COVID-19: Bukan Hanya Vaksin, Lawan Kebosanan Justru Kunci Memenangi Pandemi, Kenapa?
angkaberita.id – Hingga tersedianya vaksin, sebagian pakar kesehatan sepakat, kunci melawan penularan COVID-19 ialah senantiasa menerapkan protokol kesehatan. Namun, kondisi itu tak semudah membalikkan telapak tangan lantaran menyangkut perubahan perilaku.
Terbukti, kasus COVID-19 di tanah air, termasuk di Kepri, terus bertambah. Kini, bahkan tantangan kian berat lantaran setelah sembilan bulan menghadapi pandemi COVID-19, publik agaknya mulai bosan dengan kondisi itu. Bahkan, bagi sebagian warga, mereka malah meyakini kebal dengan virus.
Kampanye jangan kendor pakai masker dan #IngatPesanIbu menjadi ikhtiar melawan bosan. Kemenkes mengakui kondisi itu. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, penerapakan 3M menurun sejak libur panjang akhir Oktober 2020.
Akibatnya, kurun 8-22 November, kasus meningkat. Praktik memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, menurut Siti, mulai diabaikan masyarakat lantaran bosan. Masyarakat juga jenuh dengan pembatasan itu. Apalagi, menurutnya, karakteristik masyarakat di tanah air masih sangat komunal.
“Dari sifat masyarakat ini kita lihat terutama saat libur panjang ada penurunan penerapan 3M,” kata Siti. Selain kebosanan, disinformasi COVID-19 secara massif termasuk di media sosial, secara psikologis, juga mengikis kepercayaan publik terhadap bahaya COVID-19. Memulihkan kepercayaan tidak mudah, namun harus tetap diupayakan.
“Ini kan termasuk perubahan perilaku ya, jadi masyarakat kita itu harus terus diingatkan soal 3M agar menjadi suatu kebiasaan dan bagian dari gaya hidup,” ujar Siti seperti dilansir Katadata mengutip laporan Antara, Jumat (11/12/2020).
Tak heran, berangkat dari premis itu, mencuat perdebatan. Tingginya kematian akibat COVID-19, termasuk di tanah air, murni genetik atau akibat perilaku masyarakat? Genetik merujuk penyakit penyerta, dan sebagian besar terjadi pada kaum pria.
Struktur Kebosanan
Saat bosan, siapapun individunya akan malas melakukan sesuatu. Begitu juga saat pandemi COVID-19 dengan kebiasaan baru protokol kesehatan. Menghilangkan kebosanan, biasa mendengarkan musik, melihat media soial dan sebagainya. Lalu kenapa kita bosan? Apa pemicunya? Terakhir, apa itu bosan?
Berdasarkan penelitian John Eastwood, Psikolog Universitas York di Kanada, kebosanan merupakan kondisi monoton dan berulang tanpa dapat keluar dari keadaan secara terus menerus. Dia menerbitkan hasil risetnya di Jurnal Association for Psychological Science dan Jurnal Perspectives on Psychological Science, edisi September 2012.
Seperti ditulis warstek.com, tinjauan terhadap penelitian kebosanan, dengan objek pengaturan pendidikan, terungkap kebosanan merupakan kombinasi kurangnya hormon kegembiraan dan adanya kondisi ketidakpuasan, frustasi atau tidak tertarik akan suatu ikhwal. Seluruhnya akibat kurangnya sesuatu yang dapat menghibur.
James Danckert, profesor ilmu saraf kognitif di University of Waterloo, Kanada, dalam terbitan Live Science mengatakan, “Satu aspek yang disetujui sebagian besar orang bahwa kebosanan itu tidak menyenangkan. Dengan cara ini, kebosanan tidak sama dengan sikap apatis, karena orang-orang yang bosan dalam beberapa hal termotivasi untuk mengakhiri kebosanan mereka”.
Kabar baiknya, kebosanan bukan gejala pemicu keputusasaan. Penyebab kebosanan beragam, semisal melakukan sesuatu secara berulang dan monoyon. Kebosanan, pada akhirnya, serupa dengan kelelahan mental akibat pengulangan seperti narapidana di dalam penjara, atau kondisi menunggu pesawat delay.
Sejumlah orang lebih mudah bosan dibanding lainnya, dan karenanya individu ekstrovert cenderung mudah bosan. Bagi mereka, rangsangan eksternal diperlukan. Nah, bisanya mereka akan mencari sesuatu baru atau melakukan ikhwal berisiko demi mengobati kebosanan.
Selain individu ekstrovert, kebosanan juga mudah menghinggapi mereka dengan kecerdasan di atas rata-rata alais IQ tinggi lantaran merasa semua mudah dilakukan, sehingga habis waktunya buat berpikir ketimbang beraktivitas fisik. Kebosanan juga terkait masalah perhatian, dan itu artinya konsentrasi.
Orang dengan masalah perhatian kronis, seperti gangguan hiperaktif, cenderung cepat bosan. Selain mendekatkan diri kepada sang pencipta, kunci menghindari kebosanan ialah pengendalian diri. Mereka yang memiliki kontrol terhadap kebosanan memiliki kreativitas lebih tinggi.
Memperbanyak kontemplasi, untuk sebagian, dapat memacu kreativitas. Satu penelitian di Inggris mengonfirmasi kondisi itu. Pengujian berupa menyelesaikan tantangan kreatif. Satu kelompok subjek melakukan aktivitas membosankan lebih dulu, lainnya langsung ke tantangan.
Hasilnya, kelompok dengan pemanasan aktivitas membosanan justru lebih produktif karena subjek merasa bosan dan akan berusaha keluar dari kebosanan mencari hal baru untuk dikerjakan sekaligus mengusir kemonotonan. (*)