(Politik Dinasti) Dan Machiavelli Pun Tertawa

ilustrasi politik dinasti/sindonews.com

(Politik Dinasti) Dan Machiavelli Pun Tertawa

Robby Patria*)

KALAU Machiavelli masih hidup, tentu ia akan tertawa atau bisa jadi sedih. Karena pemikirannya soal kekuasaan, dia tulis 507 tahun silam, masih relevan saat ini.

Bahkan ketika negara bukan monarki sekalipun, sekarang ingin menjadi seperti monarki. Kekuasaan dapat diwariskan kepada keluarga terdekat. Walaupun prosedurnya tetap melalui pemilu layaknya dalam model demokrasi. 

Dulu di zaman monarki Italia, Machiavelli menulis buku berjudul “Sang Pangeran” sebagai pedoman penguasa. Ada menganggap Machiavelli memberikan ajaran yang menabrak nilai-nilai kemanusiaan untuk berkuasa.

Tapi, di era politik moderen masih banyak meniru gaya pemikiran pemikir Italia itu, untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Machiavelli mengatakan, “Kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah.”

Dulu era monarki, siapapun yang namanya  putra mahkota, apakah mampu atau  tidak, peluang berkuasa tetap besar. Di demokrasi, keluarga penguasa bisa turun menurun berkuasa seperti era monarki karena mereka solid menjaga kekuasaan. Yang membedakan, jika monarki langsung ditunjuk tanpa ada proses melibatkan rakyat.

Di era saat ini, kekuasaan bisa diwariskan melalui pemilihan yang didesain sedemikian rupa. Bahkan bisa melalui tanpa pertandingan serius. Ya, calon boneka bisa diciptakan. Jika mau ekstrem dibuat melawan kotak kosong.

Di pilkada 2020, ada beberapa daerah muncul wacana melawan kotak kosong. Namun, jangan dulu bahagia, karena kejadian di Makasar, kotak kosong pernah menang sehingga calon yang diusung partai kalah telak. Jadi tak usah jemawa jika merasa tak ada lagi lawan.

Jika rakyat sudah muak dengan keserakahan, maka sang pemilik kedaulatan suara akan marah dan memberikan kemenangan kepada calon yang dianggap lemah. Tak terkecuali kotak kosong. Dan itulah kejadian di Makasar.

Dampak politik dinasti, dan kita nampaknya harus samakan persepsi bahwa dalam teorinya, demokrasi dicirikan oleh setidaknya tiga karakter. Pertama, pembagian kekuasaan ala trias politika, yakni eksekutif, yudikatif dan eksekutif.( Montesquieu).

Tujuan filosofis, pemikir Prancis ini melakukan pembagian tiga kekuasaan dalam trias politika agar terjadi proses check and balances antar lembaga pemerintah. Kedua, demokrasi dicirikan dengan suksesi kepemimpinan yang terbuka, melalui mekanisme pemilihan umum yang adil, jujur dan terbuka.

Ketiga, rakyatlah pemegang kedaulatan, bukan pemerintah apalagi politisi. Menurut Novendra Bimantara, dengan maraknya dinasti politik, tiga pilar demokrasi itu berada dalam ancaman besar. Sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif manakala semua lini dikuasai orang-orang yang sekerabat.

Rapat-rapat atau sidang sidang yang sedianya menentukan hajat hidup orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga. Jika sudah demikian, maka sudah sepatutnya kita mengucapkan selamat tinggal good governance.

Dampak negatif dari dinasti politik di Indonesia akan membuat orang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Sebaliknya, orang yang kompeten menjadi tidak dipilih karena alasan bukan keluarga.

Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan, karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Maka dari itu, dinasti politik bukanlah sistem tepat untuk diterapkan di negara kita, Indonesia. Sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan (Novendra).

Pihak pendukung politikus dinasti beralasan, tak ada hukum positif yang melarang praktik itu dibuat di Indonesia. Bahkan banyak negara lain pun melakukan hal serupa. Misalnya jejak rekam, Bush, Kennedy di Amerika hingga ditiru politikus Indonesia. Mulai dari kota besar hingga ke daerah.

