
Ketentuan Akta Kelahiran Di Jepang, Kenapa Mendadak Mirip Indonesia?
angkaberita.id - Kendati dikenal negara maskulin, Jepang disebut baru saja mengubah undang-undang pencatatan sipil peninggalan abad ke-19. Tak hanya itu, untuk sebagian, dalam perundangan baru juga "terinspirasi" hukum Islam.
Selain menghilangkan ketentuan mencantumkan nama bapak di akta kelahiran secara otomatis, meskipun kedua orangtua bercerai, seperti ditulis The Guardian, Kamis (3/2/2022), revisi perundangan juga melarang perempuan bercerai menikah lagi sebelum 100 hari. Alasannya, seperti berlaku dalam hukum Islam, memastikan ada kehamilan atau tidak.
Sebab, tulis ketentuan revisi di Jepang, menikah di bawah 100 hari setelah bercerai menyulitkan penentuan bapak di jabang bayi. Pendeknya, kini urusan akta kelahiran anak di Jepang beda-beda tipis dengan di Tanah Air.
Sebab, seperti ditegaskan Zudan Arif Fakhrulloh, Dirjen Kependudukan dan Pecatatan Sipil Kemendagri, pada Oktober 2021, akta kelahiran merupakan hak anak. Pencatatan merujuk ketentuan Permendagri No. 9/2016 juncto Permendagri 108 Tahun 2019. Pendeknya, kini anak pasangan menikah siri dan di luar ikatan sekalipun berhak akta kelahiran.
Kemendagri melalui Ditjen Kependudukan Dan Pencatatan Sipil menegaskan layanan itu dapat diperoleh di Disdukcapil kabupaten/kota. Sebab, akta kelahiran merupakan hak anak. Skenarionya, anak pernikahan siri pencatatannya dilahirkan dari pasangan A dan B yang perkawinannya belum tercatat. Sedangkan pencatatan akta kelahiran anak di luar nikah ditulis anak ibu dan menggunakan alamat anak beserta ibu.
Kasus Jepang
Ketentuan serupa juga berlaku di Jepang. Pemerintahan di sana, baru-baru ini, menhapus ketentuan nama bapak otomatis tercantum dalam akta kelahiran anak 300 hari setelah pernikahan kedua orangtuanya. Jepang mengubah pencatatan sipil (koseki) berakar ke abad ke-6. Saat itu, dalihnya demi kepastian kebangsaan sang anak.
Panel pemerintahan pekan ini, merekomendasikan pengubahan ketentuan itu, bersama klausul lainnya dalam perundangan melarang perempuan menikah lagi sebelum 100 hari setelah bercerai dengan suami sebelumnya, dengan alasan demi memastikan bapak si anak dalam kasus si perempuan ternyata hamil saat menikah lagi.
Ketentuan otomatis 300 hari setelah perceraian akta anak mencatat nama sang bapak, mantan suami, hanya berlaku bagi perempuan menikah lagi. Sedangkan bagi mereka tetap menjanda, di akta anak tetap tertulis nama sang bapak, meskipun kedua orangtua telah bercerai.
Sebab, pertimbangan panel tadi, anak lahir kurun 300 hari sejak perceraian dianggap anak dari suami sebelumnya. Karenanya, banyak perempuan tak mencatatkan kelahiran anak mereka ke pencatatan sipil (koseki). Pilihan itu, untuk sebagian, terjadi pada perempuan korban KDRT. Koseki mengakar ke pencatatan sipil abad ke-6 di Jepang, demi kepastian hukum saat itu. Terutama, untuk sebagian, urusan pajak dan tunjangan negara.
(*)