COVID-19: Terapi Plasma Kabar Baik Pasien Pria, Kabar Buruk Pasien Miskin. Kenapa?
angkaberita.id – Kendati bukan metode terbaru, belakangan terapi plasma darah bagi pasien COVID-19 mendadak naik daun. Sejumlah keluarga pasien, terutama di negara dengan lonjakan kasus COVID-19 tinggi, berlomba-lomba mendapatkan donor plasma itu, biasanya dari pasien COVID-19 telah sembuh.
Kabar buruknya, seperti di Pakistan, kondisi itu menciptakan pasar gelap dan ujung-ujungnya menjadikan pasien keluarga miskin menderita dua kali lipat. Seperti laporan The Guardian, di Pakistan plasma darah pasien sembuh diperjualbelikan di pasaran hingga lebih dari 3.000 poundsterling, atau setara Rp 51 juta dengan kurs per poundsterling setara Rp 17.000.
Pemicunya, selain disebut-sebut sebagai alternatif pengobatan di tengah tiadanya vaksin dan obat mujarab, juga kian jebolnya kapasitas sistem kesehatan publik di Pakistan akibat membludaknya pasien melebihi ruang perawatan dan tenaga dokter.
Terapi plasma darah (convalescent plasma) tengah diuji klinis di sekujur dunia lantaran di dalamnya mengandung antibodi dari sistem kekebalan tubuh pasien sembuh dari COVID-19. Laporan harian terkemuka di Inggris, itu bahkan mengatakan dokter di sejumlah rumah sakit pemerintah di Pakistan tak bisa berbuat apa-apa saat transaksi nyata-nyata dilakukan di depan mata.
“Rumah sakit tak terlibat, tapi saya menyaksikan sendiri transaksi di depan mata saya,” ungkap seorang dokter di Islamabad. Modusnya, keluarga pasien akan membujuk pasien sembuh atau keluarganya dengan iming-iming sejumlah uang jika mereka bersedia mendonorkan darahnya.
Biaya pengganti pendonorannya di kisaran 950-3.800 poundsterling. Begitu sepakat, darah tadi dibawa ke laboratoriun kemudian diekstraksi plasmanya. Nah, ekstraksi plasma itu kemudian “didonasikan” ke pasien perasawatan. Kasus donasi plasma darah ilegal itu kini tengah dalam pengusutan kepolisian setempat.
Meskipun menjadi “komoditas” seiring meningkatnya kasus COVID-19, terapi plasma belakangan memang lebih menjanjikan dibanding pengobatan dan terapi lainnya sampai ditemukannya vaksin penangkal virus corona. Di tanah air, belakangan terapi plasma juga menjadi wacana perawatan pasien COVID-19.
Meskipun tingkat keberhasilan ke pasien satu sama lain negara berbeda-beda. Namun di Pakistan, keluarga pasien telanjur mempercayainya sebagai “obat mujarab” meskipun harus membelinya secara ilegal. Secara teori, tubuh memiliki pertahanan alami terhadap serangan virus dan benda asing lainnya ke dalam tubuh.
Biasa dikenal sebagai sistem kekebalan tubuh ditandai dengan pembentukkan antibodi. Direktur Lembaga Molekuler Eijkman Prof. Amin Soebandrio mengatakan terapi plasma merupakan pendekatan dengan mekanisme itu.
“Nah, antibodi itu ketika pasiennya sudah sembuh berarti pasiennya sudah bisa mengatasi infeksinya itu bisa dipakai untuk membantu orang lain yang masih sedang sakit. Jadi prinsipnya seperti zona,” jelas Amin dalam dialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, (26/6/2020).
Ia mengungkapkan, pengambilan plasma melalui tahapan yang dipastikan aman dan cocok untuk pasien. Plasma itu selanjutnya diberikan kepada pasien yang masih dirawat atau yang dalam keadaan sakit berat.
“Karena plasma ini bisa mengeliminasi atau mengimobilisasi virusnya, maka diharapkan lingkaran infeksi itu akan terputuskan sehingga pasien bisa terhindar dari serangan virus itu kemudian bisa memperbaiki jaringannya yang sudah rusak kemudian dan bergiliran akan memperbaiki sistem imunnya, begitu seterusnya,” jelas Amin mengenai prinsip terapi.
