angkaberita.id - Kendati pemerintah jor-joran anggaran ke stunting, tahun 2023 berdasarkan hasil SKI angka stunting nasional hanya turun 0,1 persen. Padahal Presiden Jokowi menargetkan di akhir tahun 2024 stunting menjadi 14 persen. Menkes menuding kondisi tadi akibat eksekusi di daerah memble.
Tahun 2022, stunting di angka 21,6 persen. Tahun 2023, stunting turun menjadi 21.5 persen. Meskipun Kemenkes berdalih tipisnya penurunan akibat kasus stunting baru dan stunting terentaskan beda-beda tipis, tapi Presiden Jokowi justru menyoroti kenyataan anggaran stunting berakhir menjadi pagar Puskesmas.
Artinya ada salah kelola. Dalam bahasa Menkes Budi Gunadi Sadikin, belum ditemukan model eksekusi kebijakan penanganan stunting sesuai di lapangan. Tak heran, Wapres KH Makruf Amin langsung memanggil sejumlah kepala daerah ke Istana Wapres. Lewat Kemenko PMK, mereka juga gencar turun ke daerah.
Puncaknya, Juni bakal menjadi bulan intervensi serentak stunting di Tanah Air. Kick off mulai 8 Juni, dengan puncaknya di bulan Agustus. BKKBN di daerah, termasuk di Kepri, terpaksa harus mondar-mandir bertemu dengan stakeholder di kabupaten/kota lewat Pemprov. Saat di Batam, staf Wapres sampai mendorong BKKBN di Sumatera merombak kebijakan anggaran stunting mereka.
Tujuh bulan tersisa, BKKBN dan Pemda di Tanah Air, termasuk di Kepri, harus gerak cepat mengeksekusi kebijakan stunting: “Dari Penurunan Stunting Menjadi Pencegahan Stunting” bersamaan momentum bulan penimbangan nasional, Juni 2024. Prioritas sasaran penanganan bergeser, terbatas dan sebatas, ibu hamil dan baduta.
Sebab, tak hanya hulu persoalan stunting. Ibu hamil dan baduta juga menjadi indikator eksekusi intervensi serentak stunting seperti ibu hamil wajik periksa kehamilan minimal setahun dua kali, baduta ke Posyandu di atas 80 persen, dan baduta harus terimunisasi lengkap. Kabar baiknya, indikator tadi paralel dengan syarat Kemenkeu bagi Pemda ingin dapat insentif fiskal.
Nah, Pemda dapat menjadikan bulan intervensi stunting serentak ikhtiar memperhebat penanganan stunting demi insentif fiskal, termasuk di Kepri. Tahun 2023, Pemko Batam dan Pemkab Natuna menjadi penerima insentif tadi. Khusus Pemko Batam, pemerintah lewat Kemenko PMK menaruh harapan besar. Kenapa?
Berharap Batam?
Menko PMK Muhadjir Effendy berharap Batam dapat bersaing dengan Singapura secara SDM. Penurunan stunting menjadi cara terbaik. "Apabila anak-anak di Batam mengalami stunting, maka tidak mampu bersaing Singapura," kata Muhadjir, awal Mei lalu. Sentilan halus Muhadjir masuk akal.
Pertama, Batam jantung ekonomi Kepri, dan selalu mengandalkan kedekatan dengan Singapura menjadi nilai lebih berinvestasi. Kedua, Batam juga Pemda dengan kapasitas fiskal tertinggi di Kepri. Kontribusi Batam juga tertinggi ke PDRB Kepri. Pendeknya, soal anggaran stunting persoalan kecil. Terbukti, saat mendapatkan insentif fiskal miliaran stunting, Pemko Batam menganggarkan hingga puluhan miliar lewat OPD terkait.
Ketiga, Batam tertinggi kasus stunting, secara kuantitas, di Kepri. Begitu juga dengan keluarga berisiko stunting. Kalau stunting Batam tertangani, setengah persoalan di Kepri terpecahkan. Tak heran, khusus penanganan stunting, BKKBN Kepri perlu menempatkan dua technical assistant demi menjangkau persoalan stunting.
Batam menjadi harapan saat Kepri tahun 2023, versi SKI, angka stunting kembali ke kondisi tahun 2020. Yakni 16,8 persen, alias naik 1,4 persen, sehingga harus merelaksan status terbaik di Sumatera ke Jambi. Batam sendiri.,tahun 2023,kasus stunting naik menjadi 16 persen.Tapi, secara tren, empat tahun terakhir, kasus stabil di angka 15-17 persen. Bandingkan dengan daerah lainnya di Kepri berkisar 13-20 persen.
Hantu Stunting Kepri
Tahun 2045, Kepri ingin menjadi daerah maju dengan pendapatan setara negara maju. Hasrat tadi tergambar dalam skenario Ranperda RPJP Kepri 2025-2045. Kepri tahun 2024 juga menargetkan stunting 14 persen, meskipun Gubernur Ansar di depan Wapres Makruf saat di Penyengat yakin tahun 2023 turun di angka 13 persen.
Ansar sejatinya sedang menyemangati diri sendiri dan KDH di Kepri. Sebab, Kepri memiliki bekal menangani stunting. Selain APBD besar, penduduk juga tak banyak. Kemudian, Kepri juga kaya ikan, meskipun inovasi Beras Telur dan Sedekah (BTS) BKKBN Kepri juga bergayung sambut ke masyarakat, termasuk Apindo.
Bedanya, bak sekali mendayung tiga pulau terlampaui, Ansar agaknya menyemangati KDH tak hanya menurunkan stunting tapi juga syukur-syukur dapat dana insentif fiskal. Sehingga beban APBD Kepri sedikit terbantu. Sebab, penyakit utama APBD di daerah, seperti kritik Menkeu, tingginya belanja rutin dibanding belanja pembangunan.
Belanja pegawai, khusus perjalanan dinas menjadi biang kerok. Wajar, soal stunting, Presiden Jokowi pernah marah. Anggaran habis buat rapat, bukannya eksekusi ke keluarga berisiko stunting. Dalam bahasa ASN, apapun persoalannya, cara birokrat menanganinya cukup dengan resep ke pusat berkonsultasi, ke provinsi berkoordinasi dan ke kabupaten/kota bersosialisasi.
Hantu lainnya, dalam perspektif psikologi, bystander effect. Kalau stakeholder lain telah menangani, tak perlu ikut campur tangan. Dalih kerennya bekerja sesuai tupoksi. Pendeknya ego sektoral, dengan kordinasi dan komunikasi menjadi barang mahal. Padahal, dalam, kasus stunting, Perpres 72/2021 terdapat puluhan Kementerian/Lembaga terlibat. Ujungnya, birokrasi menghadapi tantangan eksekusi kebijakan OPD beda anggaran dan berbeda sumber anggaran.
(*)