angkaberita.id

Inilah Alasan Pengembang Perumahan Bangun Hunian Murah di Lokasi Jauh

Ilustrasi rumah KPR/Foto via bisnis.com

angkaberita.id – Usaha properti mengenal istilah lokasi, lokasi dan lokasi. Tak heran, pengembang dengan lokasi perumahan jauh dari kota cenderung membangun rumah terjangkau.

Sebaliknya di dekat kota, mereka menawarkan rumahnya dengan harga pasar. Kenapa?

Rencana pelonggaran penerima Fasilitas Likuiditas pembiayaan Perumahan (FLPP) dari maksimal berpenghasilan Rp4 juta menjadi Rp8 juta perbulan tidak sertra merta membuat pengembang melupakan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Managing Director PT Sri Pertiwi Sejati Group (SPS) Asmat Amin mengatakan batasan penghasilan Rp8 juta memberi akses pasar yang lebih luas, bisa menjangkau aparatur sipil negara (ASN) dengan gaji di atas Rp4 juta, juga menyasar segmen milenial yang bergaji antara Rp4 juta sampai Rp8 juta.

“Ini terobosan yang sangat bagus sekali jika bisa terealisasi. Dengan keterbatasan harga lahan yang semakin tinggi, mau tidak mau pengembang menjual dengan harga sedikit di atas MBR dan di dengan rentang penghasilan hingga Rp8 juta pasarnya sangat besar,” kata Asmat kepada Bisnis Minggu (3/3/2019) seperti dilansir laman situsnya, Senin (4/3/2019).

Asmat memaparkan jika ada kekhawatiran pengembang tidak akan fokus membangun rumah bagi MBR, di situlah hukum pasar akan berlaku. Untuk lokasi yang jauh, mau tidak mau pengembang akan membangun rumah bagi MBR, jika di dekat kota, pengembang akan menjual rumah yang harganya lebih mahal mengikuti harga lahan.

“Misalnya, ada yang membangun lokasi dekat kota dengan harga Rp300 juta, yang jauh dengan Rp150 juta, apakah mungkin orang mau mengambil rumah di lokasi yang jauh dengan harga Rp300 juta? kan tidak mau,” kata Asmat.

Backlog perumahan yang mencapai angka 11 juta dan kebutuhan akan rumah setiap tahun mencapai 1 juta, maka pasokan rumah tidak akan bisa menutupi angka backlog. Oleh karena itu, dia menilai memperluas segmen pasar adalah langkah yang sudah tepat.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda sebelumnya mengatakan rencana pelonggaran penerima FLPP menjadi berpenghasilan Rp8 juta per bulan akan membuat definisi MBR menjadi tidak relevan lagi karena dengan batasan penghasilan sampai Rp8 juta tentunya sudah tidak termasuk sebagai golongan MBR.

Adapun, kenaikan batasan gaji itu diikuti dengan rencana batasan maksimal kredit rumah sampai Rp300 juta. Artinya, pasokan rumah yang dapat terserap bisa sampai dengan harga Rp300 juta-an.

“Di satu sisi tentunya ini akan menggairahkan pasar perumahan yang tengah lesu dengan bertambahnya permintaan. Namun perlu disadari bahwa hal ini kan menimbulkan pergeseran pasokan rumah ke segmen rumah yang lebih tinggi lagi,” katanya.

Ali melanjutkan bahwa perlu disadari bahwa saat ini pemerintah masih mengandalkan pihak swasta dalam penyediaan rumah MBR. Dengan kenaikan permintaan di segmen rumah Rp300juta, pengembang akan lebih memilih untuk membangun rumah seharga itu dibandingkan dengan membangun rumah FLPP di bawah Rp150juta-an.

“Yang menjadi pertanyaan bagaimana nasib masyarakat yang tetap mempunyai penghasilan di bawah Rp4 juta yang saat ini belum mempunyai rumah.

Pengembang akan melihat peluang di segmen di atas Rp150 juta akan lebih menguntungkan dibandingkan dibawah harga itu. Dari sisi perbankan pun pastinya lebih senang untuk menampung KPR dari segmen ini karena relatif lebih terjamin dibandingkan segmen di bawahnya,” ungkap Ali. (*)

Bagikan
Exit mobile version