Trump Ngamuk Ekspor Batam, Amerika Serikat Soroti Bea Cukai

angkaberita – Presiden Trump ngamuk ke Indonesia, termasuk ekspor Batam dengan mengenakan tarif dagang besar-besaran. Lantaran terus-terusan defisit dagang dengan Indonesia, Amerika Serikat menyoroti kerja Bea Cukai di Tanah Air, terutama urusan pemeriksaan dan pengenaan tarif berbeda-beda.

Kata mereka, praktik Bea Cukai tadi berpotensi menciptakan aksi korupsi dan beban administrasi cukup tinggi. Laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers kepada Presiden Trump bulan Maret 2025 menyebut itu menjadi hambatan dagang Amerika Serikat dengan Indonesia.

Sekaligus dasar mengenakan tarif dagang bersama 58 negara lainnya di dunia. Selain Bea Cukai, Trump juga menyoroti kebijakan fasilitas perdagangan. Karenanya, mereka mengkritisi aturan dari Kemenkeu dan Kemendag.

Baca juga :  Pagu KUR Tanpa Jaminan Rp 100 Juta, Begini Cara Ajukan Ke BRI Di Kepri

"Perusahaan-perusahaan AS secara teratur melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya terkait penilaian bea masuk," tulis USTR, seperti detikcom tulis, Sabtu (19/4/2025). Klaim mereka, pejabat Bea Cukai sering mengandalkan jadwal harga referensi dibanding nilai transaksi sebagai metode penilaian utama.

Imbalan Petugas Bea Cukai

Padahal, nilai transaksi seharusnya menjadi metode utama seperti perintah Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) World Trade Organization (WTO). USTR, mengutip keluhan eksportir mereka, juga melaporkan penentuan nilai bea masuk barang meraka ke Indonesia sering berbeda-beda di berbagai wilayah. Padahal produk ekspor tadi sama.

Khusus Permendag No. 16/2021 tentang verifikasi atau penelusuran teknis dari surveyor produk ekspor ke AS seperti elektronik dan alas kaki. Tapi, klaim Amerika Serikat, hingga 31 Desmber 2024 Indonesia belum memberitahukan aturan tadi ke WTO.

Baca juga :  Opsi Tunda Salur Mencuat, APBD-P Kepri Kena Semprit Kemendagri

Begitu juga Permenkeu No. 190/2022 soal operasi kepabeanan. Klaim Amerika Serikat, aturan tadi menciptakan beban administratif pada industri AS. Mereka telah mengeluhkan kondisi tadi ke Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023.

USTR juga menyoroti ketentuan imbalan, alias “bonus” petugas Bea Cukai Indonesia hingga 50 persen dari nilai barang kena sita, atau jumlah bea terutang. Padahal, Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, Indonesia harus meniadakan itu. Klaim mereka, sistem itu berpotensi menimbulkan praktik korupsi dan biaya administrasi tinggi.

(*)

Bagikan