Oligarkhi Mengoyak Demokrasi

Oligarkhi Mengoyak Demokrasi

Robby Patria*)

BANYAK negara demokrasi di dunia belum maksimal membuat seluruh rakyatnya sejahtera. Tetapi beberapa persen dari total penduduk bahkan menjadi kaya raya akibat dari proses demokrasi. Proses politik masih dikuasai oligarki dan menentukan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan publik. Bahkan, termasuk proses pencalonan kepala daerah.

Demokrasi beriringan dengan oligarki ketika civil society, pers  dan kalangan cendekiawan di kampus tidak kuat mengimbanginya. Pilkada langsung 2020 ini hendaknya para pemilih betul-betul memilih pemimpin yang serius memikirkan bagaimana menawarkan program yang bisa membuat rakyat makmur hidup sejahtera.

Bagaimana memilih pemimpin daerah yang dekat dengan rakyat tak berjarak dengan rakyat. Dan mengambil kebijakan untuk kepentingan rakyat. Bukan kebijakan pembangunan atas dorongan kaum oligarki yang menimba keuntungan dari proyek-proyek APBD.

Menurut Jeffry A Winters, profesor politik dari  Northwestern University, USA, zaman imperium Roma, selisih kalangan paling kaya Roma yakni 500 senator dengan orang miskin di sana pada waktu itu, ribuan tahun dari saat ini, hanya 10 ribu kali lipat.

Sedangkan era demokrasi modern, kekayaan 500 orang paling kaya di Amerika dengan warga biasa di sana ada gap 20 ribu kali lipat. Dan yang paling seram ada di Indonesia. Misalnya kata Winters, 50 orang paling kaya di Indonesia dibandingkan dengan penduduk miskin di Indonesia mencapai 630 ribu kali lipat selisihnya.

Tak heran menurut Global Wealth Databooks 2016, tingkat kesenjangan sosial Indonesia paling buruk di dunia bersama dengan empat negara lain yakni Rusia, India, dan Thailand. Global Wealth Report 2018 menyebutkan, satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan  nasional, meningkat dari 45,4 persen pada 2017.
Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan nasional. Posisi Indonesia 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India.

Dan bisa kita lihat, gaji elite direksi di BUMN di negeri ini mencapai lebih dari Rp100-150 juta per bulan. Sedangkan di sisi lain, upah minimum kota di Indonesia untuk pekerja ada yang masih di bawah 3 juta rupiah per bulan. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar garis kemiskinan masyarakat Indonesia adalah Rp 425.250 per kapita per bulan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa orang miskin Indonesia memiliki pendapatan sebesar Rp 14.175 setiap harinya atau sekitar 1 dollar AS. pemerintah masih menggunakan asumsi garis kemiskinan per hari menghabiskan tak sampai 2 dollar. Padahal di negara lain sudah 2 dollar per hari.

Dengan angka cuma 1 dollar lebih itu jumlah warga miskin mencapai 24 juta jiwa di Indonesia. Di Kepri jumlah penduduk miskin menurut BPS mencapai 127 ribu  jiwa. Jika BPS menggunakan asumsi pengeluaran 2 dollar per hari, maka yang kalangan miskin lebih dari 48 juta jiwa.

Lantas bagaimana demokrasi bisa membawa perubahan pemerataan kesejahteraan? Nampaknya pertanyaan ini masih menjadi tanya tanya besar yang jawabannya belum dapat dipastikan kepuasaannya. Kalau satu suara satu orang sudah adil. Yang profesor dengan yang tak  tamat SD sama-sama satu suara. Rutinitas pemilu dan pilkada teratur.

Tapi, hasil pesta demokrasi itu belum berhasil maksimal menurunkan indeks kesenjangan di Indonesia. Kita pernah pernah mencapai 41 poin gini ratio di 2014, dan sekarang baru menurun mencapai 38 poin. Sedangkan di zaman Soeharto, gini ratio Indonesia lebih baik dari zaman Reformasi saat ini. Australia termasuk negara dengan gini ratio rendah di angka 27 poin. Menunjukkan pembangunan di negara ini berhasil mengurangi ketimpangan kesejahteraan antara kaya dan miskin.

Dan di kita yang kaya tambah kaya yang miskin tetap miskin. Supaya tak kelihatan miskin, pemerintah melakukan strategi mengubah rumah warga miskin menjadi layak huni. Pemerintah tak mengubah mereka dari sisi pekerjaan.
Misalnya dari nelayan dengan motor 5 GT ke nelayan dengan motor ikan 20 GT. Sehingga mencari ikan ke laut di atas 12 mil. Yang kurang modal diberikan bantuan modal lalu dibina. Jangan dibiarkan mereka meminjam kepada pihak lain dengan bunga tinggi.

