angkaberita – Prancis dan Jerman, dua negara besar di Uni Eropa, terancam krisis politik gara-gara urusan hari libur. Di Prancis, bahkan berisiko pergantian perdana menteri. Sedangkan di Jerman, untuk sebagian, lantaran ingin terganggu tradisi musim panen mereka. Kenapa?
Di Prancis, Marine Le Pen politisi kubu kanan mengancam menarik dukungan di parlemen pemerintahan François Bayrou setelah PM Prancis tadi berencana menghapus dua hari libur di sana demi menambal defisit keuangan sekaligus mengurangi utang di APBN terbaru mereka.
“Pemerintahan (Bayrou) ini lebih memilih mengganggu warga Prancis, pekerja dan pensiunan, dibanding membenahi kebocoran (anggaran),” tulis Le Pen di akun X miliknya. Jika Bayrou, seperti politico.eu tulis, tak membatalkan rencananya, Le Pen mengancam menumbangkan pemerintahan sekarang.
Sedangkan dua dari 11 hari libur target pemerintahan Bayrou hendak dihapuskan demi mendongkrak produktivitas ekonomi, masing-masing, ialah Easter Monday (Paskah) dan Victory Day (Hari Pembebasan Prancis) pada 8 Mei setiap tahunnya.
Uniknya, protes kebijakan hari libur bukan datang dari kubu politisi kiri, tapi justru dari Le Pen. Padahal, di Prancis, pencapaian terbesar politisi kubu kiri tak jauh dari urusan produktivitas kerja. Mereka sukses menjadikan Prancis kebijakan jam kerja selama 35 per minggu sekaligus terendah di Uni Eropa.
Karena itu, perayaan Hari Buruh di Prancis terhitung “sakral” dan tak tergantikan. Tah heran, Bayrou membidik libur keagamaan demi memenangkan dukungan kubu sosialis sekuler. Persoalannya, Le Pen basis konstituennya justru kalangan konservatif, terutama kaum populis.
Tradisi Musim Panen
Di Jerman, politisi lokal di dua negara bagian (lander) menolak kebijakan rotasi hari libur tahunan sekolah berlaku di sana sejak tahun 1960-an sebagai kompromi. Alasannya mereka tak ingin terganggu tradisi musim panen mereka.
Kian gaduh, seperti theguardian tulis, lantaran dua dari 16 negara penolak tadi kuat secara politik dan mengandalkan sektor ekonomi dari sektor pertanian. Alasannya, mereka ingin anak-anak mereka membantu ikut turun saat musim panen tiba.
Praktis, jadwal libur musim panas mereka tak berubah setiap tahunnya. Di Jerman, liburan musim manas bermula di akhir Juli hingga pertengahan September. Nah, dengan kebijakan rotasi kompromi, sejumlah negara bagian terpaksa mengakhiri libur musim panas mereka di Agustus karena libur duluan sejak Juni.
Kompromi rotasi diperkenalkan tahun 1964 demi mengurangi kemacetan transportasi akibat libur bersamaan sekaligus memastikan setiap lander dapat menikmati “rezeki” pariwisata libur panjang sekolah setiap tahunnya.
Persoalannya, sejak tahun 1960-an, anak-anak di Jerman bagian selatan tradisi turun membantu orangtua mereka mengurus pertanian ikut panen. Meskipun kondisi sekarang berubah, politisi di lander Jerman bagian selatan tetap menjadikan itu alasan utama mereka ingin jadwal libur musim panas tetap, alias tak berubah waktunya.
Selain Bavaria, areal pertanian terluas juga terdapat di Baden- Baden-Württemberg. Keduanya lander terkaya di Jerman. Terbaru, politisi dari North Rhine-Westphalia juga menyerukan penolakan jadwal “kompromi” mereka. Dorothee Feller, Menteri Pendidikan di sana, menyorongkan alasan “musim panen” sebagai penolakan giliran mengubah jadwal.
Selain terbesar ketiga areal pertanian, North Rhine-Westphalia juga lander terbanyak penduduk sehingga memiliki pengaruh secara politik. Penolakan lainnya dari Markus Söder, Ketua CSU sekaligus PM Bavaria. Kata dia, libur “musim panen” mengakar di budaya mereka.
Persoalannya, kini CSU berkuasa di Jerman lewat koalisi dengan CDU dan SPD. CDU/CSU di politik Jerman, biasanya sepaket. Keduanya beraliran konservatif, dengan pemilih sebagian besar di perdesaan dengan pertanian luas. Sedangkan North Rhine-Westphalia merupakan benteng kubu SPD. (*)