COVID-19 Di Kepri (1): Infeksi Corona Wabah Perkotaan?
angkaberita.id-Kendati menjadikan nyawa orang sebagai prioritas penanganan pandemi COVID-19, namun sebagian besar penduduk di dunia juga meminta pemerintah menyelamatkan kehidupan (baca: perekonomian). Sebagian besar penduduk dunia juga meyakini perekonomian segera pulih, meskipun perlu waktu.
Dibandingkan penduduk negara maju, berdasarkan hasil survei lembaga riset ekonomi McKinsey, seperti dikutip situs VisualCapitalist, sebagian besar penduduk negara berkembang, termasuk Indonesia, soal pemulihan ekonomi lebih optimis.
Namun tiadanya strategi global dalam menanggulangi pandemi COVID-19, proses pemulihan bakal berbeda antara satu dengan negara lainnya. Apalagi belakangan sejumlah negara seperti China, Korea Selatan justru terindikasi mengalami serangan virus corona gelombang kedua.
Kondisi itu seiring pelonggaran kebijakan pembatasan aktivitas sosial seperti aturan penjarakkan sosial (social distancing) dan penjarakkan fisik (physical distancing). Ancaman serupa juga mengintai sejumlah negara lainnya, termasuk Amerika Serikat dan Italia.
Selain mengalami serangan terparah pandemi COVID-19, kedua negara itu juga mulai melonggarkan aturan pembatasan sosialnya. Berdasarkan data, hingga sejauh ini, sebagian besar negara terjangkit merupakan negara maju di belahan dunia utara.
Secara geografi, sebagian besar negara terjangkit berada di belahan negara dunia utara, dengan topografis sebagian besar di negeri empat musim. Sebagian besar kasus infeksi tertinggi juga berjangkit di perkotaan padat penduduk, dengan karakteristik arus keluar masuk orang tinggi.
Kota itu juga secara ekonomi menjadi pusat pertumbuhan, setidaknya menjadi urat nadi perekonomian negara bersangkutan berdasarkan koneksi rantai distribusi logistik. Sehingga, secara demografi, sebagian besar penduduknya juga memiliki angka harapan hidup lebih tinggi, sebagian bahkan cenderung dominan usia lansia.
Sehingga, bagi sebagian kalangan, pandemi COVID-19 diyakini merupakan wabah perkotaan, khusus di tanah air boleh jadi wabah di daerah ibukota provinsi jika mengacu episentrum di tanah air, dan kelas menengah berdasarkan asumsi situs organisasi dunia periset soal terkait sebaran kasus berdasarkan tingkat pendapatan.
Nah, secara geografis daratan dengan kondisi iklim dingin laten bagi hibernasi berbagai virus, termasuk influenza. Berkaca dari asumsi itu, sebagian kalangan pada akhirnya meyakini, kesuksesan memerangi pandemi bersifat kondisional alias tergantung faktor-faktor generik negara bersangkutan.
Simpulan itu, setidaknya terlihat dari perbedaan strategi masing-masing negara menghalau serangan infeksi sejauh ini, seiring tiadanya kepemimpinan global dalam perang wabah itu. Bagi negara maju dengan geografi daratan, sebagian besar strateginya dengan lockdown, termasuk karantina wilayah secara partial.
Kebijakan lockdown semisal Spanyol, Italia untuk menyebut sebagian. Sedangkan lockdown terbatas semisal Jerman, Amerika Serikat, Inggris beberapa di antaranya. China menerapakan lockdown di Wuhan, kota terjangkit parah.
Korea Selatan dan Taiwan melakukan pembatasan aktivitas sosial dengan menerapkan strategi tes, lacak dan isolasi dan diistilahkan 3T alias test, trace and treat. Kedua strategi ini ongkosnya besar secara sosial ekonomi.
Bedanya, lockdown efektif menekan penyebaran dari luar wilayah, namun berpotensi melipatgandakan infeksi sampai terbentuk kekebalan populasi (herd immunity).
Ongkos terbesar ialah penjaminan kebutuhan hidup warga terkena lockdown. Strategi Korea Selatan, berisilko masuknya kasus infeksi impor dan bengkak biaya pengujian dan pelacakkan.
Namun secara ekonomi aktivitasnya tak lumpuh. Sedangkan lockdown praktis tidak ada kegiatan ekonomi di negara itu. Di tanah air, pemerintah secara kondisional menerapkan kebijakan pembatasan sosial skala besar (PSBB). Secara praktis, mirip gado-gado antara dua strategi di level global itu.
Hasilnya, hingga 12 Mei berdasarkan data, terdapat 4.254.800 kasus infeksi corona, dengan angka kematian sebanyak 287.293 jiwa. Lima negara maju menjadi episentrum, yakni Amerika Serikat, Spanyol, Inggris, Rusia dan Italia.
Sekilas, kondisi itu seperti mengamini teori-teori yang berseliweran selama ini. Di antaranya perbedaan cuaca menjadi faktor pembeda di balik penyebaran infeksi. Kondisi geografis daratan dan kepulauan tak bisa disepelekan. Kemudian juga faktor struktur demografi menjadi modal menekan risiko pandemi.
