Pilkada Di Kepri (3): Mengintip Kejutan Tiga Parpol Kuda Hitam, Siapa The King Maker?

gubernur kepri isdianto dan suryani anggota dprd kepri dalam suatu acara di batam. isdianto dan suryani berpasangan maju ke pilgub kepri dari koalisi pks, hanura dan demokrat/foto istimewa via batam.tribunnews.com

Pilkada Di Kepri (3): Mengintip Kejutan Tiga Parpol Kuda Hitam, Siapa The King Maker?

angkaberita.id – Kendati ancaman pandemi COVID-19 terus menghantui sekujur Kepri, namun hajatan Pilkada serentak di Bumi Segantang Lada tak dapat begitu saja hanyut dari perhatian publik. Untuk sebagian, kondisi itu berkat manuver kejutan tiga parpol semenjana di Kepri, yakni PAN, Hanura dan Partai Gelora.

Dua pertama merupakan parpol kawakan di Kepri, parpol terakhir berstatus pendatang baru di percaturan politik tanah air. Pilgub Kepri, Pilbup Natuna dan Pilbup Bintan menjadi bukti sahih manuver ketiganya berpotensi mengubah peta konstelasi persaingan Pilkada. Untuk sebagian, manuver politik mereka terbilang kejutan.

Nah, di antara tiga parpol kuda hitam politik di Kepri itu, siapa paling jeli membaca arah angin dan bakal melahirkan kejutan baru? Siapa pula di antara ketiganya bakal sukses menjadikan calon kepala daerah usungannya? Terakhir, siapa di antara ketiganya layak disebut The King Maker alias sang penentu?

Dua Fenomena

Lazimnya kontestasi, Pilkada menjadi ajang parpol unjuk gigi sekaligus menjadi ukuran keberhasilan politik mereka. Duduknya calon dukungan dalam hajatan politik itu menjadi indikatornya. Demi memastikan itu dalam jangkauan, untuk sebagian, parpol akan menjatuhkan pilihan di menit-menit terakhir. Pilbup Natuna dan Pilbup Bintan dapat disebut menjadi contoh nyata kondisi itu.

Namun, secara umum, terdapat fenomena serupa di tanah air dalam Pilkada serentak tahun ini. Ialah, pertama adanya kecenderungan petahana merangkul banyak parpol dalam koalisinya berdalih membangun kebersamaan, meskipun sejatinya ialah taktik mengalahkan calon pesaing sebelum bertarung.

Tak heran, fenomena calon kontestan memborong parpol masuk radar Kemendagri selama hajatan Pilkada serentak. Kedua, sulitnya parpol menahan diri dari godaan status petahana. Sehingga berbondong-bondong menyalurkan dukungannya, atas nama konstituen, ke calon petahana. Konsekuensinya, lahir fenomena lanjutan, yakni calon tunggal dan Pilkada melawan kotak kosong.

Fenomena terakhir terjadi di Pilwako Makassar, dan pada Pilkada serentak 2020 disebut-sebut puluhan dari 270 Pilkada di tanah air, kontestan bakal melawan kotak kosong lantaran hanya ada satu calon pasangan peserta, alias fenomena calon tunggal. Dua fenomena itu, jika diamati dengan saksama, juga terlihat tandanya di Kepri.

Klop, dengan adagium politik, yakni tak ada lawan abadi kecuali kepentingan abadi. Sepanjang saling menguntungkan satu sama lain, kenapa tidak. “(Istilahnya) simbiosis mutualisme (politik),” ujar Saut Sirait, Analis Politik Kepri di Karimun, Selasa (9/9/2020) mengomentari fenomena itu.

Bahkan, dalam penjelasannya, demi memastikan itu terjadi, parpol rela menahan diri tak mencalonkan kadernya, meskipun memiliki posisi tawar politik lebih tinggi dengan calon kontestan. Tak heran, banyak parpol pada akhirnya mendukung calon petahana. Namun, di mata Sirait, parpol tak selalu menjadi biang di balik manuver itu.

Calon kontestan, meskipun berstatus petahana, tak sedikit berusaha merangkul sebanyak mungkin parpol dalam gerbongnya. “Sepertinya ada ketakutan (petahana) kehilangan jabatan,” sebut Sirait. Meskipun konsekuensinya terjadi Pilkada asimetris alias dukungan parpol tidak linier satu sama lain.

Tali temali dua fenomena itu dapat dilihat di Pilbup Bintan, Pilwako Batam, Pilbup Karimun, Pilbup Lingga dan Pilbup Anambas, dengan pengecualian Pilbup Natuna lantaran tak ada calon petahana. Setidaknya terdapat lima faktor di balik fenomena itu, termasuk mencuatnya calon tunggal Pilkada, di antaranya kecenderungan berkoalisi ke petahana.

Termasuk alasan ketimbang bersaing dan kalah, juga ketakutan parpol kehilangan akses kekuasaan demi membiayai kebutuhan operasional parpol. Sedangkan bagi petahana, memborong parpol memastikan setidaknya setengah kemenangan sudah di tangan.

