RUU Pemilu Revisi: Terbukti Terima Mahar, Parpol Kena Denda Dan Larangan Calonkan Pilpres

parpol terbukti terima mahar bakal kena sanksi berlipat dan larangan mengusung calon ke pilpres. ketentuan itu tertuang dalam draf ruu pemilu revisi tengah dalam pembahasan di dpr ri/foto via sindonews.com

RUU Pemilu Revisi: Terbukti Terima Mahar, Parpol Kena Denda Dan Larangan Calonkan Pilpres

angkaberita.id – Selain isu Pilkada 2022 dan 2023, draf RUU Pemilu revisi juga mengatur instrumen pemberian sanksi denda berlipat bagi Parpol terbukti menerima imbalan terkait pencalonan presiden di Pemilu.

Aturan itu tertuang di Pasal 205 Ayat (5) RUU Pemilu revisi. “Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima,” bunyi Pasal 205 ayat 5 draf RUU Pemilu, seperti dikutip CNN Indonesia, Rabu (27/1/2021).

Pasal 205 Ayat (2) mengatur sanksi Parpol penerima imbalan tadi, yakni dilarang mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Pemberlakukan sanksi diterapkan setelah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pada UU No. 17/2017, aturan terkait mahar itu tidak ada.

Pada Pilpres 2019 silam, dugaan mahar politik itu mencuat. Andi Arief, politikus Partai Demokrat dalam twitter saat itu, mengemukan dugaan adanya mahar sebesar Rp 1 triliun Sandiaga Uno kepada PKS dan PAN agar dapat maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto. Belakangan Bawaslu menghentikan meskipun sempat memprosesnya karena saksi tak memenuhi dua kali pemanggilan.

Direktur Perluden, Khoirunnisa Nur Agustyati tak menampik fenomena itu, bahkan menurutnya mahar Pemilu kerap terjadi di awal pencalonan. Beberapa kali, sepengakuan Nur, terdengar isu pasangan calon harus memberikan mahar politik ke Parpol tertentu.

“Soal politik uang ini terjadi bukan sekadar pada masa kampanye ada bagi-bagi uang ke masyarakat, bahkan kita juga banyak mendengar, ketika masa pencalonan pun kita mendengar ada istilahnya uang mahar,” tutur Nisa, pada satu kesempatan diskusi bulan September tahun lalu. (*)

Bagikan