Menurut Amin, pengambilan plasma dilakukan pada pendonor yang sehat dan berjenis kelamin laki-laki meskipun perempuan berpeluang. Pemilihan jenis kelamin karena laki-laki tidak memiliki antigen HLA.
“Itu mungkin yang akan bisa membuat masalah di resipiennya. Kalau perempuan boleh, bersyaratnya tidak boleh sedang hamil atau bisa dipastikan bisa diperiksa. Kemudian kita mesti memastikan kondisi kesehatan yang lainnya,” sebutnya.
Semisal hasil laboratorium pendonor harus baik, COVID-nya harus negatif, dan persyaratan donor darah harus terpenuhi. “Misalnya dia tidak boleh mengandung malaria, virus HIV, hepatitis dan sebagainya. Itu harus negative,” sebut Amin.
Sebelum mendonorkan plasmanya, pendonor juga harus memenuhi melengkapi berkas administrasi, seperti surat kesediaan. Terapi yang berlangsung baik memperhatikan tiga komponen, yaitu pendonor yang sehat, produk yang baik, dan penerima plasma.
Terkait dengan produk, Amin menjelaskan bahwa produk tersebut memiliki antibodi dalam kadar yang cukup. “Kemudian yang ketiga penerimanya harus tidak boleh ada ketidakcocokan golongan darah walaupun lebih ringan dari persyaratan golongan darah karena ini hanya plasma ya,” jelasnya.
Di samping itu, Amin menambahkan terapi plasma convalescent itu bukan buat pencegahan, tapi diberikan kepada pasien dengan kondisi klinis menengah hingga berat. “Jadi dia tidak menggantikan vaksin,” tegas Amin sembari menyebut, terapi plasma sejenis imunisasi pasif.
Di Inggris, seperti dilansir The Guardian, pasien COVID-19 pria telah sembuh diminta mendonorkan plasmanya sebagai uji klinis perawatan pasien COVID-19 parah. Pasien pria dipilih lantaran memiliki level antibodi lebih tinggi dibanding pasien perempuan di darahnya.
Diyakini, tingginya antibodi lantaran pria lebih rentan terjangkit COVID-19, sehingga secara teori pembentukkan antibodi cenderung lebih aktif dibanding perempuan.
“Hasil kajian kami dan banyak (sejawat) lainnya di seluruh dunia menunjukkan, pasien pria cenderung lebih mudah parah (infeksi virusnya dibanding perempuan). Ini membuat mereka menjadi pendonor begitu mereka sembuh (dibanding perempuan),” ujar Davids Roberts, Wakil Direktur Donor Darah di NHS, semacam BPJS Kesehatan di Inggris.
Katanya, semakin parah infeksi kian tinggi produksi antibodi buat menetralisir serangan virus ke dalam tubuh. Dua uji klinis telah dilakukan di Inggris, yakni uji klinis The Recovery besutan Oxford University dan Remap-Cap, khusus uji klinis di pasien dewasa di ruang ICU. Uji klinis pertama dengan skala jumlah pasien lebih banyak, dan tidak ada batasan usia.
Selain terapi plasma, penggunaan deksametason juga dikombinasikan dalam uji klinis itu, dan hasilnya angka kematian di pasien COVID-19 parah di sejumlah rumah sakit Inggris cenderung berkurang.
Terapi plasma darah, seperti diuraikan Amir Khan, seornag dokter di NHS Inggris dan dosen senior sejumlah universitas di Inggris, dalam kolomnya di Aljazeera, bukanlah ikhwal baru. Bahkan, jejak penggunaannya terekam sejak dua abad silam. Persisnya, di akhir era 1880-an. Kali pertama dicoba di Jerman, Emil von Behring mengujinya di pasien difteri. Yakni, infeksi bakteri mematikan di anak-anak.
Dia menyuntikkan antibodi ke pasien. Kemudian saat pandemi flu, Spanish Flu mewabah di tahun 1918, dua windu kemudian Dr J Roswell Gallagher menggunakannya memerangi campak di antara mahasiswa di Pennsylvania, Amerika Serikat, tahun 1934. Selain dua penyakit infeksi itu, terapi plasma juga telah diuji coba ke pasien penyakit MERS, SARS dan sebagainya. (*)