Pilkada Di Kepri (4): Menguji Elektabilitas Kontestan Pilgub Dengan Cara Johan Cruyff
angkaberita.id – Jika Pilkada ibarat laga sepakbola, dunia hanya mengenal dua cara memenangi kontestasinya. Cara Belanda dengan Total Football, atau strategi Italia dengan Catenaccio. Lembaga survei, untuk sebagian, menjadi modal awal meraba calon strategi selanjutnya.
Tak heran, selain banyak figur maju ke Pilkada bermodal dukungan partai politik atau koalisi parpol, juga tak sedikit bakal calon kepala daerah maju ke gelanggang Pilkada berbekal hasil survei. Dasar pemikiran mereka sederhana. Karena Pilkada merupakan kontestasi politik elektoral, maka kuncinya elektabilitas atau keterpilihan.
Sebagai turunan biasanya popularitas. Biasanya diuji melalui lembaga survei. Tak heran, di Kepri, beberapa waktu lalu sebelum pendaftaran bakal calon bertebaran hasil survei sejumlah nama di media sosial. Kendati dengan versi masing-masing, namun terdapat benang merah dari seluruh sebaran hasil survei itu.
Mereka menonjolkan elektabilitas sebagai pemikat dan bukan sebaliknya. Kenapa? Jika Pilkada, sekali lagi, ibarat laga sepakbola, maka Johan Cruyff legenda sepakbola memiliki jawaban bijakanya. “Untuk menang Anda harus mencetak gol lebih banyak dari lawan,” tegas Cruyff, pada satu kesempatan.
Gol merupakan pembeda. Begitu juga popularitas, sehingga elektabilitas menjadi pembeda figur satu dengan figur lainnya. Tak heran, banyak kontestan berusaha meyakinkan diri sendiri sebelum memutuskan maju dengan berbekal elektabilitas, meskipun harus menyewa lembaga survei sendiri.
Hasilnya? Sebagian besar lembaga survei akan memaparkan hasil survei temuannya, lengkap dengan rekomendasinya. Selebihnya sang figur menjadi penentu nasibnya sendiri. Apakah jor-joran menambah elektabilitas, atau justru fokus mengurangi diselektabilitas.
Pada titik itulah, jawaban dimaksud terlihat dari pilihan strategi komunikasi publik kontestan selama masa sebelum dan selama kampanye Pilkada. “Yang suka harus tetap dijaga dan yang tidak suka (harus) dirayu,” ungkap Saut Sirait, Analis Politik Kepri di Karimun, menafsir kecenderungan terjadi.
Namun, secara psikologis, calon kontestan cenderung nyaman jika mengetahui elektabilitas dibanding diselektabilitasnya. Selain menyangkut kepercayaan diri kontestan, juga kepercayaan diri gerbong pengusung dalam struktur pemenangan Pilkada. Bahkan, untuk sebagian, juga kepercayaan diri calon pendonor.
Perkiraan elektabilitas mempengaruhi strategi lanjutannya. “Aspek resistensi calon tetap menjadi perhatian, hanya saja sering dirahasiakan untuk pertimbangan psikologis,” ungkap sumber yang paham seluk beluk kerja lembaga survei politik dan menjadi langganan survei setiap datang musim Pilkada di Kepri.
Menurutnya, alasan lain calon lebih memoles elektabilitas lantaran persentasenya cenderung berubah, bahkan hingga 30 hari sebelum hari H. Beda dengan diselektibilitas, katanya resistensi sulit diubah dengan cepat. “Kalaupun ada berubah menjadi suka, biasanya persentasenya kecil sekali,” sebut dia.
Selain mengetahui elektabilitas sendiri, tidak jarang survei juga dipakai mengetahui elektabilitas calon pesaing dalam Pilkada. Satu parpol bahkan mensyaratkan elektabilitas 86 persen atau diselektibilitas minimal 13 persen calon pesaing jika ingin nyaman bertarung di Pilkada. Kurang dari itu, jangan harap menjadi kepala daerah.
Pada titik itulah, kontestan biasanya berusaha menjaga diri untuk tak melakukan kesalahan sendiri, atau blunder. Karena, untuk sebagian, kekalahan bukan karena lawan lebih hebat namun justru karena kesalahan sendiri. Persis kata Johan Cruyff, “Sebelum saya melakukan kesalahan, saya tidak akan melakukan kesalahan.”
Sang Maestro menambahkan, “Hal tersulit memenangi laga ialah membuat lawan ringan bermain buruk.” Pendeknya, jangan blunder dan jangan pandang enteng setiap pesaing serendah apapun elektabilitasnya. Kunci lain memenangi laga, lanjut legenda Barcelona itu, racikan tim dan strategi pemenangan tepat.
Dengan kata lain, soliditas di internal kontestan Pilkada. Kata Cruyff, “Teknik tak penting kalau hanya menimang-nimang bola saja, pemain dapat melakukannya dengan berlatih. Teknik itu bagaimana mengoper bola sekali sentuh, dengan tepat kepada kawan dalam permainan.”
Di Kepri, dari tiga calon kontestan Pilgub seluruhnya berbekal dukungan koalisi. Ketiganya juga mendapat sokongan dari parpol besar di Kepri, jika ukurannya duduk duduk sebagai pimpinan DPRD Kepri, dengan Golkar-Nasdem mendukung Ansar-Marlin. PKS di balik Isdianto-Suryani dan PDIP sepenuhnya di belakang Soerya-Iman.
Lalu bagaimana dengan strategi kampanye mengena ke calon pemilih? Tidak mudah menjawabnya, namun Cruyff telah membuktikannya dengan kesuksesan Ajax Amsterdam dan Barcelona sebagai pemain dan pelatih. Kuncinya merangkul dan menjadi bagian dari pemilih, selebihnya menikmati kontestasi sebagai kesederhanaan, bukan unjuk janji apalagi meyakini diri bisa menyelesaikan seluruh persoalan negeri.
“Bermain sepakbola itu sangat sederhana, tapi memainkan sepakbola simpel merupakan persoalan paling sulit,” tegas Cruyff. Selebihnya, urusan menang kalah dalam Pilkada bukanlah aib. Selain usaha keras, politik pada akhirnya juga mengenal keberuntungan atau garis tangan.
“Saya bekas pemain, mantan direktur teknik, pernah melatih, juga pernah menjadi manajer tim serta presiden kehormatan klub. Daftar jabatan itu, sekali lagi, hanya menunjukkan segala sesuatu pasti berakhir, (kalau tidak) boleh jadi saya akan hidup selamanya,” pesan Cruyff.
(*)