angkaberita.id - Ketimbang meniadakan TPP pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja, Gubernur Ansar sebaiknya kembali mendesak pengelolaan labuh jangkar ke Kemenhub guna mengantisipasi APBD kembali defisit di akhir 2025. Selain cara membuktikan kepiawaian dia melobi, kini juga “amunisi” Pemprov meyakinkan Dirjen Perhubungan Laut lebih banyak.
Kenapa? Sebab, (1) Dirjen Hubla telah berganti. Sebelum menjabat Dirjen, Capt Arif Priadi pernah menjabat Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut. Dia juga pernah Atase Perhubungan Di Malaysia, dan terakhir Staf Ahli Menhub Bidang Kawasan dan Lingkungan Perhubungan.
Sehingga, untuk sebagian, khatam soal labuh jangkar dan nilai krusial Selat Malaka. Pengalaman di Malaysia juga menjadikan dia tak awam dengan Kepri. (2) Tahun 2024, Ditjen Hubla juga tengah naik daun. Bukan hanya kembali menjadi penopang setoran PNBP Kemenhub ke APBN, bahkan overtarget. Tapi juga mencatatkan rekor tertinggi, tembus Rp 6 triliun lebih.
Alias, kondisinya mirip-mirip saat Kepri melobi Kemenkum soal relaksasi visa saat setoran PNBP Ditjen Imigrasi terus melampaui target. (3) Kepri telah memiliki Maritime Command Centre. Terbaru, bahkan telah bergerak lebih maju dengan membentuk Kantor Perizinan Labuh Jangkar. Jika on track, Kemenhub tentu terbantu usaha mereka mengejar denda kapal nyelonong ke perairan Kepri tanpa AIS.
Selebihnya memberikan kepastian hukum. Sebab, Kejagung sepenuhnya mem-back up upaya penyidikan kasus pidana di perairan. Ujungnya, setidaknya, menimbulkan harapan munculnya rasa aman kapal lego jangkar di Kepri. (4) Kini Presiden dan Menhub berganti, termasuk pendekatannya. Kabar buruknya, APBN tengah defisit ratusan triliun, dan pemerintahan Prabowo-Gibran perlu pengeluaran besar membiayai program populis mereka.
Skema Trade Off
Kabar baiknya, semisal Makan Bergizi Gratis (MBG), dapat menjadi pintu masuk melobi pengelolaan labuh jangkar. Skemanya berjudul “Trade Off”, dan rencana Pelindo Tanjungpinang menaikkan tarif dapat menjadi usulan terbaik. Pertama, Pelindo merupakan lengan BUMN di Kemenhub. Kedua, Pelindo terikat kongsi business to business (BTB) dengan Pemko Tanjungpinang lewat BUMD.
Nah, komprominya, ketimbang bergaduh, Pemko menyetujui saja, dengan syarat duit jatah bagi hasil kongsi sepenuhnya (fixed) guna mendanai kebutuhan Makan Bergizi Gratis (MBG) di Tanjungpinang. Sehingga Pemko dapat menyediakan tambahan anggaran dari pos lain. Bagi Pelindo, mereka dapat menyesuaikan tarif sekaligus berkontribusi bukan saja ke PAD, tapi juga MBG.
Bagi Pemko, mereka mendapatkan sumber duit MBG, tanpa perlu memangkas TPP ASN. Mereka juga tak bisa main-main, semisal, menggunakan jatah kongsi guna menambal defisit akibat belanja pegawai menguras APBD. Skemanya cukup pembaruan klausul kontrak. Jika, labuh jangkar di tangan, Pemprov dapat sedikit bernafas lega.
Sebab, tahun 2025, agaknya menjadi tahun jatuh tempo bagi Pemprov. Bukan saja kewajiban penyertaan modal ke BUMD Migas Kepri ikut participation interest ke Blok Natuna, tapi juga kewajiban membayar gaji bulan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja barusan mereka rekrut. Kalau proyeksi dana transfer APBN tak meleset, duit tadi dapat membayar TPP, dan ASN paruh waktu.
Sekarang, lewat tangan BKAD, Gubernur Ansar mulai mengerem belanja APBD agar tak berakhir defisit lagi akibat terkuras ke belanja pegawai. Terbukti, Pemprov mulai main pangkas TPP ASN mangkir kerja. Kemudian mengangkat tenaga PPPK tanpa TPP, meskipun belakangan dapat. Dan, terbaru mengambil alih penggajian anggota DPRD Kepri sebelumnya di Sekretariat DPRD.
Kebijakan galak ke ASN tadi, untuk sebagian, lantaran APBD Kepri di tahun 2025 belum aman-aman betul. Ketentuan UU HKPD dan Perda Pajak Daerah hanya memberikan Pemprov insentif fiskal berupa pajak alat berat, dan opsen MBLB seperti pasir kuarsa, tak ada penerimaan dari sektor kelautan lainnya. Sedangkan retribusi, kinerja OPD penghasil di Pemprov tak sesuai target, termasuk BKAD. Terbaru, retribusi tenaga kerja justru ke kabupaten/kota.
(*)