RUU Daerah Kepulauan: Bukan Ke Sumatera Daratan, Kepri Harus Belajar Berani Dari Bangka Belitung
angkaberita.id – Sudah saatnya Kepri belajar dari Bangka Belitung, terutama dalam sejumlah urusan seperti pertambangan dan potensi daerah kepulauan, bukan ke Sumatera Daratan. Apalagi, dalam sejumlah hal, Kepri dan Bangka Belitung justru identik, seperti status daerah kepulauan dan kondisi kapasitas fiskal daerah.
Kaya sumber daya alam, Kepri dan Babel sama-sama rendah kapasitas fiskal daerahnya. Gubernur Babel mengaku selama pandemi COVID-19 tahun 2020 tak dapat membangun apa-apa lantaran tiada anggaran. Bedanya, tak ingin, ibarat pepatah, “Tikus Mati Di Lumbung Padi”, Gubernur Babel blak-blakan di depan DPR meminta ke pemerintah jatah 14 persen saham di PT Timah.
Begitu juga urusan daerah kepulauan, Gubernur Babel juga mendesak DPR mengegolkan perundangan yang digaungkan sejak tahun 2005 melalui Deklarasi Ambon itu. Bersama DPD RI, delapan gubernur provinsi kepulauan sepakat mengawal pengesahan ke DPR.
“Kita sudah tahu bersama RUU Daerah Kepulauan Kepulauan sudah sangat lama, akan tetapi sampai saat ini belum ada progres signifikan, padahal materi muatan sudah sangat jelas,” tegas Erzaldi Rosman, Gubernur Babel, Kamis dua pekan lalu.
Kepri, diwakili Asisten I Pemerintahan Dan Kesra Juramadi Esram, hadir dalam rakor DPD RI di Jakarta, itu. Seperti provinsi lainnya, Kepri juga mendesak penghitungan ulang rumusan dana perimbangan (DAU), bukan hanya berbasis daratan namun juga lautan. “Kalau hanya daratan, Kepri hanya 4 persen saja luas daratannya dan tentu saja kecil DAU-nya,” kata Esram mewakili Gubernur Ansar.
Selain Kepri dan Babel, delapan provinsi daerah kepulauan ialah NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. RUU Daerah Kepulauan merupakan usulan DPD dalam Prolegnas DPR Tahun 2021 sekaligus menjadi satu dari 33 RUU Prioritas tahun ini. Selain RUU Daerah Kepulauan, DPD juga mengusulkan RUU BUMDes.
Pintu Masuk Labuh Jangkar
Gubernur Kepri memperkirakan pemasukan dari labuh jangkar setiap tahunnya sebesar Rp 200 miliar. Kendati baru sebatas estimasi, kebijakan itu menjadi kabar gembira di tengah kondisi defisit APBD akibat tengkurapnya sektor industri dan konstruksi di Bumi Segantang Lada.
Bersama sektor pariwisata, kedua sektor itu selama pandemi COVID-19 tahun 2020 menjadi pendenyut kembang kempis perekonomian di Kepri. Bahkan, jauh sebelumnya, bersama sektor tambang menjadi nyawa perekonomian di Bumi Segantang Lada. Labuh jangkar hanya satu dari sekian harapan bagi masa depan Kepri. Kenapa?
Kendati belum tuntas pembahasan di DPR, RUU Daerah Kepulauan bakal menjadi amunisi baru pendongkrak PAD Kepri ke depan, selain tentu saja labuh jangkar dan investasi sektor digital di Batam.
Bagi Kepri, pembahasan lagi perundangan itu setelah dua tahun mandek, menjadi harapan. Selain bertambahnya dana pusat ke Bumi Segantang Lada, juga terbuka kewenangan tertentu pengelolaan sumber daya ke daerah seperti perdagangan antarpulau, perikanan dan pendidikan.
Berstatus provinsi terluas wilayah perairan di Tanah Air, Kepri masuk akal menyandarkan masa depan dan mendesain strategi pembangunan ke depan berpancang ke laut dan kawasan perairan. Apalagi, jika akhirnya DPR mengesahkan menjadi perundangan, peta kapasitas fiskal darah Kepri tentu akan berbeda dibanding kondisi sekarang.
DPD menangkap suasana kebatinan itu. Bersama RUU BUMDes, perundangan daerah kepulauan diharapkan menjadi success story para senator, termasuk empat orang dari Kepri, di Senayan. Demi menyukseskan, Kepri lagi-lagi harus belajar dari Babel. Soal jatah 14 persen saham PT Timah, tak hanya wakil mereka di Senayan, namun juga seluruh kepala daerah dan ketua DPRD di Babel, satu kata soal itu.