“Dengan memborong dukungan kandidat berharap bisa menang mudah tanpa harus bertaruh melawan paslon lain,” kata Ketua Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, sembari menyebut tentunya setelah terjadi kesepakatan-kesepakatan sebelumnya. Selain alasan pragmatis, dukungan koalisi ke petahana, untuk sebagian secara kebetulan, juga semata alasan ideologis. Kasus di Kepri ialah dukungan Partai Gelora.

Kemenangan Politis Hanura?

Kendati tak sebesar PDIP dan Golkar, kepiawaian politisi Hanura di Kepri tak bisa dipandang sebelah mata. Pertaruhannya jauh-jauh hari mendukung Isdianto ke Pilgub Kepri terbayar. Koalisinya dengan PKS menyelamatkan ketiganya di panggung Pilgub. Bagi PKS, majunya Isdianto-Suryani menyelamatkan status mereka sebagai parpol pemenang pemilu di Bumi Segantang Lada.

Kini, PKS dapat berdiri sejajar dengan PDIP, Golkar dan Nasdem, dengan status sama-sama parpol pengusung kontestan Pilgub, bukan pendukung paslon. Bagi Isdianto, meskipun berstatus kuda hitam, tentu lebih baik ketimbang terlempar dari orbit Pilgub. Bagi seorang petahana, cara terhormat keluar gelanggang ialah bertarung dulu, apapun hasilnya nanti.

Pada simpang psikologi politik itulah, Hanura masuk dan merangkul keduanya menjadi poros ketiga di Pilgub Kepri. Belakangan bergabung Demokrat ke koalisi. Secara politis, Hanura menjadi sang penentu (The King Maker). Kondisi serupa juga terjadi di Pilbup Bintan, sejak awal digadang-gadang mengusung Alias Wello-Dalmasri, Hanura di akhir justru mendukung petahana.

Praktis duet usungan Nasdem di Bintan berada di tubir kegagalan mencalonkan diri. Apalagi belakangan PAN, juga bergabung dengan petahana meskipun secara dramatis terjadi tarik ulur surat putusan rekomendasi. Petinggi Hanura membuka alasan di baliknya, meskipun bukan tak mungkin bakal terjadi kejutan lagi.

Kejutan-kejutan PAN

Meskipun besar di Natuna, namun PAN di Kepri tak lebih parpol semenjana. Kendati demikian, pengaruhnya terasa hingga ke Bintan lewat kisruh tarik ulur surat rekomendasi partai. Proses dukungannya ke petahana, Apri Sujadi-Roby Kurniawan, bukan hanya menjadikan duet usungan Demokrat-Golkar itu memiliki parpol koalisi terbanyak, namun juga berpotensi membawa Pilbup Bintan ke Pilkada calon tunggal.

Namun, seiring kabar KPU Bintan memperpanjang pendaftaran demi mengantisipasi Pilkada calon tunggal sesuai dengan ketentuan KPU RI, segala sesuatunya masih bisa terjadi setelah tanggal 10 September, ketimbang Pilkada melawan kotak kosong. Alasan itu pula dipakai PAN, pada akhirnya, mengusung jagoannya di Pilbup Natuna.

Berkoalisi dengan Golkar, PAN mencalonkan Mustamin-Derry Purnamasari. Nama terakhir ialah putri Hamid Rizal, Ketua DPW PAN Kepri sekaligus Bupati Natuna petahana. Berstatus dua besar parpol pemenang pemilu di Natuna, pasangan itu bakal bertarung dengan Wan Siswandi-Rodial Huda. PAN menjadi sang penentu (The King Maker) di menit-menit akhir melawan koalisi banyak parpol di belakang Wan-Rodial.

Pertarungan Ideologis Partai Gelora

Lahirnya Partai Gelora merupakan buntut perseteruan faksional di PKS. Kubu terpental bergabung mendirikan Partai Gelora, dan Pilkada serentak termasuk di Kepri menjadi gelanggang baru pertarungan keduanya. Setidaknya jika melihat aliran dukungan Partai Gelora di Pilbup Karimun dan Pilbup Lingga.

Di Kepri, hanya dua daerah itu PKS berhasil mengirimkan wakilnya ke DPRD Kepri, selain dapil Batam. Dengan kata lain, Karimun dan Lingga tak ubahnya benteng pertahanan PKS. Terbukti, di kedua itu, kader PKS percaya diri mengusung kader dan calonnya sendiri. Posisi politis itu disambut Partai Gelora dengan mendukung pesaing keduanya.

Dua tafsir mengemuka, boleh jadi pertimbangan Partai Gelora mendukung Aunur Rafiq-Anwar Hasyim demi membuktikan ke PKS, siapa sejatinya wakil ideologis konstituen mereka di Karimun. Kedua, mendukung calon petahana merupakan cara pragmatis sekaligus strategis bagi parpol pendatang baru.

Kesuksesan calon usungan Partai Gelora di Karimun dan Lingga nantinya, dapat ditafsirkan, sebagai kemenangan rivalitas mereka. Pada titik ini, Partai Gelora menjadi sang penentu (The King Maker), bukan calon usungan namun nasib mereka sendiri.

(*)

Bagikan