Perang Jawa Berakhir 1830, Kenapa Keris Diponegoro Baru Dikembalikan Belanda Sekarang?
angkaberita.id – Selain Presiden Soekarno, boleh jadi Pangeran Diponegoro merupakan lawan terberat kolonial Belanda selama menjajah tanah air. Lima tahun Diponegoro melawan Belanda, 1825-1830, kas penjajah itu langsung kritis. Bahkan, tak lama kemudian Belgia memisahkan diri dari Belanda.
Secara resmi, Diponegoro mengakhiri peperangan selama lima tahun terkenal sebagai Perang Jawa, itu dengan menyerahkan keris pusaknya ke Belanda. Dan, sejak itu upaya pengembalian benda pusaka tanah air itu terus tertunda, hingga akhirnya diserahkan belum lama ini.
Penyerahan dilakukan setelah 45 tahun janji Belanda mengembalikan keris bersepuh emas itu. Keris merupakan satu di antara sejumlah benda pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro dan Belanda janjikan dikembalikan pada tahun 1975.
Hanya keris baru belakangan diserahkan, sedangkan pelana kuda, tombak telah dikembalikan pada tahun itu. Menteri Kebudayaan Belanda, Ingrid van Engelshoven akhirnya menyerahkan keris itu mewakili pemerintah Belanda di Kedubes Indonesia di Den Haag, pekan ini setelah dua tahun pencarian di Museum Ethnologi di Leiden.
Atase Kebudayaan Kedubes RI di Belanda, Fery Iswandy menyebut, keris Diponegoro penting. Bukan hanya status Diponegoro sebagai pahlawan nasional, namun juga ciri khas sang pangeran. “Keris ini sangat penting bagi Indonesia,” tegasnya, seperti dikutip The Guardian.
Konon, keris itu diserahkan Diponegoro saat dirinya mengakhiri peperangan pada 28 Maret 1830 kepada Wakil Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia saat itu, Hendrik Merkus de Kock, sebelu diasingkan ke Sulawesi, Kalimantan dan akhirnya Makassar. Di sini, Diponegoro meninggal di usia 69 tahun.
Keris selanjutnya diserahkan ke Raja William I, raja pertama Belanda dalam pertemuan kabinet sengaja digelar khusus menandai penyerahan itu. Sebelum akhirnya, keris diserahkan ke Museum Ethlogi di Leiden sebagai koleksi.
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949, Belanda setujua menyerahkan benda peninggal Diponegoro itu. Tahun 1968 diteken perjanjian kebudayaan dan pada 1975 sejumlah benda pusaka dikembalikan, kecuali keris.
Hingga akhirnrya terbit buku sejarawan Jos Ban Beurden, menyinggung soal keberadaan keris itu. Jos menulis, setidaknya terdapat sejumlah memo rahasi pejabat Belanda berkenaan dengan keris itu.
Tahun 1983, Dubes Belanda di Indonesia saat itu, Lodewijk van Gorkom menginformasikan ke Kemenlu Belada dari sumber rahasia, keris itu terdapat di Rijksmuseum in Amsterdam.
Namun informasi itu diabaikan pemerintah Belanda. Tahun 1985, Dubes Frans van Dongen, pengganti Gorkom menulis surat ke Pieter Pott, Direktur Museum Etnologi di Leiden, sembari menyarankan agar keris dikembalikan bersempena 40 tahun kemerdekaan Indonesia.
Pott mengonfirmasi keberadaannya, namun belum berniat mengembalikannya. Alasannya, Pott keliru mengidentifikasi keris itu. Namun setelah terbitnya buku Beurden berjudul Treasure in Trusted Hands, pihak museum akhirnya mencoba menemukannya lagi.
Beuren sengaja disewa menyelidiki keberadaan keris pusaka itu. Terdapat delapan keris murip dengan milik Diponegoro. Riset dilakukan menentukan keris yang asli. Beurden dalam bukunya menulis, tidak kembalinya keris selama dua dekade menunjukkan ketidakseriusan Belanda mengembalikannya ke Indonesia.
“Namun kini kondisinya berubah di “(pengelola) museum,” kata Beurden. Nantinya keris itu bakal dipajang di Museum Nasional alias Monas di Jakarta. Pengelola Museum Bronbeek mengklaim, pihaknya juga memiliki sejumlah benda pusakan milik Diponegoro, dan telah dikembalikan, yakni pelangkap dari pelana kuda. (*)