Soal Pamorkan Tanjungpinang, Kepri Boleh Tiru Cara Gubernur Sulbar

angkaberita – Agar Tanjungpinang tak tertukar dengan Pangkal Pinang, Gubernur dan Wagub Kepri sebaiknya mencermati ide Gubernur Sulbar mewajibkan pelajar SMA/SMK wajib baca 20 buku syarat lulus sekolah mereka di tahun ini. Kenapa?

Sebab, meskipun Wagub Nyanyang berkoar dengan gagasan Ibu Kota Kepri (IKK), tapi sejauh ini sebatas wacana tanpa gambaran kebijakan jelas, bahkan di RPJMD Kepri. Kemudian, Gubernur Ansar juga terjebak ke pendekatan berbasis anggaran besar demi melambungkan Tanjungpinang ke pentas nasional lewat kearifan lokal.

Terbukti, Ansar ngebet merealisasikan Tugu Bahasa sebagai anchor landmark di Pulau Penyengat, meskipun beberapa tahun sebelumnya telah menyeret sejumlah pejabat Pemprov Kepri ke jeruji besi. Di Kepri, Ansar jor-joran menjadikan dia ikon pariwisata Kepri sekaligus Tanjungpinang.

Padahal, Ansar punya modal besar tanpa harus mengeluarkan anggaran besar. Yakni, setahun terakhi di ujung periode pertama Gubernur Kepri rajin turun ke SMA/SMK di Kepri. Tapi, pendekatannya selalu berbasis anggaran. Yakni, SPP gratis alias mekanisme penganggaran di APBD.

Padahal, Kepri lewat Kesultanan Riau Lingga berpotensi melenggang ke pentas nasional lewat dua pintu. Pertama, proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia di era Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Tapi, sampai kebijakan penulisan berujung kontroversi tak terdengar “urun rembug” dari Kepri masuk ke serial SNI itu, meskipun memiliki dua pahlawan nasional asli Melayu.

Kedua, sekali lagi, lewat kebijakan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan hasrat Negeri Seribu Museum. Padahal, pengelola Lagoi telah bersiap membiayai pendirian Museum Rumpun Melayu di sana sekaligus menjadi landmark anchort pariwisata di sana.

Gebrakan Sulbar

Langkah Gubernur Suhardi Duka bukan pertama di Tanah Air, tapi memang beda dengan gubernur lainnya. Kalau Kang Dedi Mulyadi (KDM) di Jabar dengan “kelas barak” dan “kelas 50 pelajar” serta jam masuk, khusus kebijakan terakhir di NTT telah gubernur mereka lakukan, meskipun menuai kontroversi.

Di Sulbar, Gubernur Suhardi mewajinbkan pelajar SMA/SMK wajib membaca minimal 20 buku sebagai syarat kelulusan, termasuk dua buku tentang dua tokoh asli kelahiran Sulbar. Yakni, buku Andi Depu dan Baharudin Lopa. Nama terakhir pernah Jaksa Agung RI.

Kebijakan itu, untuk sebagian, juga mendongkrak bukan hanya literasi kearifan lokal dan minat baca, tapi arus kunjungan ke Perpustakaan seperti perintah UU No. 43/2007. “Pentingnya pengembangan budaya membaca sebagai bagian dari pembangunan kecerdasan bangsa,” kata Gubernur Suhardi, seperti detikcom tulis, Minggu.

Tak hanya sekolah, dia juga mewajinkan seluruh OPD di kabupaten/kota menyediakan pojok baca atau perpustakaan mini di lingkungan kerja masing-masing. Sekolah dari SD-SMA/SMK juga diminta mengatur kunjungan rutin ke perpustakaan minimal sekali seminggu.

Rekayasa Kebijakan

Nah, BOS dapat membiaya keperluan penyediaan pojok baca sebagaimana Permendikbudristek No. 63 Tahun 2023. Langkah Gubernur di Kalbar bukannya tiada di Kepri. Wako Tanjungpinang, semisal, menyaratkan sertifikat mengaji sebagai syarat masuk SD-SMP. Kalangan birokrasi menyebutnya “rekayasa kebijakan” berbasis trade off alias siapa harus apa dan mengapa.

Di Kepri, usulan rekayasa kebijakan bukannya tak bisa, bahkan tersedia. Ujungnya, bukannya hanya pamor Tanjungpinang sebagai IKK tapi juga mendongkrak ekonomi. Yakni, memindahkan home base penerbangan lokal ke Tanjungpinang. Termasuk klastering perjalanan dinas OPD demi diversifikasi sumber PAD.

Rekayasa serupa juga pernah terjadi di Jambi, di tahun 1990-an, bukan dengan infrastruktur atau jor-joran kebun sawit. Tapi, lewat jor-joran “mengemas” prestasi renang mereka di pentas nasional lewat kiprah keluarga Nasution lewat PON. (*)

Bagikan