Pilkada Di Kepri (8): Hukum Tak Tertulis Daik-Dabo, Pilbup Lingga Tarung Ulang Nasdem-Golkar?
angkaberita.id – Selain penegasan hukum tak tertulis Daik-Dabo, hajatan pemilihan bupati (Pilbup) Lingga juga tak ubahnya pertarungan ulang Nasdem dan Golkar. Selain bertambah perolehan dukungan suaranya di Pileg 2019, keduanya selama dua Pilbup terakhir juga menjadi kekuatan politik utama di kabupaten bertajuk Bunda Tanah Melayu itu.
Analisis terhadap sebaran dukungan pemilih selama dua Pileg terakhir, khususnya sebaran kursi di DPRD Lingga periode 2014 dan 2019 mengonfirmasi gambaran itu. Begitu juga dengan hasil Pilbup terakhir di tahun 2015. Bedanya, di Pilbup 2015 duet Hanura dan PKS menyodok di antara pertarungan Nasdem dan Golkar.
Hasilnya, saat itu, Alias Wello-Muhammad Nizar usungan Partai Nasdem mendapatkan suara lebih banyak dibanding tiga pesaingnya. Pilbup kali ini, agaknya konstelasi persaingan tidak berubah, meskipun Hanura redup di Pileg 2019. Bedanya, PKS kali ini menggamit Golkar menantang Nasdem.
Di Pilbup 2015, mengusung Herlianto-Al Ghazali, duet Hanura-PKS sukses memberikan kejutan ke Nasdem dan Golkar. Meskipun kalah suara dibanding jagoan Nasdem, Wello-Nizar, paslon mereka mengungguli suara duet Usman Taufiq-Siti Aisyah, paslon usungan Partai Golkar.
Berdasarkan persentase raihan suara, praktis hanya paslon Hanura-PKS sanggup memberikan perlawanan. Duet itu, bahkan berdasarkan hasil rekapitulasi perolehan suara, tercatat mengungguli Wello-Nizar di Kecamatan Lingga Utara dan Kecamatan Selayar. Berbeda dengan Pilbup sekarang, persaingan saat itu terbelah menjadi 4 paslon.
Peta politik saat itu, empat parpol mendominasi di DPRD Lingga, yakni Nasdem, Golkar, Hanura dan Demokrat. Keempatnya di Pilbup 2015, mengusung jagoan masing-masing. Peta politik terkini, kondisinya berubah. Nasdem dan Golkar menjadi dua kekuatan utama perpolitikkan di Lingga.
Pemain barunya, tentu saja Gerindra sebagai imbas Pileg dan Pilpres 2019, dengan Demokrat tetap bertahan, meskipun tergerus suaranya. Hanura tumbang seiring dengan redup pamornya di pentas nasional. Gerindra di Pilbup perdana di Kabupaten Lingga mengusung duet Riki dan Raja Supri.
Bersama dengan PDIP dan PKB, mereka bersiap memberikan kejutan ke dua pesaingnya. Yakni, Nizar-Neko dengan tulang punggungnya Nasdem dan Ishak-Salmizi dengan penjaga benteng utamanya Golkar.
Memang Pilbup patokannya figur paslon, namun khusus Lingga, kalkulasi kekuatan parpol agaknya tak bisa dikesampingkan. Siapa berjaya? Setidaknya terdapat tiga faktor menjadi kunci memenangi hati pemilih di Pilbup Lingga.
Koalisi Daik-Dabo
Dalam politik dikenal adagium ‘size does matter’, setiap suara begitu penting. Khusus di Lingga, pernyataan itu harus ditafsir bagaimana menyeimbangkan relasi Daik dan Dabo, dua pulau utama penyusun kabupaten tapal batas selatan Kepri itu. Selain berstatus ibukota kabupaten, Daik juga memiliki nilai politis sebagai pusat kultural.
Sejarah mencatat, Kerajaaan Riau Lingga berpusat di sini, hingga datangnya Belanda di era 1920-an. Dabo, belakangan dikenal sebagai daerah pertambangan timah di tanah air, juga memiliki nilai politis sebagai pusat ekonomi, urat nadi kehidupan sosial ekonomi warga Lingga.
Dengan status politis masing-masing, keduanya saling melengkapi sehingga relasi mereka menjadi kunci menentukan pendulum kekuasaan di Lingga melalui Pilbup. Menafikan relasi itu, untuk sebagian, bakal memicu pasang surut relasi kekuasaan. Daria, Bupati Lingga dua periode, membuktikan tuah dari hukum tak tertulis itu.
Dia melenggang ke periode kedua setelah pesaingnya murni bertarung dengan tiket duet Dabo-Dabo. Dengan kata lain, bertarung di Pilbup Lingga, meskipun tidak tertulis, mensyaratkan paslon harus berbekal tiket Daik-Dabo. “Soal posisi tidak masalah, bisa bupati atau wakilnya, dan sebaliknya. Harus ada perwakilan Daik dan Dabo di paslon itu, itu kecenderungannya,” ungkap seorang aktivis Lingga yang pernah duduk di KPU, belum lama ini.
Aktivis Lingga lainnya, dan sehari-hari menjadi tenaga pendamping desa, secara terpisah juga mengonfirmasi kecenderungan itu. Katanya, kecenderungan pemilih di Lingga memang seperti itu. “Ada semacam persaingan (kultural) soal penentuan pasangan calon maju Pilkada,” ujarnya, dalam satu kesempatan perbincangan, baru-baru ini.
