BUMDes di Kepri: Tahun 2016 Bintan Jor-joran, Akhir 2019 Anambas Tertatih-tatih (2)
angkaberita.id-Jika mengacu data Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kependudukan dan Catatan Sipil, per Desember 2018, pendirian BUMDes di Kepri terbanyak terjadi di tahun 2016 sebanyak 73 unit, dengan pendirian terbanyak di Kabupaten Bintan, yakni 23 unit.
Namun, jika dihitung sejak tahun 2011, jumlah pendirian terbanyak di Kabupaten Natuna, yakni 29 unit di tahun 2015. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kependudukan dan Catatan Sipil Kepri sendiri menggeber pendirian sejak 2015, setahun setelah pemberlakuan UU Desa.
Justru tahun 2019, jumlah pendirian BUMDes terendah dibanding empat tahun sebelumnya, yakni hanya 19 unit saja. Berdasarkan data, per Desember 2018 jumlah BUMDes di Kepri sebanyak 176 unit, setahun setelahnya menjadi 185. Terjadi penambahan 9 unit saja.
BUMDes sebanyak 185 itu tersebar di lima kabupaten, dengan sebaran terbanyak di Kabupaten Natuna, yakni 50 unit. Di Kepri, total terdapat 275 desa. Artinya, ada 90 desa lainnya belum memiliki BUMDes.
Kabupaten Lingga menguntit Natuna dengan BUMDes sebanyak 40 unit. Karimun dan Bintan menyusul di urutan berikutnya, masing-masing, sebanyak 35 dan 34 unit. Kabupaten Anambas mengunci daftarnya, dengan BUMDes sebanyak 26 unit.
Berdasarkan persentase, BUMDes di Bintan paling aktif. Dari 34 BUMDes, 28 unit di antaranya masih aktif. Secara keseluruhan, dari 185 BUMDes di Kepri, 77 di antaranya tidak aktif alias mati suri. Dari jumlah sebanyak itu, persentase terbesar di Kabupaten Anambas, yakni 15 tidak aktif dari 26 unit BUMDes.
Sardison berdalih, kondisi di Anambas disebabkan berbagai hal, seperti manajemen belum kompak, modal kurang, juga SDM terbatas. “Bukan mati suri, tapi kurang aktif,” kelitnya.
Sehingga harapan pemerintah BUMDes menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat dan desa masih jauh panggang dari api. Meskipun sebenarnya Dinas PMD Kependudukan dan Catatan Sipil telah berupaya memberikan pendampingan.
Tak heran, belum ada 10 persen dari keseluruhan BUMDes di Kepri memberikan kontribusi ke kas desa. “Belum 10 persen jumlahnya,” ungkap Sardison, Kepala Dinas PMD Kependudukan dan Catatan Sipil Kepri, pekan lalu. Padahal pihaknya telah berupaya usaha BUMDes berfokus pada potensi unggulan desa bersangkutan.
Menurut Sardison, pihaknya selama pendampingan pengelolaan BUMDes di Kepri memang mengosentrasikan pengelolaannya pada tiga jenis bidang usaha saja. Menurutnya, itu sesuai dengan arahan Kementerian Desa pentingnya memperhatikan program unggulan desa dalam pengelolaan BUMDes.
Selain program unggulan desa, penentuan konsentrasi jenis usaha BUMDEs juga didasarkan pada kondisi alam desa bersangkutan. Semisal kaya dengan lanskap alam menarik, konsentrasi bidang usahanya ke pariwisata.
Pun, semisal desa berada di pesisir dan banyak nelayan, pengelolaan BUMDes diarahkan memberikan nilai tambah bagi mata pencarian nelayan, termasuk pemberian modal buat peralatan melaut, juga kebutuhan pokok sehari-hari.
Karenanya, tidak heran jika tiga bidang usaha konsentrasi BUMDes di Kepri, sejauh ini meliputi usaha simpan pinjam, perdagangan, dan pariwisata. “Jenis usaha lainnya juga digarap, seperti pengepulan hasil perikanan,” ungkap Sardison. Kemudian ada juga transportasi, dan sebagainya.
Sardison mengungkapkan, banyak tantangan dalam pengelolaan BUMDes di setiap daerahnya. Selain kewajiban Perdes sebagai dasar pendirian BUMDes, juga terbatasnya kemampuan tenaga pengelolanya. Belum lagi, menurutnya, banyak di antara pengelola itu bekerja tanpa dibayar alias secara sukarela.
“Banyak pengelolaan akhirnya bersifat sukarela, warga desa sebagai relawan,” ungkapnya sembari menyebut, larangan penyertaan Dana Desa dalam BUMDes sebagai pembiayaan honor pengelola. Sesuai aturan, penyertaan Dana Desa hanya buat modal dasar pendirian BUMDes saja, selebihnya tidak boleh.
Belakangan menurut Sardison, sejumlah desa mulai mengelolanya secara profesional. “Seperti memanggil warga desa di perantauan, diminta pulang dan mengelola,” tuturnya.
Selain skema itu, sejumlah desa juga mulai mendelegasikan pengelolaannya ke profesional dengan konsekuensi penggajian desa harus mengupayakan sendiri, di luar dari Dana Desa.
Ukuran kesehatan suatu BUMDes menurutnya, kondisi kas, adanya keuntungan dan kontribusi ke pendapatan asli desa. “Di Bintan, beberapa BUMDes-nya telah memberikan kontribusi pendapatan ke desanya,” ujar Sardison.
(*)