Kenapa Oligarki Kuasai Politik Dinasti Hajatan Pilkada? Inilah Para Pemain Di Baliknya

ilustrasi politik dinasti/sindonews.com

Kenapa Oligarki Kuasai Politik Dinasti Hajatan Pilkada? Inilah Para Pemain Di Baliknya

angkaberita.id – Fenomena politik dinasti dan kecenderungan oligarki dalam kekuasaan politik di tanah air kian menjadi-jadi. Hajatan Pilkada menjadi cara mudah membuktikannya. Sejumlah daerah diketahui lekat dengan kecenderungan itu.

Tak hanya Pilkada, sejumlah partai politik juga disebut-sebut justru berusaha melanggengkan kecenderungan itu. Di tanah air, partai politik lebih dominan didasarkan pada garis darah atau kekeluargaan, kemudian menghasilkan konsentrasi kekuasaan dan ketidaksetaraan ekonomi.

“Hasil penelitian saya memaparkan data adanya 74 dinasti politik pilkada di 25 provinsi dan 174 dinasti politik pemilu legislatif nasional di 34 provinsi,” jelas Akbar Faisal, Direktur Eksekutif Nagara Institute.

Tempo mengutip riset Nagara Institute menulis, partai Nasdem paling lekat dengan kecenderungan itu. Sejak pemilu 2009 hingga 2019, tulisnya, dinasti politik pada pemilihan legislator trennya naik signifikan.

Jika ditotal, dari tiga kali pemilihan legislatif itu terdapat 178 kasus dinasti politik, dengan perincian Pileg 2009 ada 28 kasus dinasti politik. Pileg 2014 menjadi 51 kasus, dan menjadi 99 kasus pada 2019. Khusus tahun 2019, angkanya 17,22 persen dari 575 anggota DPR periode 2019-2024.

Jika dipetakan, Nasdem teratas jumlah anggota legislatifnya terpapar dinasti politik. Berikutnya Partai Golkar (18 orang atau 21,18 persen), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (17 orang atau 13,28 persen), Partai Gerindra (13 orang atau 16,67 persen), Partai Demokrat (10 orang atau 18,52 persen).

Bagimana dengan partai berhaluan keagaamaan? Partai Amanat Nasional (8 orang atau 18,18 persen), Partai Persatuan Pembangunan (6 orang 31,58 persen), Partai Keadilan Sejahtera (4 orang atau 8 persen), dan Partai Kebangkitan Bangsa (3 orang atau 5,17 persen).

Khusus daerah, Banten tulis Kompas.com paling identik dengan politik dinasti. Jika indikasinya, seorang kepala daerah memiliki hubungan dengan pejabat publik. Dari 514 daerah, termasuk 33 provinsi, 419 kabupaten dan 89 kota, sebanyak 80 daerah atau 14,78 persen terpapar dinasti politik.

Setelah Banten, Kalimantan Timur (36,36 persen), kemudian Jawa Timur (35,90 persen), Bali (30 persen), dan Sumatera Selatan (27,78 persen). Terungkap, setidaknya dua pemicu terjadinya politik dinasti itu.

Pertama, karena ada upaya untuk mewariskan kekuasaan dan modal pejabat sebelumnya. Kedua, dinasti politik terjadi karena beberapa anggota keluarga memiliki ambisi politik dan memberikan kemungkinan menguasai perpolitikan melalui keluarganya atau orang yang dekat dengan pejabat tersebut.

Politik dinasti dalam Pilkada, tulis Republika, merupakan bentuk oligarki kekuasaan politik.”Pemilihan kepala daerah juga tak luput dari jerat oligarki,” ujar Akbar Faisal, mantan anggota DPR RI.

Katanya, Pilkada serentak 2015 lalu melibatkan 1.658 pasangan calon (paslon), di tingkat provinsi (21 paslon), kota (117 paslon), dan kabupaten (714 paslon). Pilkada 2015 melahirkan 35 kepala daerah yang terpapar dinasti politik, dua orang di level provinsi dan 33 kepala daerah tingkat kabupaten/kota.

Pilkada 2017 diikuti 337 paslon yang terdiri atas 90 calon perseorangan dan 247 pasangan dari partai politik. Pilkada Serentak 2017 melahirkan 17 kepala daerah terpapar dinasti politik. Di antaranya lima kepala daerah tingkat provinsi dan 12 kepala daerah level kabupaten/kota.

Pilkada Serentak 2018 pun melahirkan 34 pemenang kepala daerah yang terkait dengan dinasti politik, tujuh kepala daerah tingkat provinsi dan 26 di kabupaten/kota. Pilkada 2018 diikuti 55 paslon di tingkat provinsi, 121 paslon di level kota, dan 344 paslon di tingkat kabupaten.

Menurut dia, dinasti politik terjadi karena beberapa anggota keluarga calon kepala daerah memiliki ambisi politik dan memberikan kemungkinan menguasai perpolitikan melalui keluarganya atau orang yang dekat dengan pejabat tersebut. Selain itu, dinasti politik terjadi karena ada upaya mewariskan kekuasaan dan modal dari pejabat sebelumnya.

Ia melanjutkan, hipotesis tersebut muncul karena keinginan para pejabat publik untuk terus melanggengkan pengaruhnya di pemerintahan atau dalam partai politik. Partai politik yang dimiliki oleh keluarga dan kerabatnya masing-masing yang akhirnya bermuara pada praktik oligarki di dalam tubuh partai itu sendiri. (*)

Bagikan