COVID-19 Di Kepri, Kenapa Kasus Batam-Pinang Banyak Pria Terjangkit?
angkaberita.id – Walikota Tanjungpinang, Syahrul menjalani isolasi perawatan di RS Ahmad Thabib setelah mengalami keluhan mirip gejala COVID-19, Sabtu (11/4/2029).
Kendati belum diketahui hasil uji swab sebagai pengonfirmasi ada tidaknya infeksi virus corona, kabar itu memantik kembali pertanyaan kenapa pria lebih berisiko terinfeksi COVID-19.
Apalagi berdasarkan data, setidaknya hingga 11 April 2020, dari 23 kasus COVID-19 di Kepri 15 pasien di antaranya berkelamin pria, dengan sebaran terbanyak di Tanjungpinang, yakni 9 pasien, selebihnya Batam 5 pasien dan Karimun 1 pasien.
Kondisi serupa juga terpantau di DKI Jakarta. Berdasarkan update situs resmi Pemprov DKI, hingga 11 April 2020, dari 1.903 kasus sebanyak 55,91 persen berkelamin pria, sedangkan kelamin wanita sebanyak 40, 36 persen, dan 3,73 persen belum diketahui kelaminnya.
Berdasarkan kelompok usia, sekadar informasi tambahan, kasus terbanyak di DKI Jakarta kelompok usia di atas 60 tahun, yakni 479 pasien. Dari jumlah itu, sebanyak 276 pasien berkelamin pria.
Di Kepri, fenomena serupa juga terjadi setidaknya hingga 11 April 2020, terbanyak di kelompok usia 50-59 tahun, dari 10 kasus positif sebanyak 6 di antaranya berkelamin pria.
Kendati belum berarti pria paling banyak terinfeksi COVID-19, namun temuan itu seperti mengonfirmasi laporan resmi pemerintah China, seperti dikutip Statista, terkait serangan virus corona di sana.
Berdasarkan data Pusat Pengendalian Dan Pencegahan Penyakit China, sebagian besar pasien COVID-19 berkelamin pria dan berusia lansia, terutama mereka dengan riwayat penyakit bawaan.
Riset terbaru, seperti dilansir detikcom mengutip laporan The Guardian, terungkap pria lebih berisiko terkena virus corona, bahkan memiliki risiko kematian lebih tinggi dibanding wanita. Kasus di China, angka kematian (CFR) pria 2,8 persen dibanding wanita 1,7 persen.
Pola serupa juga terjadi di Prancis, Jerman, Iran, Italia, Korea Selatan dan Spanyol. Di Negeri Pizza, 71 persen kasus kematian di sana berkelamin pria, dan Spanyol pria dua kali lipat kasus kematiannya dibanding wanita.
Kasus Korea Selatan, meskipun wanita paling banyak terinfeksi, namun justru risiko fatal di kaum pria. Angka CFR-nya 54 persen. “Jujur, jawabannya tidak ada yang tahu apa yang menimbulkan perbedaan itu,” kata Prof Sarah Hawkes, Direktur UCL Centre for Gender and Global Health.
Kalangan ilmuwan masih menelisik faktor di baliknya. “Sampai saat ini kita memang tidak tahu pasti mengapa COVID-19 terlihat lebih parah pada pria namun selain usia tua, laki-laki memang menjadi salah satu faktor risiko dari beberapa penyakit parah dan masyarakat harus sadar mengenai hal ini,” sebut Profesor Sabra Klein, dari Universitas Johns Hopkins, seperti dikutip Daily Mail.
Kasus kematian kian meningkat di pasien dengan riwayat penyakit bawaan, seperti diabetes, hipertensi, jantung dan sebagainya. Secara historis, dengan merujuk keluarga virusnya, virus corona merupakan mutasi terbaru dari virus pemicu kasus SARS dan MERS, yang terjadi di China dan Arab Saudi.
Ketiganya memiliki kemiripan serangan, yakni sistem pernafasan. Menurut Dr Luis Ostrosky-Zeichner, spesialis penyakit menular di McGovern Medical School di UTHealth di Texas, pria dilaporkan memiliki hasil klinis lebih buruk, sehingga berisiko tinggi meninggal, dalam kasus SARS di Hongkong dan MERS di Arab Saudi dan Korea Selatan.
Sebagian ilmuwan meyakini, kecenderungan itu ada kaitannya dengan perilaku merokok dan konsumsi alkohol. Namun kalangan ilmuwan lain, dalam perspektif evolusi, meyakni wanita memiliki sistem imum lebih kuat terhadap infeksi virus dibanding pria. “Ini mungkin ada hubungannya dengan perubahan hormon,” kata Ostrosky-Zeichner.
Hormon juga diyakini berada di balik tingginya angka harapan hidup wanita dibanding pria. Kasus kematian di Amerika Serikat, selain penyakit sebagian juga akibat pengaruh hormon adrenalin sehingga banyak kasus kematian akibat kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.
Berdasarkan data, dalam kurun setengah abad, rata-rata angka harapan hidup global meningkat pesat. Bahkan, proyeksi PBB pada 2019 angka harapan hidup global rata-rata 72,6 tahun. Negara maju mendominasi tingginya angka harapan hidup itu.
Sebagian akibat kesejahteraan, sistem kesehatan dan pendapatan tinggi, dengan sejumlah negera silih berganti memuncaki daftar itu, tahun 1950 Norwegia dengan angka harapan hidup 72,3 tahun, kemudian Jepang dengan angka harapan hidup, yakni 83,7 tahun pada setiap bayi lahir tahun 2015.
Pada tahun 2050 Hongkong diproyeksi bakal bertahan sebagai negeri dengan penduduk berangka harapan hidup tertinggi dunia. Kondisi 2020, Hongkong tertinggi di dunia, pria 87,6 tahun, wanita 81,8 tahun dan rata-rata 84,7 tahun.
(*)