Gaduh Tarif Masuk Pelabuhan Tanjungpinang: Naikkan Rute Luar Negeri, Siapa Keberatan?

angkaberita – Ketimbang sibuk membandingkan Pelabuhan Sri Bintan Pura dengan Pelabuhan Telaga Punggur di Batam, DPRD Tanjungpinang sebaiknya mencarikan jalan tengah gaduh kenaikan tarif masuk ke pelabuhan per 1 Februari. Naikkan pas rute internasional opsi kompromi?

Selain keputusan berlaku atau tidak tarif baru di tangan PT Pelindo Persero (Pusat), membandingkan Sri Bintan Pura dengan Telaga Punggur juga kurang pas. Sebab, BP Batam dan Pelindo merupakan dua entitas berbeda, meskipun Kemenhub sama-sama mengakui kewenangan mereka sebagai pengelola pelabuhan di Tanah Air.

Kecuali sebagai dalih menaikkan posisi tawar Tanjungpinang menuntut skema baru jatah bagi hasil kongsi, penolakan lewat perbandingan kondisi pelabuhan seperti kerja menegakkan benang basah. Bukan saja APBD defisit, Pemko juga perlu anggaran membiayai kelangsungan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Saran sebagian kalangan agar DPRD menelaah dengan pertimbangan PAD terhitung masuk akal.

Apalagi, lewat Sekda Zul Hidayat, Pemko berkoar menaikkan target PAD tahun 2025. Padahal, realisasi kinerja penerimaan APBD, khususnya PAD tahun lalu, jauh panggang dari api. Jatah opsen bagi hasil pajak kendaraan dan turunannya memang menjanjikan, tapi jangan terlena. Sebab, untuk sebagian, ada kewajiban membangun dan menyedikan infrastruktur terkait.

Belum adanya perbaikan kerusakan traffic light di Simpang Kota Piring menjadi bukti opsen pajak tadi agaknya belum seindah harapan di atas kertas. Selebihnya, meskipun Pelindo tak memiliki keistimewaan menaikkan tarif masuk pelabuhan tanpa mendengarkan pertimbangkan stakeholder. DPRD juga kurang bijak jika langsung menutup pintu sumber PAD Tanjungpinang.

Dua Skenario

Kendati sama-sama sulit, bukan berarti tiada kompromi. Kuncinya, DPRD melibatkan Pemko Tanjungpinang. Sebab keduanya merupakan entitas pemerintahan di Bumi Gurindam, meskipun Pj. Wako menyatakan penolakannya. Karena Pemko lewat BUMD berkongsi dengan Pelindo. Sejak 2009, jika terealisasi, tarif baru per Februari merupakan kenaikan kedua setelah 2018.

Saat itu, Pemko mengakui Pelindo berkontribusi ke PAD Tanjungpinang. Ujungnya, gaduh tarif pelabuhan tidak menjadi bola panas ke KDH terpilih hasil Pilwako 2024. Pertama, skema trade off. Yakni, mengubah klausul kontrak fee sharing Pelindo dan BUMD sepenuhnya mendanai program MBG. Syaratnya, kenaikan tarif sepenuhnya berlaku, lokal 50 persen dan internasional 80 persen.

Sehingga Pelindo tetap dapat meneruskan rencana kenaikan, dan Pemko mendapatkan kepastian sumber membiayai MBG, meskipun tidak 100 persen kebutuhan anggaran Rp 19 miliar.  Kedua, subsidi silang. Pelindo hanya menaikkan pas masuk rute internasional sebesar Rp 100 ribu. Sebab, dengan kondisi itu, kontribusi penumpang ke Malaysia dan Singapura ke PAD Tanjungpinang berlibat ganda.

Jika dengan tarif sekarang, Rp 10 ribu berbanding Rp 60 ribu, kontribusi mereka per penumpang setara dengan enam penumpang domestik. Dengan tarif baru, kontribusi mereka menjadi setiap penumpang setara 10 penumpang domestik. Pertimbangan lain, tidak seperti rute domestik, jikapun ada, penumpang bolak balik (commuter) rute internasional tidak sebanyak rute lokal.

Kalau rute lokal semisal ASN dari Tanjungpinang kerja di Batam, dan atau sebaliknya ASN dari Batam kerja di Tanjungpinang. Kompromi selanjutnya Pelindo dan BUMD di fee sharing per tarif masuk. Tahun 2017, Pemko berhak Rp 18 ribu dari Rp 60 ribu pas masuk pelabuhan. Terakhir, agar tak mencuat kesan kenaikan mencuatkan kesan menargetkan kelas sosial tertentu, atau mendompleng momen peak season, Pelindo sebaiknya memberlakukan kenaikan setelah Lebaran.

(*)

Bagikan