Argumentasinya sebagai berikut: Kendati mematikan, namun daya penularan virus COVID-19 tak setinggi penyakit infeksi lainnya semisal cacar. Namun belakangan tafsir itu berubah seiring melesatnya kasus infeksi. Kabar baiknya, pola serangan infeksinya terpolakan. Kabar buruknya, replikasi infeksi virusnya bermutasi.
Akibatnya, karakteristik virus di negara terjangkit berbeda satu sama lain. Sehingga strategi pencegahan, termasuk vaksin penangkalnya akan berbeda. Namun dengan asumsi satu orang terinfeksi menulari dua orang, penularan COVID-19 benar-benar eksponensial. Bahayanya, virus corona bersifat parasit dan patogen.
Parasit sederhananya selalu mencari inang sebagai bertahan hidup sekaligus tempat repilkasi baru, dan patogen atau bersifat fatalis, terutama pasien dengan risiko tinggi. Faktor cuaca berangkat dari asumsi virus cenderung laten di kondisi dingin. Sehingga iklim tropis tak terlalu berisiko.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membantah klaim itu. Kondisi geografis daratan dan kepulauan, secara de facto tak ubahnya lockdown. Setidaknya memutus mata rantai penularan dengan argumentasi:
Sebagai parasit, virus bersemayam di orang tanpa gejala (carrier) sehingga dengan terbatasnya akses pertukaran arus keluar masuk melalui moda transportasi, maka terputus mata rantainya. Dengan sendirinya, virus bakal bersirkulasi ke daerah terjangkit saja.
Kendati serangan virus bersifat arbiter alias tak mengenal usia. Namun infeksi di usia lansia lebih berisiko tinggi akibatnnya. Setidaknya berdasarkan kondisi sistem kekebalan tubuh dan faktor kerentanan terhadap penyakit bawaan (komorbiditas).
Inilah kenapa belakangan struktur demografi dianggap sebagian kalangan, menjadi modal game changer menghadapi pandemi COVID-19. Kian muda struktur demografi penduduknya, makin besar peluang sembuh. Benarkah?
Namun berdasarkan laporan resmi penelitian kasus COVOD-19 di Wuhan, China, seperti dikutip Statista, COVID-19 rawan menyerang pria dan lansia. Sejumlah analisis belakangan bermunculan mendedah kesimpulan itu. Bagaimana kondisi di Kepri?
Hingga 11 Mei, berdasarkan data, terdapat 104 kasus di Kepri, termasuk 29 kasus di RS Galang, Batam, dengan korban meninggal sebanyak 11 jiwa. Berdasarkan daerah, terdapat empat kabupaten dan kota terjangkit. Yakni Batam, Tanjungpinang, Karimun dan Bintan. Dengan sebaran terbanyak di Batam, yakni 42 kasus.
Tiga kabupaten lainnya, yakni Anambas, Lingga dan Natuna sejauh ini nihil kasus COVID-19. Secara geografis, ketiganya jauh dari pulau utama, yakni Batam, Bintan Dan Karimun. Tiga daerah terakhir, dari 7 kabupaten dan kota di Kepri, selain menjadi pusat perekonomian juga lokasi konsentrasi sebaran penduduk di Bumi Segantang Lada.
Tahun 2018, berdasarkan sektor, nyawa perekonomian Kepri ditopang tiga sektor. Yakni, manufaktur, pertambangan dan konstruksi. Manufaktur identik dengan pabrikan dan itu Batam. Pertambangan, jika ukurannya investasi dan usaha tengah operasional, itu lekat dengan Karimun dan Bintan.
Konstruksi merata di 7 kabupaten kota karena menyerap belanja pembangunan APBD dan APBD, dengan pengecualian Batam melalui sektor properti swasta.
Batam dan Bintan bahkan, bahkan secara nasional, menjadi pintu gerbang arus keluar masuk orang. Sebagian kunjungan wisata, sebagian pekerja migran dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura. Berdasarkan akses tranportasi, ketiga daerah itu juga terbilang banyak moda transportasi.
Khusus Batam, berdasarkan mobilitas penerbangan, selain menjadi daerah tujuan juga menjadi hub penerbangan daerah sekitarnya ke sejumlah rute di tanah air lainnya. Bandara Hang Nadim terpadat di Kepri. Begitu juga dengan transportasi laut, baik antar daerah maupun ke luar negeri, Batam paling banyak pelabuhan lautnya.
Secara administratif, tiga daerah terbesar di Kepri, itu juga dominan dengan wilayah perkotaan. Dari 275 desa di Kepri, tak ada satupun di Batam dan Tanjungpinang. Sehingga secara teori, termasuk kawasan perkotaan. Berdasarkan klaster, sebagian besar pasien terjangkit memiliki riwayat perjalanan ke daerah terjangkit.
Sebagian malah terjadi penularan lokal sekaligus melahirkan klaster lokal. Pemko Batam sendiri batal mengajukan PSBB, lebih memilih karantina zonasi berbasis RT dan RW. Hingga sejauh ini, Pemko Batam menganggarkan Rp 315 miliar menghadapi pandemi COVID-19.
(*)