Pilkada Di Kepri (2): Membaca Calon Usungan PDIP Di Pilkada Kepri, Siapa Berpeluang Menang?
angkaberita.id – Kecuali Pilgub Kepri dan Pilbup Karimun, PDIP telah menetapkan lima pasangan calon kepala daerah bertarung pada tujuh Pilkada serentak di Kepri. Restu PDIP ke mereka bersamaan dengan pengumuman 75 pasangan calon kepada daerah di seluruh tanah air, pada 11 Agustus dua pekan lalu.
Berstatus parpol pemenang Pileg 2019 di Kepri, penetapan itu tentu kian memperjelas konstelasi politik dan peta persaingan di Pilkada Kepri. Kendati telah diprediksi, pengumuman itu seperti menegaskan siapa berkoalisi dengan siapa. Bedanya, kini posisinya makin tegas.
Menarik kemudian membaca kalkulasi dan pertimbangan PDIP, pada akhirnya, memberikan restu kepada mereka. Bahkan, meskipun untuk itu, berpotensi terjadi asimetris koalisi parpol dengan Pilgub Kepri mendatang. Seperti Bintan, restu PDIP ke Apri Sujadi-Roby Kurniawan tak sebangun dengan koalisi PDIP di Pilgub Kepri.
Kendati belum turun penetapannya, PDIP kemungkinan besar mengusung Soerya Respationo-Iman Sutiawan bertarung di Pigub Kepri. Duet Sinergi, demikian pasangan itu membangun komunikasi publik, berasal dari koalisi PDIP, Gerindra dan PKB.
Sedangkan Apri Sujadi-Roby Kurniawan, maju ke Pilbup Bintan dengan modal awal koalisi Demokrat dan Golkar, meskipun belakangan PKS dan PDIP bergabung. Nah, masing-masing parpol koalisi itu berpisah jalan di Pilgub Kepri.
Golkar berkoalisi dengan Nasdem mengusung Ansar Ahmad-Marlin Agustina. Sedangkan PKS bersama Hanura sepakat menyandingkan Isdianto-Suryani. Tentu ada pertimbangan dan kalkulasi masing-masing parpol berbeda skenario dan strateginya di Pilkada Kepri, termasuk saat berkoalisi.
Namun, secara umum, parpol berkoalisi di Pilkada tujuan akhirnya ialah memenangi kontestasi itu. Pada titik ini, diyakini setidaknya terdapat tiga pendorong parpol mengusung nama calon pasangan atau berkoalisi di Pilkada, termasuk di Kepri.
Pertama, tentu saja potensi dan peluang menang. Karena Pilkada merupakan kontestasi politik elektoral, maka kuncinya elektabilitas atau keterpilihan. Sebagai turunan biasanya popularitas. Biasanya diuji melalui lembaga survei. Tak kenal maka tak sayang, kira-kira begitu pepatahnya. Sumber popularitas tentu saja figur calon itu sendiri. Bisa pengalaman karir, prestasi pribadi atau status calon bersangkutan.
Di PDIP, seperti diungkapkan Ketua Bappilu DPP Bambang Wuryanto, keterkenalan calon menjadi modal utama. Selain itu, setiap calon juga harus mengenali karakteristik pemilih. Jika lolos dan mendapat restu partai artinya sudah memenuhi syarat itu. “Jadi kalau enggak dikenal 86 persen masyarakat, jangan harap jadi bupati, jangan harap jadi gubernur,” tegasnya seperti dikutip antaranews.
Kedua, terpilih dan berstatus kepala daerah, ibarat pengantin baru, selain berhak masa bulan madu, juga harus bersiap dengan realitas dan kejutan kehidupan dengan status baru. Seperti berurusan dengan birokrasi, mencarikan lapangan pekerjaan warganya dengan menghidupkan perekonomian. Dalam istilah ideal yakni menyejahterakan warga.
Selain pengalaman, di sini diperlukan jejaring. Modal sosial itu biasanya dijalin sejak pencalonan, kendati dalam banyak kasus akhirnya menjadi utang sosial. Nasdem dan PDIP terbilang parpol paling serius memberikan perhatian kepada detail itu. Tak heran, mereka biasanya condong mengalirkan dukungan ke kader potensial atau calon berstatus petahana.
