Gaduh Tarif Masuk Pelabuhan Tanjungpinang, Tarik Ulur Jatah Bagi Hasil Kongsi?

angkaberita.idGaduh tarif masuk ke Pelabuhan Sri Bintan Pura terus menggelinding menyusul kabar kenaikan pas pelabuhan menjadi Rp 15 ribu per 1 Februari. Terbaru, DPRD Kepri turun nimbrung dengan mengundang Pelindo Tanjungpinang rapat dengar pendapat. Tarik ulur jatah dana bagi hasil kongsi?

DPRD dan Pelindo sebaiknya kembali duduk bersama merundingkan jalan tengah gaduh tadi. Libatkan Pemko karena Pelindo juga berkongsi dengan BUMD lewat skema bagi hasil pas masuk pelabuhan. Sebab, Pelindo dan Tanjungpinang sejatinya saling membutuhkan. Hanya kondisi terkini memaksa keduanya harus memilih keputusan tersulit, berdasarkan versi dan pertimbangan, masing-masing.

Terbukti, Pelindo memilih bertahan meskipun mendapatkan penolakan publik lewat DPRD, dengan menyerahkan putusan akhir ke tangan Pelindo di kantor pusat. Sedangkan DPRD Tanjungpinang menegaskan sikapnya, dengan meminta pembatalan bukan sebatas penundaan setelah memanggil Pelindo rapat dengar pendapat. Sebagai Jubir warga Bumi Gurindam sah-sah saja bersikap tak kompromi.

Tapi, sebagai bagian pemerintah di Tanjungpinang, tak bijak mereka langsung menutup pintu sumber penerimaan daerah di saat Pemko kondisi defisit APBD. Saran publik agar mereka menelaah dengan mempertimbangkan potensi PAD sejatinya tak berlebihan. Apalagi, hingga kini juga belum terdengar solusi konkret mereka membantu Pemko menambal defisit APBD.

Duduk Persoalan

Kritik agar Pelindo tak membebani warga karena pendapatan dari pas pelabuhan sudah besar, konon hampir miliaran per bulan terhitung masuk akal, meskipun agak berlebihan. Apalagi membandingkan fasilitas di Sri Bintan Pura dengan Pelabuhan Telaga Punggur di Batam. Pengelola Telaga Punggur BP Batam. Kalau mau selevel, bandingkan dengan Pelabuhan Karimun. Sama-sama kelolaan Pelindo, berkongsi dengan BUMD lewat Pemkab.

Kemudian, untuk sebagian, pas pelabuhan juga merupakan sumber biaya investasi Pelindo. Juga menjadi sumber jatah bagi hasil kongsi dengan Pemko Tanjungpinang lewat BUMD. Terbukti, Pemko lewat BUMD setiap bulannya mendapatkan pemasukkan, meskipun tak sebesar lewat skema lama. Kini, porsi BUMD hanya 20 persen saja.

Pemasukan tadi bersumber dari penerimaan pas domestik dan pas internasional. Di tahun 2017, jatah Pemko di pas internasional sebesar Rp 18 ribu. Dan, bersamaan dengan penyerahan dana bagi hasil ke Pemko, lewat skema BTB Pelindo resmi berkongsi dengan Pemko lewat BUMD sekalugus berlaku tarif baru Rp 10 ribu rute domestik.

Hanya saja, jejak relasi Pemko dan Pelindo sejak dulu terhitung pelik. Di tahun 2017, bahkan relasi Pemko dan Pelindo memanas hingga terdengar ancaman memindahkan pelayaran domestik ke Pelabuhan Dompak, meskipun tak kunjung terealisasi hingga kini. Selain mangkrak dan bermasalah, pelabuhan Dompak juga baru akan rehab di tahun ini lewat skema APBN Kemenhub setelah beres sengkarut pidananya.

Skema Ulang Jatah Kongsi

Sedangkan tudingan kenaikan tadi berpotensi mengganggu kebijakan pariwisata Kepri juga belum terbukti. Selain belum berlaku, Tanjungpinang juga belum menjadi destinasi akhir tujuan wisman. Pelindo juga perlu menyodorkan bukti lebih banyak penumpang masuk atau ke luar lewat Tanjungpinang sebagai pembanding. Ikhtiar itu perlu dilakukan karena kenaikan terbesar memang menyasar pas internasional. Pelindo perlu blak-blakan menjelaskan.

Sebab, untuk sebagian, Pelindo memang tak punya keistimewaan memberlakukan tarif semaunya tanpa melibatkan stakeholder di Tanjungpinang. Opsi memindahkan ke Pelabuhan Dompak, kini juga bukan bukan gertak sambal menyusul kepastian Kemenhub akan merehab pelabuhan khusus penumpang tadi. Meskipun entitas bisnis, dan kabarnya segera merger dengan ASDP dan Pelni, Pelindo juga bukan satu-satunya entitas pengelola pelabuhan di Tanah Air. Sebab, Pemda juga dimungkinkan mengelola pelabuhan mereka sendiri demi menopang APBD.

Dengan kondisi saling membutuhkan, Pelindo dan Tanjungpinang sebaiknya kompromi soal tarif masuk ke Pelabuhan Sri Bintan Pura. Sehingga Pelindo dapat melakukan penyesuaian tarif dan Pemda juga mendapatkan kontribusi sebanding dengan kenaikan tadi. Apalagi Pelindo sudah beberapa kali menunda.

Boleh jadi, tarif berlaku tetap tetapi jatah BUMD bertambah besar sehingga berkontribusi ke PAD guna menambal defisit APBD. Atau, tarif tetap naik tapi persentasenya tak seperti akan diberlakukan sekarang. Yakni, naik 50 persen domestik, dan 80 persen internasional. Dengan jatah BUMD tak berubah.

(*)

Bagikan