COVID-19: Anomali Endemi, Kenapa Usia Produktif Cenderung Abaikan Vaksinasi?
angkaberita.id – Berbeda dengan Lansia, berdasarkan survei Survei Nasional Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), warga kelompok usia muda cenderung tidak menginginkan vaksinasi. Padahal pemerintah memprioritaskan vaksinasi warga usia produktif, usia 18-59 tahun. Kenapa?
Seperti dikutip Katadata, dalam surveinya SMRC menyimpulkan, Lansi cenderung menginginkan vaksinasi COVID-19 lantaran mereka menyadari termasuk kelompok berisiko tinggi. Kecenderungan itu, masih berdasarkan hasil survei itu, terutama di kaum pria, warga penghasilan lebih tinggi serta warga tinggal di pedesaan.
Sebanyak 42 persen warga berusia 55 tahun menyatakan bersedia vaksinasi, sedangkan usia lebih muda kian menurun kebersediaannya. Usia 41-55 (41%), usia 26-40 (36%), dan di kelompok usia 25 tahun ke bawah (31%). Manajer Kebijakan Publik SMRC, Tati Wardi, menegaskan, temuan itu krusial lantaran kebijakan vaksinasi menyasar kaum muda.
“Mungkin karena kesadaran bahwa mereka lebih rentan terkena Covid-19 dibandingkan kaum muda,” ujar Tati dalam rilis daring survei SMRC bertajuk “Kepercayaan Publik Nasional pada Vaksin dan Vaksinasi Covid-19” pada Selasa (22/12).
Survei SMRC juga mengungkapkan, variabel penghasilan, jenis kelamin, dan wilayah tempat tinggal berpengaruh terhadap kesediaan vaksinasi. Survei mengungkapkan, sebanyak 54 persen warga berpenghasilan lebih dari Rp 4 juta per bulan justru paling bersedia vaksinasi.
Kemudian hanya 30 persen warga berpenghasilan Rp 2 juta atau kurang per bulan bersedia vaksinasi. Berdasar gender, hanya 42 persen warga pria bersedia mengikuti vaksinasi, kemudian kaum perempuan hanya 32 persen. Kemudian, berdasarkan data, 41 persen warga pedesaan bersedia vaksinasi, bandingkan dengan warga perkotaan hanya 32 persen.
Merasa Kebal?
Lalu bagaimana dengan perbandingan antarwilayah? Hasil survei, warga di DKI+Banten paling rendah kesediaan vaksinasi. Hanya 14 persen warga di situ bersedia vaksinasi ketika vaksin tersedia. Jawa Tengah lebih tinggi, yakni 33 persen.
Begitu juga dengan Jawa Barat mencapai 42 persen, bahkan Jawa Timur menembus 49 persen. “Sosialisasi vaksinasi ini nampaknya harus lebih gencar dilakukan di DKI+Banten,” kata Tati sembari menegaskan, keduanya juga terbilang tinggi penambahan kasusnya.
Hasil survei, jelas Tati, juga mengungkapkan temuan lain. Yakni, sekitar 28 persen warga ternyata tidak takut tertular COVID-19, jauh lebih banyak persentasenya dibanding survei pertama pada 16-19 Desember 2020. “Ketika itu persentase yang tidak takut baru 16 persen, sekarang meningkat menjadi 28 persen,” ujar Tati.
Begitu juga dengan proporsi warga takut tertular juga turun menjadi 71 persen dari sebelumnya proporsi 84 persen pada survei 7-10 Oktober 2020. Kondisi itu berpengaruh terhadap kesediaan vaksinasi.
Survei SMRC mengungkap, warga menyatakan tidak takut tertular, 29 persen di antaranya masih bersedia vaksinasi. Sebaliknya, dari warga menyatakan takut tertular tertular COVID-19, hanya 40 persen bersedia vaksinasi.
“Dengan kata lain, semakin tinggi keyakinan warga mereka tidak akan tertular, semakin rendah keinginan mereka divaksinasi,” kata Tati. Nah, penurunan proporsi warga takut tertular konsisten dengan penurunan tingkat keyakinan publik pada jumlah kasus COVID-19.
Pada awal Oktober 2020, sekitar 82 persen warga yakin jumlah kasus positif Covid-19 semakin banyak. Namun proporsi itu menurun, menjadi 65 persen dalam survei terakhir (16-19 Desember 2020). Padahal, kasus COVID-19 memang terus meningkat.
Jubir Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito, angka kasus aktif nasional berada di angka 15,08 persen pada 13 Desember 2020. Angka itu lebih tinggi dari angka tertinggi kasus aktif pada November 2020, sebesar 13,78 persen. “Tentunya ini bukan perkembangan yang diharapkan,” ujar Wiku dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Kamis (17/12/2020).
Survei nasional SMRC dilaksanakan pada 16–19 Desember 2020 melalui wawancara per telepon kepada 1.202 responden yang dipilih secara acak. Margin of error survei diperkirakan +/-2.9 persen.
Terkait vaksinasi, pemerintah menargetkan 70 persen penduduk, setara 182 juta jiwa dapat terimunisasi demi terbentuknya kekebalan komunitas (herd immunity). “Diharapkan dengan semakin mudahnya akses vaksin yang dapat diperoleh masyarakat, kekebalan imunitas dapat dicapai dengan lebih cepat,” ujar Wiku Adisasmito, menambahkan.
(*)