dilacak. Bahkan, berdasarkan riset Dinas Kebudayaan Lingga dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) Tanjungpinang, saat penelusuran toponimi di tahun 2017, total terdapat 82 desa atau kelurahan belum dikaji riwayat asal usul tempatnya.

Dedi Arman, Peneliti BNPB Tanjungpinang, menulis tak mudah menelusuri toponimi di Lingga. Dari 531 pulau besar dan kecil, sebanyak 447 di antaranya belum berpenghuni saat itu. Tak banyak warga tempatan mengetahui riwayat kampung halamannya.

Namun, secara umum, dari puluhan tempat, biasanya penamaan mengacu pada kondisi geografis, sejarah dan ketokohan seseorang di kampung itu. Desa Bukit Belah di Kecamatan Singkep Barat, tulis Dedi, lantaran perkampungan dulu berlokasi di antara dua bukit.

Begitu juga Desa Tajur Biru, selain lokasi berbentuk tanjung juga disebut terdapat sumur berair biru dan tak pernah kering. Contoh lainnya, Dabo Singkep konon terkait kisah La Abo, pemuda Buton dan Singkek (boleh jadi merujuk suku Kek), pemuda Tionghoa.

Keduanya berlayar dan terdampar di pulau kosong, kini bernama Dabo Singkep. Desa Jagoh, lokasi Pelabuhan Jagoh di Singkep, dulu disebut sebagai desa jawara atau orang jago. Para jagoan dari Buton, Jambi, Bugis, Makasar dan tempat lainnya, bertemu di situ dan beradu kesaktian.

Ada juga penamaan lantaran penduduk terbanyak tinggal di daerah itu, seperti Kampung Boyan dan Kampung Muntok, merujuk orang Boyan dan Bangka di masing-masing tempat itu.

Pun, penamaan daerah Raya dan Kote. Selain Dabo, di masa kejayaan tambang timah, Raya merupakan pusat perekonomian Pulau Singkep. Di Raya, rumah berciri khas bangunan Belanda, seperti Loji perkebunan teh di Jawa, masih berserak menjadi saksi bisu. Di masa timah, orang mengenalnya sebagai Kuala Raya.

Begitu juga Kote, Singkep Pesisir, dulu merupakan pelabuhan dan pusat perekonomian. Tak heran, karena belum tersentuh kajian dan terungkap bukti sejarahnya, seperti Kampung Kado, legenda Pulau Mapar juga menghiasi hari-hari tradisi lisan di Lingga, terutama satu pulau sepelemparan batu dari Pelabuhan Buton, Daik itu.

Selebihnya, ke Daik berarti harus menyaksikan tiga puncak kembar Gunung Daik, atau membasuh muka di air terjun Resun. Bagi penyuka pemandangan sawah, Pancur merupakan lokasi memuaskan rasa kangen mata terhadap panorama persawahan di Pulau Jawa.

(*)

Bagikan