Terkonsentrasi Di Batam, Pemilih Milenial Kepri Coblos Siapa?

pemilih milenial digadang=gadang menjadi penentu siapa caleg bakal duduk di dprd kepri/foto via barakata.id

Terkonsentrasi Di Batam, Pemilih Milenial Kepri Coblos Siapa?

angkaberita.id - Pemungutan suara hajatan Pemilu 2024 tinggal hitungan hari. Warga Kepri terdaftar di DPT berhak mencoblos pada 14 Februari lusa. Sebagian besar mereka berusia muda identik kaum milenial. Batam konsentrasi terbanyak mereka.

Siapa akan mereka coblos? Kecuali mereka, publik hanya dapat menebak-nebak saja. Data KPU Kepri, jumlah mereka, khusus Gen Y, sebanyak 38,10 persen pemilik suara di DPT. Dengan DPT Kepri di Pemilu 2024 sebanyak 1.500.974, mereka setara 571.918 pemilih.

Terkonsentrasi Batam

Batam, data KPU, jumlah mereka sebanyak 41 persen total DPT di jantung ekonomi Kepri. Batam juga merupakan konsentrasi pemilih terbesar di Kepri. Per DPT, jumlah mereka sebanyak 851.614 pemilih. Kalau digabung dengan Gen Z, jumlah mereka menembus 50 persen.

Secara demografi, mereka bagian bonus demografi. Dengan target Indonesia Emas 2045, mereka akan menjadi penentu di dua hajatan Pemilu di Tanah Air. Selain Pemilu 2024, juga Pemilu 2029. Sebab, kesempatan pemerintah memaksimalkan potensi mereka hingga 2030 saja.

Dengan IPM tertinggi di Kepri, secara teknis, pemilih milenial di Kepri berandil menentukan nasib Kepri lima tahun ke depan. Uniknya, meskipun mayoritas pemilih Kepri berusia milenial, calon wakil mereka di legislatif justru sebagian terhitung telah berumur.

Tak Alergi Politik Uang

Dengan kondisi itu, praktis pemilih Kepri terhitung banjir pemilik suara kini tengah duduk di bangku SLTA maupun kuliah. Nah, menyitir riset Praxis baru-baru ini, ternyata sebagian besar mahasiswa di Tanah Air tak alergi politik uang.

Kabar baiknya, tulis Katadata, mereka juga tak terpengaruh politik uang, khususnya di Pilpres. Bahkan, mereka akan menerima duitnya tapi tidak mencoblos calon pemberi uang. Sebanyak 42,96 persen, simpul riset tadi, menyatakan akan menerima uang tapi tidak memilih kandidat.

Sedangkan 20,08 persen lainnya mengaku akan menerima uang dan mencoblos calon. Selebihnya 10,99 persen tak akan menerima dan tidak memilih calon. "Fakta membuktikan praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka," kata Sofyan Herbowo, Director of Public Affairs Praxis PR, akhir Januari silam.

Sedangkan Arga Pribadi, dosen pemerintahan Fisipol UGM membedah alasan di baliknya. "Pemilu diibaratkan seperti ‘pesta’, sehingga memberikan dan menerima uang maupun barang dianggap sebagai sesuatu harus atau wajar untuk dilakukan," kata Arga. Lanjut dia, berdasarkana analisis Socioeconomic Status (SES) di riset, kian tinggi SES kian tak efektif praktik politik uang.

Survei dilakukan 1-8 Januari 2024 kepada 1.001 mahasiswa berusia 16-25 tahun di 34 provinsi di Indonesia. Praxis berkolaborasi menggandeng Election Corner (EC) Fisipol UGM mengkaji temuan kuantitatif dengan riset kualitatif pada 15 Januari 2024 berupa FGD melibatkan empat akademisi dan mahasiswa perwakilan UI, UGM, Universitas Mulawarman (Kalsel) dan Universitas Nusa Cendana (NTT).

Kondisi Kepri

Seperti kentut, praktik money politics tercium tapi susah membuktikan. Bahkan, konon, money politics menjadi alasan pertama pemilih menggunakan hak pilihnya. Setelah itu, alasan kesamaaan suku asal menjadi pertimbangan mencoblos. Selanjutnya baru kesamaan keyakinan, dan terakhir latar belakang pendidikan.

Pendeknya, kompetensi bukan penentu jadi tidaknya Caleg nantinya. Tak heran, kini merebak tren Caleg bertarung dalam paket. Bisa separtai, tapi beda legislatifnya. Atau, dapat juga beda parpol, juga beda legislatifnya. Alasan tarung paketnya juga beragam, seperti sama-sama satu keluarga, satu suku, hingga afinitas lainnya.

Selain, disebut-sebut, lebih menekan biaya politik, juga menjadikan paket mereka lebih kompetitif, karena saling meng-endorse. Sebab, politik juga identik dengan dukung mendukung, istilahnya endorsing. Persoalannya, tren tadi diadopsi hampir mayoritas Caleg bertarung, termasuk di Kepri.

Tak heran, sempat terdengar kelakar, kini Pileg tak ubahnya mencari pekerjaan (job seeking). Parpol tak ubahnya "perusahaan". Tren tadi sejalan dengan pengelolaan parpol juga seperti pengelolaan perusahaan. Pada titik ini, pemilih milenial krusial ketika dia datang ke TPS dan mencoblos. Bukan sebaliknya!

(*)

Bagikan