Pandemi COVID-19, Kenapa Kepri (Butuh) New Normal Sekarang?

kepri bersiap menerapkan new normal, namun pro kontra terjadi di batam/foto ilustrasi via wikipedia.org

Pandemi COVID-19, Kenapa Kepri (Butuh) New Normal Sekarang?

angkaberita.id– Akibat keterbatasan anggaran, penyaluran BLT kepada warga terdampak COVID-19 sebesar Rp 600 ribu per kepala keluarga di Tanjungpinang terancam molor dari jadwal bulan Juni ini. Tekanan kian menguat seiring keinginan Pemko menerapkan tatanan baru (new normal) di Bumi Gurindam.

Sebab, BLT dan penguatan permodalan UMKM menjadi satu dari sekian persyaratan sebelum menjalankan tatanan baru. Selain tentu saja persyaratan secara epidemologis, ketahanan ekonomi menjadi mantra menjalani new normal. Persoalannya, jika ukurannya PAD, belum seluruh Pemda Kepri sehat secara keuangan.

Dengan kata lain, mereka masih mengandalkan duit pusat melalui dana perimbangan. Peliknya, kondisi keuangan pusat terkuras habis ke penanggulangan COVID-19. Sehingga mau tidak mau, daerah harus memutar akal, termasuk menerapkan kebijakan new normal demi menggeliatkan perekonomian.

Tak heran, kendati sesuai keputusan Gugus Tugas COVID-19, hanya tiga daerah di Kepri boleh menerapkan new normal. Namun seruan serupa juga menguat di empat daerah lainnya, terutama Batam dan Tanjungpinang. Diyakini, alasan di balik keinginan itu sederhana. Daerah tidak bisa seterusnya mengandalkan duit pusat di saat ekonomi nasional juga tertatih-tatih.

Pendorong lainnya tentu saja kontraksi perekonomian di Kepri. Jika tak tertangani hanya membawa Kepri di tubir kebangkrutan ekonomi. Imbasnya bisa kemana-mana, selain pengangguran juga kriminalitas, bahkan secara ekstrem memicu peningkatan kasus bunuh diri akibat depresi.

“Ini situasi yang kritis sebenarnya. Antara menjaga level penyebaran COVID-19 tetap rendah dan memulai perputaran roda ekonomi yang terhenti selama tiga bulan terakhir,” kata Suyono, Pengamat Ekonomi Kepri di Batam, Rabu (3/6/2020) menanggapi pro kontra new normal di Kepri, khususnya Batam.

Idealnya new normal, khususnya di Batam memang menunggu kasus COVID-19 mereda, atau tidak terjadi penambahan kasus baru secara signifikan, sesuai ukuran organisasi kesehatan dunia (WHO). Persoalannya, WHO sendiri memastikan vaksin sebagai satu-satunya penangkal wabah corona belum akan tersedia dalam waktu dekat.

Sehingga warga dunia bakal lama hidup dengan COVID-19. Saat bersamaan, kehidupan tidak boleh berhenti. Itu artinya, ekonomi harus berjalan sekaligus sebagai bahan bakar kesehariannya. Pada titik inilah, akhirnya Presiden Jokowi mengirim sinyal agar penghuni negeri ini, termasuk di Kepri mulai “Berdamai Dengan COVID-19”.

Bagaimana Kepri? Statistik perekonomian Kepri, menurut Suyono, masih suram. Triwulan I tahun 2020 ekonomi Kepri nyungsep -4,5 persen. Jika setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, meminjam analisa Harry Azhar Azis mantan Ketua BPK RI, ekuivalen dengan penciptaan 300 ribu-350 ribu lapangan pekerjaan baru, maka pertumbuhan ekonomi negatif sebesar itu setara 1,2 juta lebih pengangguran baru di Kepri.

suyono pengamat ekonomi kepri di batam/foto via batamnews.com

Kondisi itu, menurut mantan jurnalis Harian Bisnis Indonesia, itu sepertinya bakal berlanjut trennya di triwulan II tahun 2020 jika kondisinya terus seperti sekarang. “Jadi siap tidak siap, dengan alasan keterpurukan ekonomi, new normal dibawa saat kondisi masih abnormal,” katanya.

Berdasarkan data, secara epidemologis Kepri masih zona merah, dengan lima daerah terjangkit. Batam dengan sebaran kasus tertinggi, dan terus terjadi penambahan kasus baru. Hingga 2 Juni, tercatat sebanyak 207 kasus, 139 di antaranya di Batam sekaligus tertinggi di Kepri.

Senada Ing Iskandarsyah, Ketua Komisi II DPRD Kepri. Menurutnya, kebijakan new normal keniscayaan. Tak hanya di level nasional, namun juga lokal di Kepri. Dia berpandangan, new normal bukan berarti mengabaikan bahaya COVID-19. Namun bagaimana beradaptasi dengan kenyataan itu.

Ekonomi bergulir, masyarakat bisa lebih produktif dan warga dapat mencari nafkah sebagai segi positifnya. Sehingga dapat menekan ekses COVID-19 seperti pengangguran akibat PHK dan efek domino akibatnya seperti kriminalitas. “(Dan) potensi bunuh diri,” sebutnya. Meskipun, konsekuensinya kurva COVID-19 di Kepri tak kunjung mendatar lantaran potensi terjangkit kian besar.