Ada delapan wakil Kepri di Senayan, masing-masing, empat DPR dan empat DPD. Dalam kajian DPD, setidaknya ada sembilan alasan krusialnya RUU Daerah Kepulauan. Di antaranya, seperti dipaparkan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti baru-baru ini, sebagai berikut:
“Substansi pertama adalah perhatian khusus atas paradigma pembangunan maritime based, selain paradigma land based yang sudah ditentukan oleh pemerintah saat ini. Karena faktanya, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia,” kata La Nyalla. Kedua adanya jaminan pemenuhan kebutuhan fisik dasar dan perlindungan dari cuaca buruk dan atau ekstrem sesuai Pasal 37 ayat 2 RUU itu.
Ketiga adanya layanan pendidikan dasar dan menengah serta kesehatan ditanggung negara. Keempat adanya pendanaan khusus melalui Dana Khusus Kepulauan sesuai Pasal 27 RUU itu. Kelima pengaturan dana khusus minimal 5 persen dan Dana Transfer Umum dari Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil seperti ketentuan Pasal 30 RUU itu.
Substansi keenam ialah pengaturan penerbitan izin usaha perikanan tangkap, izin pengadaan kapal tangkap ikan, pendaftaran kapal tangkap untuk bobot kapal di atas 30 sampai 60 gross tonase, dan penerbitan izin usaha pemasaran serta pengolahan hasil perikanan lintas daerah kepulauan. “(Ini) menjadi menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi kepulauan, seperti diatur dalam Pasal 13 ayat 1,” ungkap La Nyalla.
Ketujuh soal pengaturan kewenangan tertentu dalam bidang energi dan sumber daya mineral. Begitu juga kewenangan pengatudan bidang perdagangan antar pulau skala besar menjadi substansi kedelapan.
Terakhir, substansi kesembilan ialah konsepsi bahwa Pulau-Pulau Kecil Terluar atau PPKT, adalah Aset Strategis Nasional sebagai penguat kedaulatan NKRI. Selain delapan provinsi, berdasarkan data, terdapat 85 kabupaten dan kota bercirikan daerah kepulauan dan pesisir pantai.
Tata Ruang Tata Uang
Dengan delapan wakil di Senayan, modal Kepri mendorong kebijakan keduanya tidak kecil. Apalagi, Kepri juga terbilang sukses dalam penyertaan di sektor migas dengan skema participation interest (PI).
“Dalam soal tambang, kita juga bisa mengadopsi skema itu,” ungkap Iskandarsyah, Analis Ekonomi Kepri di Tanjungpinang, merespon sinyal pembukaan tambang bauksit di Tanah Air, termasuk di Kepri, belum lama ini.
Seperti diketahui, Kemenko Maritim dan Investasi menyebut, sektor tambang nikel, tembaga dan bauksit dapat menjadi penambal defisit keuangan negara di tengah pandemi seiring tinggi permintaan dunia dan tren komoditas dan industri masa depan.
Begitu juga dengan timah, Iskandarsyah menilai Kepri pernah berjaya, dan Kundur di Karimun menjadi saksi bisu kejayaan hingga sekarang. “Itu juga menjadi alasan saya maju ke Pilbup Karimun kemarin,” Iskandarsyah keceplosan soal keberanian Babel meminta saham PT Timah.
Mantan Ketua Komisi II DPRD Kepri, itu lantas bercerita banyak soal potensi kelautan dan perikanan di Kepri, termasuk soal labuh jangkar sebagai sumber PAD masa depan Kepri.
Kendati di mata Rudy Chua, waktu balik modal (ROI) investasi di sektor maritim bisa belasan tahun, namun menurut Iskandarsyah tak seharunya menjadi kendala. Karena, dengan luasan perairan dua kali lipat dari daratan, Kepri sewajarnya memaksimalkan potensi laut. Kuncinya, kata Iskandarsyah, regulasi.
“Ada istilah tata ruang ialah tata uang,” Iskandarsyah berseloroh. Maksudnya, pemerintah di Kepri, termasuk kabupaten/kota, harus menyadari besarnya potensi kelautan. Karenanya, perlu penataan demi memikat penanam modal. Dengan regulasi tata ruang, pengkaplingan laut lebih terarah dan jelas peruntukannya.
Kepri katanya, tata ruang laut dan wilayah perairan telah rampung, dan tinggal daerah menyinkronisasi tata ruang laut dan wilayah perairan mereka. “Setahu saya, kabupaten kota telah ada pembahasan revisi soal itu,” kata Ing, belum lama ini. Jika tuntas, ke depan Gubernur Ansar akan lebih mudah meyakinkan calon investor beriivestasi ke sekujur Bumi Segantang Lada.
Apalagi, menurutnya, pilihan di masa pandemi terbatas guna mendongkrak perekonomian. Saat ini, kata Ing, panggilan akrab Iskandarsyah, pilihannya belanja pemerintah (APBN dan APBD) dan konsumsi masyarakat. Dua dari empat komponen pendongkrak pertumbuhan ekonomi lainnya, tentu saja, ekspor dan investasi. “Regulasi Tata Ruang dan Tata Wilayah berkait dengan investasi dan ekspor,” jelas Iskandarsyah.
(*)
UPDATE: Penambahan Judul ‘…..Belajar Berani…..”