angkaberita.id – Seperti kisah Ken Arok di Kerajaan Singosari, Jawa Timur, kisah-kisah tragis dan bahagia selalu menyertai jatuh bangun perjalanan para bangsawan darah biru di berbagai kerajaan di dunia.
Kisah Ken Arok seperti membenarkan mitos segitiga kekuasaan: harta, takhta dan wanita. Dengan Ken Dedes sebagai tokoh sentralnya. Permaisuri sekaligus ibu pelahir dua garis keturunan bangsawan yang berbeda.
Seiring turun takhtanya Kaisar Akihito di Jepang, pada 30 April 2019, dunia juga telah mencatat jatuh bangunnya sejumlah bangsawan meniti pergulatan kebangsawanan dan intrik istana di sejumlah negara.
Catatan theguardian.com, sebagian di antaranya malah berakhir dengan hukuman mati. Ratu Skotlandia, Mary merupakan contohnya. Dia dipenggal pada 1587 saat revolusi meluluhlantakan takhta Inggris Raya.
Di Mesir, sejarah mencatat Cleopatra, Ratu Mesir bunuh diri minum racun seperti kepercayaan yang berkembang bergenerasi dan bergulir dari cerita mulut ke mulut. Kisah tragis juga dialami Julius Caesar, dia ditikam sejawat nya saat bertakhta di Kekaisaran Romawi.
Di Inggris, pada 1485, Raja Richard III merupakan raja terakhir Inggris yang tewas saat bertempur. Jasad telanjangnya ditarik seekor kuda dari medan pertempuran.
Namun sebagian lainnya, terpaksa turun takhta lantaran kondisi sakit dan sesuatu yang membuat hidupnya tertekan. Raja Inggris George III terpaksa mengakhiri kekuasaannya lantaran disebut secara mental, sakit.
Begitu juga John II Casimir, Raja Polandia 1648-68, dia akhirnya malah memilih menjadi biarawan dan meninggalkan takhta. Kekaisaran Romawi juga mencatat Kaisar Diocletian akhirnya turun takhta lantaran sakit.
Pada 1848, Raja Louis-Philippe dari Prancis didepak dari singgasana lantaran perlawanan dari rakyatnya. Namun seiring waktu, kisah-kisah tragis para bangsawan di masa kejayaannya berkurang.
Berbeda dengan bangsawan di abad pertengahan, belakangan banyak pewaris darah biru di Eropa yang memilih menyelesaikan kemelut politik dengan cara damai.
Ratu Beatrix semisal, pada 2014 memilih menyerahkan takhtanya kepada sang putra mahkota, Pangeran Willem Alexander. Langkah Ratu Beatrix bahkan sempat diyakini bakal menjadi cara paling menyelamatkan sejarah kerajaan dibanding perpindahan kekuasaan dengan cara lainnya.
Di Inggris, langkah Beatrix secara sukarela menyerahkan kekuasaan ke putra sulungnya, juga diyakini merupakan skenario terbaik buat Kerajaan Inggris saat ini.
Pangeran Charles bersama sang ibunda, Ratu Elizabeth II merupakan pemegang rekor Guinness Book World Record, masing-masing sebagai putra mahkota dan ratu terlama.
Sejarah Kerajaan Inggris sendiri sebenarnya tidak menabukan soal turun takhta. Raja Inggris Edward VIII semisal, meski sangat populer di mata rakyat kerajaan, namun akhirnya tetap memilih melepas takhtanya demi mendapat cinta sejati seorang janda Amerika, Wallis Simpson.
Keputusan mendadak ini menjadikan King George VI, kaket buyut Pangeran William dan Pangeran Harry sekaligus kakek mertua Lady Diana istri Pangeran Charles berubah garis nasibnya. Wangsa Windsor yang berkuasa di Kerajaan Inggris sekarang jejaknya dari George VI yang lekat dengan julakan Raja Air.
Namun tidak semua perpindahan kekuasaan para bangsawan berakhir damai. Di Iran, Raja Diraja Mohammed Reza Pahlavi dipaksa mengakhiri kekuasaanya sebagai Shah Iran lewat Revolusi 1979 yang mengibarkan nama Ayatullah Khomeini.
Dia memilih kabur dibanding berakhir di tiang gantungan. Begitu juga di Afghanistan pada 1973. Raja terakhir Kerajaan Afghanistan Mohammed Zahir Shah, kendati dikenal modernis dan masa pemerintahannya relatif stabil dan damai-damai saja, akhirnya harus melepas singgasananya justru saat dirinya di tempat jauh, di Italia saat berobat.
Sejak itu, Afghanistan menjadi lading peperangan, tak hanya fisik namun juga pemikiran yang bertahan hingga sekarang, dengan invasi Uni Soviet di masanya menjadi catatan lain dalam sejarah Afghanistan.
Revolusi dan kemelut politik serupa juga dialami Kerajaan Rusia. Tsar Nicholas II menjadi korbannya. Dia turun takhta seiring memuncaknya Revolusi Bolsheviks pada 1917 yang melahirkan cikal bakal Uni Soviet dan Rusia di masa kini.
Kalau sejarah Rusia ditandai dengan Stalin dan Lenin, maka sejarah Kerajaan Yugoslavia lekat dengan Josip Broz Tito. Pria sekaligus perdana menteri di masa kekuasaan Raja Peter II inilah yang mengakhiri karir singgasana sang raja.
Tak hanya didepak dari takhta, Kerajaan Yugoslavia juga dibubarkan. Berganti menjadi Republik Yugoslavia, yang lagi-lagi tak berusia panjang, hingga tahun 2003 ditandai dengan Perang Bosnia dan konflik Balkan sepanjang dekade 1990-an.
Sebelum pada akhirnya melahirkan entitas negara baru seperti Serbia, Kroasia, Montenegro, Bosnia, Makedonia dan sebagainya. (*)