Menurutnya, tidak perlu dipersoalkan new normal, termasuk di Batam sekalipun meskipun masih zona merah. Terpenting, selama beraktivitas warga menerapkan protokol kesehatan. Penerapan zonasi, seperti merah, kuning dan hijau juga harus diperketat dengan penindakkan dan pendisiplinan melibatkan TNI-Polri, terutama di zona merah dan kuning.

“Memang nyawa dan keselamatan masyarakat prioritas utama, namun jika ada peluang yang sudah dianalisa dan dikaji dengan baik, dan di sana ada kesempatan dilakukan aktivitas ekonomi, sosial dan publik (new normal suatu keniscayaan),” papar ketua komisi DPR Kepri bidang perekonomian dan keuangan itu, terkait pro kontra new normal di Kepri.

ing iskandarsyah ketua komisi II dprd kepri/foto dokumentasi pribadi

Soal pentingnya protokol kesehatan selama new normal juga menjadi penekanan Donni Irawan, Pengamat Kesehatan Masyarakat Kepri. “Protokol kesehatan di masyarakat harus ada yang mengawasi dan sanksi,” sarannya. Seperti Suyono, dia menilai keinginan menerapkan new normal, khususnya di Batam semata tuntutan ekonomi.

Dia melihat, ada ketidaksiapan pemerintah mengatasi pandemi, khususnya dalam menjamin hak hidup dasar akibat dampat COVID-19. Sesuai dengan perundangan karantina, satu di antaranya mengatur PSBB, negara memang menjamin warga, termasuk ternak dan hewan peliharaan kebutuhan dasarnya begitu menetapkan lockdown atau karantina wilayah.

Di Kepri, kendati Gubernur Kepri Isdianto berkoar bakal mengusulkan PSBB, namun berantakan setelah Walikota Batam dan Pemko Tanjungpinang tak siap secara pendanaan saat menerapkannya. Praktis hanya Bintan satu-satunya pengusul PSBB di Kepri.

Alhasil, skenario penanganan pandemi COVID-19 masing-masing daerah di Kepri berbeda satu sama lain, meskipun pada akhirnya menjadikan sembako andalan utama.

Persoalannya, sampai berapa lama menjaga ketahanan sembako itu. New Normal diyakni, seperti kritikan Donny, ketidaksiapan Pemda menyediakan itu. Kini, kata Donny, mau tidak mau jika memang akhirnya new normal warga harus menerimanya sebagai kenyataan, dengan modal patuh dan disiplin terhadap protokol kesehatan.

Jika merujuk data BPS, tahun 2018 tiga sektor menjadi nyawa perekonomian Kepri. Yakni, manufaktur, pertambangan dan konstruksi. Manufaktur identik dengan pabrikan, itu artinya lekat dengan Batam. Pertambangan, jika ukurannya realisasi dan perusahaan beroperasi berarti Karimun dan Bintan.

Sedangkan konstruksi, secara umum bersumber dari APBN dan APBD, melalui belanja pembangunan dan merata di sekujur Kepri, kecuali Batam dengan swasta di sektor properti, Penopang selanjutnya pariwisata, Kepri termasuk unggulan di tanah air, dengan Batam menjadi pintu laut utama.

Persoalannya, kini dengan terjangan COVID-19, daya tahan ketiganya mulai kritis. Banyak anggaran pembangunan dialihkan ke penanganan COVID-19. Sedangkan sektor manufaktur, sejak lama Batam sudah angkat bendera putih seiring hengkangnya pabrikan modal asing dan kondisi pasar global lesu seiring membuminya infeksi corona.

Pertambangan akhirnya menjadi harapan? Setidaknya jika rujukannya pengesahan revisi UU Minerba di DPR beberapa waktu lalu. Ada sejumlah pelonggaran ketentunan ekstraksi dan konsesi perizinan, termasuk diperbesarnya jatah ke daerah penghasil. Namun di mata Suyono, itu tidak bisa diandalkan dalam waktu dekat.

Sektor pariwisata menjadi alternatif, persoalannya pelancong utama ke Kepri asal Singapura, China dan sebagian negara itu masih terkurung ketentuan lockdown dan kondisi resesi ekonomi negaranya. Sehingga dikhawatirkan menjadi angin surga bagi pelaku industri perhotelan dan industri penunjang pariwisata lainnya.

Lalu sektor apa akhirnya bakal menjadi tumpuan di Kepri, jika new normal benar-benar diterapkan? Sektor konsumsi rumah tangga? Jika melihat Kepri, khususnya enam daerah di luar Batam, dapat dilirik sebagai alternatif. Terutama belanja konsumsi PNS, baik Pemda dan instansi vertikal. Hanya bergulirnya terbatas ke sektor informal.

Katanya, “Menggenjot konsumsi rumah tangga tidak optimal karena saat ini masyarakat membatasi belanja kebutuhan pokok, untuk kebutuhan sekunder dan tersier kalau bisa ditunda hingga kondisi normal”. Kendati demikian, dia menilai kini akibat COVID akses perkreditan terpaksa dihentikan, terutama pengajuan baru.

Praktis, terjadi kelebuhan likuiditas di perbankan dari dana pihak ketiga. Memang perbankan berbeda dengan industri lainnya, tingginya risiko mengharuskan industri perbankan benar-benar dikelola secara hati-hati (prudence).

Namun perbankan juga tak bisa selamanya menahan dana pihak ketiga tanpa sama sekali intermediasi, kecuali memang sanggup menanggung beban operasional dan siap terpangkas net interest margin-nya. Is this blessing in a disguise?

(*)

Bagikan