angkaberita – Kebijakan efisiensi APBD bukan waktu tepat mengeluh. Sebaliknya Pemda di Kepri justru harus kreatif memberdayakan potensi di tangan, termasuk lewat SPPD meskipun dengan kondisi terpangkas 50 persen.
Sebab, kalau lewat sinergi dana pokir berjenjang tak dapat membiayai program-program pembangunan. Pemda tak perlu mengeluh, tapi justru bersemangat memberdayakan ASN dan anggaran OPD menjadi ganti dana pokir tadi.
Lewat sinergi dana pokir berjenjang, dengan DPRD Kepri per legislator konon sebesar Rp 6 miliar setahun, alias Rp 300 miliar per tahun di APBD, seharusnya pembangunan infrastruktur di Kepri massif dan terlihat. Begitu juga, dengan anggaran sebesar itu, Kepri tak perlu berkeluh soal akses transportasi laut terbatas.
Sebab, secara teori, dengan duit sebanyak itu, hitungan lima tahun, terkumpul Rp 1,5 triliun. Jumlah itu, cukup membangun belasan sekolah, dengan per sekolah perlu Rp 150 miliar. Kepri juga dapat memiliki kapal feri, termasuk kapal perintis, dengan rute ke sekujur Kepri.
Dengan duit sebanyak itu, hasrat Kepri memiliki maskapai atau pesawat terbang jenis seaplane juga bukan menggantang asap. Dalam hitungan 10 tahun, jika hitungan kasar, Kepri juga dapat mendirikan bank sendiri, terpisah dari BRK Syariah. Sebab, syarat kecukupan modal pendirian bank ialah Rp 3 triliun.
Namun, untuk sebagian, itu semua di atas kertas. Karena tentu satu legislator dengan legislator lain berbeda kepentingan, dan berlainan tafsir eksekusi dana pokirnya. Kabar baiknya, ketimbang berharap burung di awan, Kepri lewat Pemda “jangan lepaskan punai di tangan”.
Alias, dengan memberdayakan potensi SPPD saja, termasuk SPPD di Sekretariat DPRD masing-masing. Nah, kondisi kena pangkas hingga 50 persen juga bukan alasan. Caranya? Pertama, kumpulkan seluruh Kepala BKAD, Bapenda dan Bappeda di Bumi Segantang Lada. Sebab, mereka kunci penyusunan APBD setiap tahunnya.
Rekayasa Kebijakan
Alasan SPPD kena pangkas paling besar karena dianggap tidak produktif, dan cenderung tidak memberikan efek ekonomi optimal. Selebihnya, untuk sebagian, menjadi buruan dan cara ASN menambal kantong saku masing-masing. Sehingga, kalaupun ada klaim menetes ke UMKM lewat spending mereka, situasinya masih debatable alias perdebatan.
Nah, menjawab sinisme tadi, KDH di Kepri dapat menginisiai rekayasan kebijakan. Toh, di setiap KDH melekat kewenangan diskresi. Intinya, menyamakan frekuensi diskresi KDH lewat rekayasa kebijakan. Dan, ASN serta OPD menjadi instrumen rekayasa, termasuk lewat anggaran. Dalam kondisi efisiensi, ASN memang sewajarnya menjadi instrumen pembangunan.
Kalau Inpres No. 1/2025 ditelaah, substansi utamanya, ialah efisiensi birokrasi. Tapi, KDH di Kepri agaknya belum berani berhadapan frontal dengan ASN mereka lewat perampingan OPD, atau menata ulang SOTK demi menekan defisit APBD. Maka, jalan tengahnya, Kepri lewat Pemprov dan 7 tujuh Pemko/Pemkab, dapat bersepakat lewat APBD tahun depan, menginisiasi kebijakan klastering SPPD.
Rekayasa kebijakan langkah pertamanya, hitung anggaran SPPD terakumulasi di delapan Pemda di Kepri. Kemudian identifikasi dan klastering OPD di Kepri berdasarkan rumpun Tupoksi. Selanjutnya harmonisasi RKPD masing-masing Pemda, dengan menjadikan satu prioritas pembangunan di Kepri. Langkah selanjutnya cascading dengan berbagi beban ke kabupaten/kota berdasarkan prioritas.
Satu Daerah Satu Klastering
Setelah itu, tetapkan OPD berdasarkan rumpun Tupoksi. Kemudian bagi dan sebar prioritas kegiatan ke tujuh kabupaten/kota di Kepri. Semisal, terdapat tujuh rumpun Tupoksi OPD, sebar dan konsentrasikan satu dari tujuh kegiatan prioritas OPD ke satu kabupaten/kota. Semisal OPD rumpun Tupoksi ekonomi, dengan prioritas bimtek diversifikasi sumber PAD.
Pusatkan semisal ke Batam, selanjutnya seluruh anggaran SPPD OPD rumpun Tupoksi ekonomi selama setahun dibelanjakan dan dipusatkan ke Batam. Seluruh kegiatan bertempat di Batam. Seluruh perjalanan SPPD kabupaten/kota dan Pemprov ke Batam. Skenario serupa juga diberlakukan ke OPD rumpun lainnya. Semisal OPD budaya ke Lingga, dan seterusnya.
Sehingga terjadi perkuatan anggaran sekaligus akumulasi anggaran SPPD. Ketimbang SPPD ke daerah lain, disepakati sebaiknya SPPD dalam Kepri. Sehingga terjadi (1) Kedekatan emosional antar ASN dan pejabat OPD se-Kepri (2) Efek menetesnya terasa. Karena, belanja SPPD jadi terarah dan resiprokal. Setiap SPPD di kabupaten/kota keluar, akan terbayar dengan SPPD dari kabupaten/kota lain di Kepri masuk.
Selanjutnya (3) itu juga ikhtiar menerjemahkan ASN ber-AKHLAK. Yakni, kolaborasi. Saatnya, kondisi efisiensi, berkolaborasi lintas ASN, lintas OPD dan lintas Pemda, dalam satu provinsi. Klastering tadi, untuk sebagian, juga demi menetralisir sinisme hanya ada tiga jurus ASN, atau birokrasi, termasuk di Kepri, menjawab setiap persoalan publik.
Yakni, ke pusat berkonsultasi, ke provinsi koordinasi, dan ke kabupaten/kota sosialisasi, alias SPPD. Nah, sekarang tetap SPPD tapi lebih terfokus dan terarah. “Rekayasa kebijakan dimungkinkan, dan ASN merupakan kunci eksekusi kebijakan Pemda,” kata kalangan paham birokrasi di Kepri. Selebihnya, masa krisis merupakan saat paling tepat mengambil kebijakan drastis.
(*)
UPDATING: Pembaruan Angka Serial Di Judul