Tak ayal, memang dari daerah yang menerapkan politik kekerabatan itu, beberapa berurusan dengan hukum. Teranyar adalah kasus suami istri yang masuk penjara di Kutai Timur karena kasus terduga korupsi diamankan komisi anti rusuah.

Istri ketua DPRD dan suami menjadi bupati. Tentu lebih mudah untuk mengamankan kepentingan kepala daerah karena disebabkan istrinya sebagai ketua DPRD.

Meski secara undang-undang diperbolehkan, dinasti politik rupanya lebih banyak berdampak negatif dari pada sisi positifnya, jika terus dijalankan para penguasa di negeri ini. Walau sempat dilarang dalam UU soal pilkada, namun Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal itu dikarenakan bertentangan dengan hak azasi manusia.

Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana mengatakan, akibat dinasti politik banyak pemimpin daerah menjadi politisi yang mempunyai pengaruh besar.

Sehingga semua keluarga, termasuk anak dan istri, berbondong-bondong terlibat dalam sistem pemerintahan (IDNews). Menurut Ari ada tiga sebab mengapa muncul dinasti politik di Indonesia:

Pertama, dinasti politik dianggap hanya melenggangkan kekuasaan segelintir orang. Ari berpendapat dinasti politik hanya melanggengkan kekuasaan bagi segelintir orang.

Karena partai politik lebih mengutamakan popularitas dan kekayaan, ketimbang kader partai yang memiliki kapabilitas. Dengan pertama, menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai, sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan.

Dalam posisi ini, rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, ‘darah biru’ atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Kedua, tidak memberi ruang kepada orang lain yang lebih kompeten, untuk bergabung ke dalam partai atau pemerintahan. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas.

Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata, sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Ketiga, sulit menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif, sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Bukti bahwa politik dinasti memberikan dampak negatif bisa dilihat dari kasus di beberapa daerah di Indonesia yang berurusan dengan hukum. Yang paling terkenal adalah dinasti Ratu Atut di Banten. Fuad Amin Imron atau Lora Fuad di Bangkalan, Madura, serta dinasti Syaukani dan Rita Widyasari.

Eks Gubernur Banten ini mendorong kerabatnya menempati beberapa posisi strategis di instansi pemerintahan. Asumsi.co mencatat, ada adik kandungnya bernama Ratu Tatu Chasanah, yang pernah menjabat Wakil Bupati Serang (2010-2015) dan berlanjut menjadi Bupati Serang (2016-2021).

Lalu, adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman pernah mencicipi Wali Kota Serang (2011-2018). Ipar Atut yang cukup dikenal, Airin Rachmi Diany, pun masih eksis menjabat sebagai Wali Kota Tangerang Selatan (2011-2021).

Sedangkan putra Atut, Andika Hazrumy bahkan berhasil menjabat Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022. Sepaket, istri Andika, Adde Rosi Khoerunnisa, juga dibagi kue Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten 2014-2019 dari Fraksi Partai Golkar.

Di Cimahi, Wali Kota Cimahi periode 2012-2017 Atty Suharti bersama suaminya, Itoc Tochija, mengutip Kompas, menjadi tersangka kasus penerimaan suap terkait proyek pembangunan pasar di Cimahi, dengan nilai total proyek mencapai Rp57 miliar.

Atty dan suaminya diringkus petugas KPK setelah diduga menerima suap dari dua pengusaha. Itoc sendiri adalah Wali Kota Cimahi dalam dua periode sebelumnya. Posisinya kemudian digantikan oleh istrinya, Atty Suharti.

Lalu di Banyuasin, Bupati Banyuasin periode 2013-2018, Yan Anton Ferdian diamankan KPK terkait kasus suap proyek di dinas pendidikan Banyuasin. Bupati termuda ini melanjutkan trah kekuasaan yang sebelumnya diduduki bapaknya, Amiruddin Inoed, selama 12 tahun.

Akhirnya dengan banyaknya kasus negatif, dinasti politik harusnya dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet.

Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka bisa saja menyebabkan korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan, ”Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana maksud amanah disia-siakan?’ Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari). (*)

*) Mahasiswa PhD University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)

DISCLAIMER: Setiap tulisan di rubrik kolom sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya masing-masing

Bagikan