Ekonomi Sumatera Andalkan Alam, Kepala BPS Ingatkan Mimpi Buruk Kaltim
angkaberita.id – Kendati menjadi penopang pertumbuhan nasional setelah Jawa, perekonomian Sumatera masih mengandalkan kebaikan alam, terutama lewat industri ekstraksi. Sektor pertambangan dan migas masih menjadi penyumbang terbesar.
Ikhwal itu terungkap dalam kegiatan Konsultasi Regional PDRB Indikator Sosial Ekonomi se-Sumatera, bulan lalu, di Palembang. Bertempat di Hotel The Zuri, Palembang, mengutip laman BPS, kendati pertumbuhan ekonomi Sumatera positif, namun tren pertumbuhannya cenderung melambat.
Terungkap dalam pertemuan itu, kontribusi perekonomian Sumatera secara nasional sebesar 21 persen, kedua setelah Jawa. Sektor pertanian dan pertambangan, migas dan panas bumi penyumbang terbesar.
Kabar buruknya, tren pertumbuhannya terus menunjukkan kurva menurun. Kepala BPS Kecuk Suhariyanto di hadapan peserta dari BPS, Bappeda dan BI se-Sumatera mengatakan, pertumbuhan itu dari waktu ke waktu mengalami perlambatan.
“Permintaan terus meningkat, tetapi harganya fluktuatif bahkan cenderung menurun,” sebutnya. Padahal, sektor penopang itu sebagian besar sumber daya tak terbarukan (ekstratif). Sehingga menurutnya, perlu dipikirkan keberlanjutannya.
“Jangan sampai harga pertambangan jatuh, pertumbuhan Sumatera bisa ikut jatuh,” ingatnya sembari mencontohkan kasus Kalimantan Timur dengan industri batu baranya.
Kondisi di Kepri mengonfirmasi itu. Kendati berstatus provinsi dengan pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera, namun Kepri masih mengandalkan pada tiga sektor sebagai penopang perekonomiannya, yakni pertambangan, manufaktur dan konstruksi.
Jika ketiganya kolaps, perekonomian Kepri juga berpotensi runtuh. Sektor manufaktur penopang terbesarnya tentu saja industri di Batam. Pertambangan di Karimun dan Bintan. Sedangkan konstruksi, selain proyek pemerintah ialah belanja pembangunan pemerintah masing-masing kabupaten dan kota di Kepri.
Secara nasional, sebenarnya perekonomian Kepri semenjana, hanya jumlah penduduk masih kecil membuatnya bertengger di atas rata-rata nasional, yakni Rp 56 juta per tahun per kapita tahun 2018.
(*)