COVID-19 Di Kepri, Kunci New Normal Di Tengah Pandemi Ialah Pemda
angkaberita.id-Seiring keputusan pemerintah menerapkan kebijakan tatanan baru (new normal), selain mempertimbangkan kondisi setempat (locality) pemerintah juga diminta mengubah strategi komunikasi publiknya, dengan mengedepankan Pemda sebagai juru bicara sosialisasi ke masyarakat.
Apalagi kondisi pandemi, khususnya risiko epidemologi satu daerah dengan lainnya di tanah air, berbeda. “Poin saya, kalau mau ngomong new normal, itu jangan top-down, tapi bottom-up. Mulai dari wilayah-wilayah yang sudah membaik,” kata Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, lembaga survei seperti dilansir Katadata, Jumat (12/6/2020).
Strategi itu, menurut Muhtadi, diperlukan saat sosialisasi dan edukasi new normal di tengah masih terjadi penambahan kasus pandemi COVID-19. Apalagi persetujuan publik satu daerah dengan daerah lainnya berkenaan dengan new normal berbeda-beda. Secara umum, menurutnya, lebih banyak meminta PSBB dilanjutkan, terutama di Jawa.
Sedangkan di Sumatera, menurutnya, berdasarkan hasil survei persentease PSBB sudah bisa dihentikan, lebih banyak. Survei lembaganya, Muhtadi mencatat, 50,6 persen masyarakat Indonesia masih ingin PSBB dianjutkan demi menekan penyebaran COVID-19. Hanya 34,1 persen mereka yang berpendapat PSBB perlu dihentikan agar ekonomi bergeliat.
Secara wilayah, ada 76 persen masyarakat di Jakarta yang merasa PSBB harus tetap dilanjutkan. Hanya 24 persen masyarakat di Jakarta merasa PSBB sudah bisa dihentikan. Di Jawa Tengah, 54,2 masyarakat merasa PSBB harus tetap dilanjutkan. Seanyak 40 persen lainnya merasa PSBB sudah bisa dihentikan.
Seruan serupa juga terdengar di Jawa Timur. Sebanyak 57,3 persen warga di sana menilai PSBB masih diperlukan, dan hanya 36,4 persen menilai sebaliknya. Pengecualian di Banten, di sini 68 persen masyarakat merasa PSBB dapat dihentikan. Hanya 32 persen setuju berlanjut.
Khusus Sumatera, Muhtadi mengungkapkan, 50,5 persen masyarakat di Negeri Swarnadwipa menilai PSBB dapat dihentikan. Penolaknya, beda-beda tipis, sebanyak 47,2 persen. “Jangan dari Jakarta dan jangan dari pemerintah pusat. Biarkan gubernur,” saran Muhtadi soal edukasi new normal di daerah.
Berdasarkan data, hingga 12 Juni, kasus di provinsi padat penduduk masih mendominasi penambahan kasus baru. DKI Jakarta masih menjadi episentrum pandemi. Selain itu, dia juga meminta pemerintah mewaspadai tiga isu krusial selama pra tahapan new normal itu yang berpotensi menjadi kendala sosialisasi.
Isu tenaga asing saat pandemi COVID-19, bantuan sosial dan pelatihan online melalui pra kerja, terutama bagi warga terdampak akibat PHK. Data survei lembaganya, Muhtadi mengungkapkan, 26,6 persen responden menolak TKA masuk tanah air. Sedangkan 60,6 persen responden menilai TKA harus dilarang masuk sampai pandemi corona selesai. Hanya 4,2 persen responden merasa TKA tak ada persoalan.
Terkait bansos, ada 60,3 persen responden menilai bansos tidak tepat sasaran. Lalu 29,7 persen menilai sudah tepat sasaran. Adapun pelatihan daring kartu prakerja, 48,9 persen responden tidak setuju. Hanya 29,8 persen responden setuju.
“Ini isu-isu negatif yang mengurangi kredibilitas pemerintah ketika bicara new normal. Kalau tidak diperbaiki, isu new normal bisa tergeser oleh noise (gaduh) semacam itu,” kata dia. Saran Muhtadi seperti mengonfirmasi analisis dua pemikir veteran Gedung Putih dan Universitas Harvard di Amerika Serikat.
Mereka, pada akhirnya sepakat, kunci memenangi peperangan globalnya dengan strategi lokal. Istilah buku sejarah di tanah air, menerapkan perang gerilya. Laporan Foreign Affairs, majalah bergengsi terbitan Council on Foreigns Relations, think tanks kenamaan di Amerika Serikat, seperti mengupas siasat itu.
Dalam esai bejudul “All Epidemiology Is Local”, dua analis itu sampai pada kesimpulan, saat tidak ada strategi global, siasat lokal justru efektif. Karena, menurut mereka, kajian dan asumsi ilmuwan epidemologi di barat ternyata tak terbukti di belahan dunia lainnya.
Keterbatasan kapasitas kesehatan dan sistem kesehatan publik ternyata tak berbanding lurus dengan ledakan kasus infeksi virus corona. Kasus di Afrika menjadikan mereka berfikir ulang, jangan-jangan memang ada variabel struktur demografi di balik semua itu.
Sebagian besar negara terdampak justru di negara maju, meskipun sistem kesehatan publiknya memadahi, namun memang memiliki penduduk lanjut usia lebih banyak. Dan, di antara kasus kematian COVID-19 sebagian besar terjadi di segmen demografi itu.
Pemerintah agaknya mulai menyadari kondisi itu, dan memutuskan melalui Gugus Tugas COVID-19 Pusat, di hari Senin setiap akhir pekannya mengumumkan status risiko pandemi masing-masing daerah di seluruh tanah air. Di Kepri, berdasarkan data per 7 Juni 2020, terdapat tiga daerah masuk zona kuning. Yakni Tanjungpinang, Bintan dan Karimun.
Sedangkan Anambas, Lingga dan Natuna termasuk zona hijau. Dari tujuh kabupaten dan kota di Kepri, hanya Batam masih berstatus zona merah. Kabar baiknya, kondisi klinis pasien positif dalam perawatan seluruhnya stabil. Bahkan, beberapa telah dinyatakan sembuh. (*)