Suka Ngecer, Kemenkeu Bongkar Kebiasaan Pemda Akali APBD!
angkaberita.id - Tabiat Pemda di Tanah Air tak berubah, meskipun bertubi-tubi sindiran menyemprot ke mereka, termasuk di masa pandemi COVID-19. Selain banyak kepala daerah enggan refocusing APBD, terutama di APBD Perubahan, juga mayoritas Pemda hanya lihai menyerap anggaran belanja pegawai.
Berbeda dengan belanja modal, belanja pegawai ujung akhirnya memang ke kantong ASN, termasuk melalui akrobat ribuan kegiatan berbiaya kecil. Dalam istilah Menkeu Sri Mulyani, kegiatan ngecer, alias tidak ada fokus. Terpenting seluruh OPD dapat jatah anggaran, berkualitas atau tidak urusan lain.
Presiden Jokowi pernah menyinggung kebiasaan Pemda itu. Kombinasi dengan kebiasaan menimbun duit APBD di perbankan, akhirnya membuat pembangunan daerah banyak jalan di tempat. Kemenkeu juga hampir kehabisan akal dengan tabiat itu. Kabar baiknya, melalui UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, skenario di lapangan ke depan bakal berubah.
Sebab, Pemda hanya maksimal belanja daerah 30 persen, dan wajib belanja modal 40 persen. Terbaru, di ujungan tahun anggaran, Kemenkeu mendeteksi Pemda terlihat aktif mencairkan duit timbunan di perbankan, dengan mengalirkan sebagian besar mereka dari tabungan ke giro. Pemda agaknya bersiap kebut serapan anggaran di akhir tahun.
Meski tak berkualitas, kebijakan rutin Pemda di akhir tahun, itu tak terhindarkan. Apalagi selama ini, khususnya selama pandemi COVID-19, kapasitas fiskal satu dengan Pemda lain memang berbeda, termasuk SDM. Dalam catatan Kemenkeu, setidaknya ada tiga pemicu seretnya serapan APBD di Tanah Air.
Pertama, gegara refocusing anggaran APBD. Kemudian, kedua, proses politik daerah dan ketiga ialah kelambatan proses administrasi dan penagihan vendor. Pemicu pertama, untuk sebagian, banyak kepala daerah enggan refocusing, dan memilih ngecer APBD agar semua OPD terbagi jatah. Politik daerah, untuk sebagian, saat perundingan APBDP jadi ajang tarik ulur, termasuk dengan kekutan DPRD setempat soal "prioritas".
Asyik Cairkan Belanja Pegawai
Kemenkeu bersama Kemendagri menurun tim memantau belanja daerah. Hasilnya, banyak daerah enggan bikin APBD perubahan, meskipun bisa diproses dengan penetapan kepala daerah. "Ini akibatnya banyak belanja-belanja yang akhirnya agak terhambat," ungkap Astera Primanto Bhakti, Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu, seperti dilansir detikcom, Rabu (15/12/2021) pekan lalu.
Saat ini, lanjut Prima, terlalu banyak program digagas Pemda, bahkan jumlahnya hingga puluhan ribu. Program terlalu banyak berisiko membuat APBD dibagi-bagi sedemikian kecil, tanpa ada hasil signifikan. Prima lantas menyodorkan data. Dari 542 kabupaten/kota, katanya, ada 29.623 program dan 263.135 kegiatan.
"Ini kalau dibagi 542 pun jumlahnya masih gede padahal yang namanya item dan program dari kegiatan harusnya terstandarisir," keluh Prima. Kemudian Pemda lebih banyak mencarikan belanja pegawai dibanding belanja infrastruktur. Belanja pegawai berakhir ke kantong ASN, belanja infrastruktur berdampak ke masyarakat. Dampaknya, layanan publik antar daerah tak merata di Tanah Air.
"Dominasi belanja pegawai 32,4 persen, belanja infrastruktur sangat rendah 11,5 persen," sebut Prima. Data BPS mengonfirmasi. Sepanjang 2019-2020, semisal Indeks Pembangunan Manusia (IPM), di Yogyakarta mencapai 86,61 persen. Tapi, di Kabupaten Nduga baru 31,55 persen. Begitu juga akses air minum layak. Di Magelang sudah tembus 100 persen, tapi di Lanny Jaya baru 1,06 persen.
Sektor pendidikan, semisal Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/SMA, di Humbang Hasundutan. Sumatera Utara, mencapai 90,38 persen. Tapi, di Intan Jaya hanya 13,34 persen. Meskipun secara nasional tinggi capaian, celah ketimpangan menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintah.
Sebelumnya Menkeu Sri Mulyani juga membeberkan temuan serupa. Peran Pemda belum optimal dalam memulihkan perekonomian nasional akibat realisasi belanja APBD lelet. "Ini menggambarkan Pemda belum meningkatkan peranan cukup signifikan untuk ikut memulihkan ekonomi nasional," kata Menkeu Sri, pekan lalu.
Sampai Oktober 2021, catan Menkeu, realisasi belanja APBD sebesar Rp 689,76 triliun, turun 2,21 persen dibanding periode sama tahun 2020, sebesar Rp 705,34 triliun. Kondisi itu, menurut Menkeu, masalah cukup serius. Ironisnya, duit APBD mengendap di perbankan justru meningkat dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Presiden Jokowi pernah menegaskan kondisi itu depan kepala daerah pada satu kesempatan. "Saya harus ngomong apa adanya para Gubernur, Bupati dan Wali Kota, tadi pagi saya cek ke Menteri Keuangan masih ada berapa uang yang ada di bank. Ini sudah akhir November, tinggal sebulan lagi tidak turun justru naik. Saya dulu peringatkan di Oktober seingat saya Rp 170 (triliun), ini justru naik menjadi Rp 226 triliun," kata Jokowi, saat itu.
Hobi Ngecer APBD
Seperti Prima, Menkeu juga menyebutkan Pemda asyik ngecer APBD. Sepanjang 2021, terdapat 29.623 program, tersebar ke dalam 263.135. Selain tak berkualitas, juga tak ada prioritas program tadi berkontribusi ke pendapatan daerah atau tidak.
“Kita bisa bayangkan ini yang disebut diecer-ecer itu seperti ini. Pokoknya kecil-kecil, semuanya dapat. Tapi tidak memperhatikan apakah pengeluaran itu akhirnya menghasilkan output dan outcome,” curhat Menkeu di Komisi IX DPR, pertengahan September 2021.
Menkeu menambahkan, Pemda juga hobi kebut serapan APBD di akhir tahun. Terbukti, data Menkeu, pola belanja APBD hanya tertumpu pada triwulan IV. Akibatnya banyak duit APBD nganggur, sebagian besar mendekam di perbankan.
Per Juli 2021, data Kemenkeu, duit Pemda parkir di bank, Rp 173,73 triliun. Sejak otonomi daerah di tahun 2004, pemerintah telah menggeber desentralisasi fiskal. Namun tata kelola keuangan Pemda masih begitu-begitu saja. Bagaimana di Kepri?
(*)