Selain pengalaman, jejaring mereka juga telah terbangun. Imbasnya, profil partai juga terkerek di mata publik. Ketiga, karena politik merupakan proses panjang, Pilkada juga memerlukan stamina. Modal politik, sebagian pengamat sepakat, tidak bisa sepenuhnya nama besar saja. Namun juga logistik dan sumber keuangan.
Nah, ketiganya diyakini saling terkait, karena ibarat pengantin modal menikah tidak cukup dengan saling mencintai atau soul mate saja, namun juga persiapan keuangan, minimal saat persiapan pesta pernikahan. Dengan memakai perspektif itu, PDIP di Kepri agaknya mengombinasikan ketiganya, dengan menekankan faktor tertentu disesuaikan dengan daerah Pilkada.
Batam semisal, meladeni status petahana M. Rudi-Amsakar, PDIP menyodorkan Lukita-Basyid. Karakteristik Batam dinilai berbeda dengan enam daerah Pilkada lainnya, termasuk Pilgub Kepri. Sebagai pusat ekonomi Kepri, diperlukan bukan hanya figur pengalaman, termasuk di birokrasi, namun juga luas jejaring.
Tantangan menghidupkan ekonomi Batam dan menjadikan BP Batam sebagai kendaraan pemikat investasi diyakini menjadi pertimbangan didorongnya Ketua BP Batam itu. Lukita dianggap dapat memberikan sinyal positif kepada investor. Apalagi Kepri, Batam khususnya memiliki memori khusus dengan PDIP.
Pemprov Kepri definitif di era Presiden Megawati, begitu juga dengan tarik ulur FTZ di Batam, meskipun KEK akhirnya menjadi opsi Presiden Jokowi. Di Lingga dan Natuna, selain menonjolkan kebaruan, dengan mengusung wajah baru, namun juga tetap menjadikan pengalaman dan jejaring calon sebagai amunisi pendukung.
Wan Siswandi bakal bersaing dengan Wabup Natuna, Ngesti. Bekal pengalaman birokrasi sebagai Sekda Natuna dianggap modal sepadan melawan status Ngesti sebagai petahana, dalam meyakinkan calon pemilih pada coblosan 9 Desember mendatang. Apalagi Natuna juga menjadi magnet baru Jakarta seiring meningkatnya kasus pencurian ikan dan potensi sektor industri ekstraksi.
Di Lingga, Raja Supri dengan pengalaman sebagai Kepala Dispenda Batam diyakini memberikan pendekatan baru dalam menggali dan memaksimalkan potensi sumber-sumber keuangan daerah pengisi PAD. Kombinasinya dengan Riki Syolihin, mantan anggota DPRD Batam, menjadi lawan sebanding Nizar-Neko, Wabup Lingga. Keduanya, Riki-Raja dan Nizar-Neko, kombinasi legislatif dan eksekutif, tanpa mengesampingkan kontestan ketiga usungan PKS.
Berbeda dengan Lingga dan Natuna, PDIP di Anambas dan Bintan cenderung mengalir ke petahana. Selain potensi elektabilitas tinggi, kedua daerah itu juga memiliki tradisi bupati kesinambungan, meskipun pesaingnya juga berstatus petahana. Di Bintan, selama 2005-2015, Bupati Ansar menakhodai Bumi Bentan itu. Di Anambas, berstatus penjabat Bupati tahun 2008, Tengku Mukhtaruddin akhirnya memenangi Pilbup Anambas pertama, tahun 2010.
Siapa berpeluang? Tentu hanya pemilik hak suara penjawab paling objektif. Namun, berbeda dengan Pilkada-pilkada sebelumnya, coblosan sekarang berlangsung di tengah situasi pandemi COVID-19.
Di Lingga, Natuna dan Anambas, bisa jadi bukan isu penting bagi pemilih, namun di Batam dan Bintan, dengan terus bertambahnya kasus itu bakal menjadi ujian tersendiri, paling krusial meyakinkan pemilih datang mencoblos. Waktu 90 hari ke depan harus diprioritaskan mencari jawaban, termasuk bagi sang inkumben. (*)