Sejatinya, kecenderungan serupa juga bukan hanya terjadi di Lingga. Nyaris di setiap hajatan politik, soal keterwakilan dan representasi, selalu menjadi isu paling pertama dinegosiasikan di setiap pencalonan. Secara kebudayaan, istilah itu dikenal sebagai cultural endorsement, yakni daerah secara turun temurun melahirkan kepemimpinan dan pemimpin.
Contoh faktual lainnya di Provinsi NTT. Setiap pemilihan di sana, selalu memperhitungkan keterwakilan calon dari Pulau Flores dan Timor, dua pulau utama di sana. Keduanya, secara kultural juga berbeda, termasuk soal keyakinan agama.
Tradisi Petahana
Faktor kedua ialah tradisi petahana. Kecenderungan itu, agaknya juga berlaku secara umum di Kepri, dengan pengecualian dalam beberapa tahun terakhir di Natuna dan Tanjungpinang. Selebihnya petahana berlanjut dan atau menuntaskan dua periode masa jabatannya, termasuk saat berstatus sebagai orang kedua di kepemimpinan daerah itu.
Memang belum ada kajian secara khusus soal premis itu, namun berkaca dari jejak rekam kepemimpinan di daerah tadi sepanjang 10-15 tahun terakhir, petahana di Kepri cenderung berlanjut atau bertahan dengan kekuasaannya. Warga, dan pada satu titik calon pemilih, cenderung menginginkan keberlanjutan.
Apalagi, jika petahana dianggap benar-benar “membangun” dengan bukti secara fisik. Harus diakui, berbeda dengan daerah lainnya, tantangan kepemimpinan di Kepri memang soal infrastruktur dan, itu artinya, pembangunan fisik.
Lingga di masa Daria dan Wello berusaha menerjemahkan keinginan itu dengan kebijakan masing-masing. Wello, untuk sebagian, dengan membangunan sektor agroindustri seperti perkebunan dan mencetak sawah.
Di kabupaten lain, jalan dan taman, penataan kota dan bedah rumah menjadi andalan. Namun kondisi pandemi COVID-19, untuk sebagian, menjadikan tafsir pembangunan itu bakal bergeser. Soal kesehatan agaknya bakal menjadi dambaan calon pemilih, meskipun pembangunan bersifat padat karya tak bisa dikesampingkan seiring lesunya ekonomi akibat pandemi berujung lonjakan pengangguran.
Tradisi itu diyakini bermuara pada kecenderungan daerah mengandalkan APBN dan APBD sebagai penggerak pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur. Kondisi menjadi-jadi seiring tenggelamnya sektor pertambangan dan manufaktur di Kepri beberapa watu terakhir. Praktis, dana perimbangan melalui APBD menjadi andalan membiayai belanja tahunan daerah. Pendeknya, terpersepsikan, petahana yang punya ‘duit’.
Duel Cadangan
Selain melambungkan Gerindra, harus diakui Pileg dan Pilpres 2019, juga melejitkan Nasdem dan PKS. Di Kepri, bahkan dua nama terakhir duduk di unsur pimpinan DPRD. Selain Lingga dan Karimun, tanpa mengecilkan Batam, keduanya rutin menyumbang kursi ke DPRD Kepri periode 2019-2024. Dari 45 kursi, 6 kursi DPRD Kepri berasal dari Fraksi PKS, tersebar di tiga daerah pemilihan.
Dapat disebut, di Bumi Segantang Lada, keduanya merupakan benteng konstituen parpol yang baru berganti logo itu. Di Lingga dan Karimun, parpol yang disebut terbelah menjadi dua faksi yakni keadilan dan sejahtera, itu juga duduk di unsur pimpinan DPRD. Tak heran, PKS percaya diri mencalonkan kadernya di Pilkada 2020.
Berkaca pada Pilbup 2015, duet Hanura-PKS memberikan kejutan. Namun, seperti di Karimun, hadirnya Gelora di kubu pesaing paslon usungan PKS bakal menjadi duel cadangan di Pilkada itu. Gelora diyakini lahir sebagai perlawanan ideologis terhadap PKS. Di Kepri, semisal Batam, Bintan dan Pilgub, Gelora selalu bergabung di kubu pesaing paslon usungan PKS.
Hasil rivalitas mereka, boleh jadi, bakal memberi tekanan terhadap peta persaingan Pilbup Lingga sekarang. Persaingan tiga paslon kian menarik karena Gerindra, bersama dengan PKB dan PDIP diyakini, perlahan namun pasti, menguat di Lingga menjadi poros ketiga di antara dua kubu Nasdem-Golkar.
Bukan tidak mungkin, poros itu melahirkan kejutan di Pilbup. Apalagi Daria, Bupati Lingga dua periode, konon turun ke akar rumput menggalang dukungan ke duet usungan trio PDIP, PKB dan Gerindra itu. “Pak Daria juga mulai turun,” ungkap aktivis Lingga yang juga tenaga pendamping desa, menambahkan perkembangan terbaru di Pilbup Lingga. Bagi Daria, bisa jadi, pertaruhannya soal legacy atau warisan kepemimpinan dari penggantinya. Siapa berjaya?
(*)
UPDATE: Perbaikan Infografis Berjudul “Nasib Lingga Tergantung….”, Jumlah Seharusnya 244 TPS, Sebelumnya Tertulis 170 TPS. Terima Kasih