Gori Dan Tahu Tempe: Menu Jawa Pencegah Ancaman Perubahan Iklim Global
angkaberita.id – Plesiran ke Yogya tak lengkap rasanya tanpa mencicipi lezatnya Gudeg Yu Djum. Santapan berbahan buah nangka muda, alias ‘gori’ dalam lidah orang Jawa, memang selalu ngangeni.
Nah, bicara soal ‘gori’ alias nangka muda, pandemi COVID-19 benar-benar mengetapelkan namanya ke sekujur dunia. Bahkan, kini tengah naik daun di sebagian penjuru dunia menu berbahan buah nangka muda itu, terutama mereka penggila menu vegetarian.
India merupakan kisah sukses ‘gori’ di musim pandemi. Setelah berkubang dengan harga rendah, nangka muda di Negeri Hindustan itu, kini meningkat permintaannya seiring wabah virus corona. Tekstur buah dan rasanya setelah tercampur dengan bumbu menjadikannya olahan serasa daging.
Kelebihan itulah, belakangan ini, menjadikan nangka muda jadi buruan. India merupakan penghasil nangka terbesar di dunia, dan sejak lama menjadikannya menu sehari-hari pengganjal perut, termasuk di negeri anak benuan lainnya di Asia Selatan.
Popularitasnya melesat setelah, selama musim pandemi, banyak koki (chefs) dari metropolis industri kuliner berlomba-lomba menyajikannya di meja makan kelas atas. Juru masak tersohor dari San Fransisco hingga London beramai-ramai mencari buah identik dengan biji ‘beton’ di dalamnya itu.
Setelah dimasak, para koki sepakat tekstur rasanya mirip daging. “Banyak permintaan dari luar negeri. Di level internasional, permintaan nangka muda terus berlipat ganda,” ungkap Varghese Tharakkan, pekebun di Distrik Thrissur, Negara Bagian Kerala kepada AFP seperti dikutip Aljazeera.
Dengan berat rerata 5 kilo per buahnya, nangka muda memang menantang dijadikan bahan baku kue, jus, es krim, kripik atau dimakan saat kondisi matang dari pohon. Kondisi mentah juga mendatangkan rezeki menjadi menu kari, dan sebagainya.
Di belahan dunia Barat, nangka muda kini menjadi pengganti daging, bahkan sudah biasa dijadikan topping pizza. “Orang-orang sangat menyukainya,” kata Anu Bhambri, pemilik restoran di India dan Amerika Serikat.
Tacos, makanan khas Mexico, berbahan nangka muda sebutnya, selalu laris manis di seluruh jaringan restorannya di sana. “Setiap meja pelannga selalu memesannya,” ucapnya.
Dengan kondisi seperti itu, tak heran seirang direktur di Microsoft, rela keluar dari perusahaan milik Bill Gates demi mengejar mimpinya menjadi penggila nangka muda.
James Joseph, sang direktur itu, rela mundur setelah menyadari orang Barat kini tergila-gila dengan menu olahan vegetarian. “Mereka melihat nangka muda sebagai pengganti daging,” sebutnya.
Pandemi COVID-19 diyakini kian menguatkan nangka muda pilihan tepat mencari pengganti daging lantaran meluapnya kekhawatiran mengonsumsi ayam.
Di Kerala, saat lockdown, permintaan nangka muda meningkat. “Nangka muda dan betonnya laris manis gara-gara pembatasan (keluar masuk) perbatasan (antar wilayah),” katanya. Nah, Kerala di India, seperti The Guardian tulis, merupakan cerita sukses gotong royong mengalahkan COVID-19. Hebatnya, otak di balik kesuksesan itu seorang guru.
Bak wabah kebaikan, pamor nangka muda berkat kian naik daunnya perilaku hidup vegetarian di dunia, sebagian berkat viralnya gerakan penggemar vegetarian seperti “Meat Free Mondays” dan “Veganuary”, berikut dengan bisnis utama mereka, yakni “daging alternatif”.
Laporan PBB tahun 2019 seiring keprihatinan terhadap kondisi kesehatan dan lingkungan dunia, juga berandil terhadap tinggi permintaan nangka muda. Sebagian diyakini, tanaman nangka membantu mencegah perubahan iklim. Kini nangka muda sudah menjadi pengganti daging ayam dan sapi.
Bersama dengan tahu dan tempe, nangka muda kini menjadi “menu” alternatif penyelamat dunia dari ancaman perubahan iklim. Bencana alam seperti banjir, tsunami, kekeriangan diprediksi kalangan pakar bakal menjadi keseharian dunia kelak, jika ancaman perubahan iklim tak dianggap penting.
Ancaman perubahan iklim juga bukan isapan jempol. Sejumlah laporan ilmiah bermunculan mengurai berbagai segi risiko perubahan iklim bagi umat manusia, termasuk secara ekonomi. Seperti ditulis Statista mengutip laporan di tahun 2017, ada dampak negatif luar biasa perubahan iklim terhadap produktivitas tenaga kerja.
Kemudian menguat ancaman penyakit menular dan bahaya akibat gelombang panas. Pun, sejumlah bencana alam bakal makin sering menimpa penduduk bumi. Secara ekonomi, kerugiannya bakal lebih dahsyat dibanding Badai Katrina di Amerika Serikat.
Saat itu, kerugian menembus 108 miliar dolar Amerika (kurs dolar tahun 2005). Kerugian itu empat kali lipat kerugian akibat Topan Andrew di tahun 1992. Nah, dalam kurun10 tahun terakhir jumlah bencana iklim terus meningkat, dengan nilai kerugian tak sedikit.
Pada 10 tahun lalu, angka kerugian masih di level 69 miliar dolar Amerika, dengan 606 perubahan cuaca ekstrem secara global. Tahun 2016, tercatat 797 bencana alam terkait perubahan cuaca ekstrem di dunia dengan kerugian menembus 129 miliar dolar Amerika.
Majalah Foreign Affairs, majalah bergengsi terbitan think tank berpengaruh dunia Council On Foreign Relations (CFR), edisi terbarunya, Mei-Juni 2020 mengupas bahaya setelah pandemi COVID-19, yakni ancaman perubahan iklim global.
Tak hanya mengulas risiko dan ancaman di balik perubahan iklim, edisi terbaru itu juga mendedah secara lintas sektoral strategi membendung datangnya bahaya perubahan iklim global. (*)