Pemerintah pun masih membiarkan nelayan tergantung dengan tauke. Sehingga harga ikan yang mereka tangkap nilainya tak terlalu kompetitif. Belum ada upaya misalnya pemerintah membuat pabrik pengolahan ikan yang dapat menambah nilai jual hasil tangkapan nelayan.

Negara negara di kawasan Skandinavia menjadi negara makmur padahal tidak terlalu memiliki kekayaan tak sebanyak Indonesia. Rata-rata PDB perkapita di atas 30 ribu dolar AS. Sementara Indonesia PDB perkapita masih 3.800 dolar US.Nelayan di Norwegia misalnya makmur karena negara itu mengoptimalkan potensi kelautan mereka bernilai jual tinggi.

Persoalannya adalah, dengan besarnya APBN maupun APBD dalam melaksanakan pembangunan, tapi efeknya tidak serta merta rakyat miskin berubah cepat menjadi tidak miskin lagi. Terkadang, proses pembangunan tidak langsung menyentuh titik titik kemiskinan.

Misalnya dibuat pembangunan Gurindam 12 yang menelan dana Rp400-an miliar, tapi dengan anggaran sebesar itu, pemerintah tak memiliki hitungan dampak pembangunan tersebut dalam mengentaskan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Tanjungpinang. Andaikan proyek itu didanai APBN, tentu tak menyedot APBD Kepri.

Dan harus dipastikan berapa banyak orang miskin yang bisa dibantu keluar dari kemiskinan misalnya dengan melakukan proyek atau kegiatan yang bisa melibatkan mereka dalam proyek tersebut.

Banyak negara maju seperti di Dubai, Korea Selatan, Singapura, membangun waterfront city, karena memang negara itu jumlah penduduk miskinnya relatif kecil. Warganya ingin menikmati kebutuhan tersier seperti liburan, makan-makan, dan kenikmatan lainnya. Dan menarik wisman.

Sementara di kita, harusnya dana APBD untuk program pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan layanan kesehatan jadi berkurang karena digunakan untuk pembangunan proyek Gurindam dengan keuangan yang terbatas.

Hasil kajian ilmiah harusnya menjadi pegangan pengambil keputusan dalam melakukan pembangunan yang menelan anggaran yang tidak sedikit. Di negara demokrasi, suara suara yang diberikan pada saat pesta pemilu harusnya membuat kepala daerah ingat dengan raja mereka yakni rakyat yang memilih.

Tapi dalam sejumlah kasus pemilu, terkadang hanya sebagai peresmian untuk berkuasa. Setelah itu, yang berkuasa menjadi raja dan lupa siapa yang memberi kuasa. Kebijakan publik dalam proses pelaksanaan anggaran lebih mementingkan kepentingan kaum oligarki. Mereka yang sudah memberikan modal ketika berkontribusi saat pemilu.

Oleh karena itu, kata Jeffry Winters, rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus betul-betul memilih pemimpin yang tidak terpengaruh oleh kekuatan pemilik modal yang nantinya meminta konsesi untuk mengeruk sumber daya alam daerah, proyek proyek, hingga kepentingan lainnya. Pilihlah pemimpin yang serius untuk menjadikan kekayaan daerah untuk kemakmuran masyarakatnya.

Saat Marx dan Engels berbicara tentang kehidupan masyarakat tanpa elite, memimpikan setiap anggota masyarakat bisa berganti fungsi, sehingga tidak ada dominasi oleh yang satu terhadap lainnya. Lebih dari 100 tahun pemikiran Marx itu, kini kita sangat tergantung dengan kelompok elite tersebut.

Seolah-olah mereka lah yang mampu mencalonkan pemimpin di saat pilkada. Karena mereka memiliki modal yang bernama uang. Kalangan yang tidak sepaham dengan kelompok itu akan disingkirkan. Pemilih akan dicari ketika mau pemilu dan pilkada. Setelah dapat legitimasi, maka pemilik suara pun dipandang sebelah mata. Karena semua akan dibagi rata kepada karib kerabat sang penguasa.

“Dan perlu diingat, sering kali demokrasi hanya menciptakan tirani baru karena tidak jarang pemimpin merobek-robek prinsip demokrasi setelah mereka berkuasa,” kata Robert Michael yang menulis buku “Partai Politik: Kecenderungan  Oligarki dalam Birokrasi” di tahun 1911. (*)

*) Mahasiswa PhD University Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)

DISCLAIMER: Setiap tulisan di rubrik kolom sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya masing-masing

Bagikan