Koalisi Golkar-Nasdem (2-Habis): Bedah Strategi Pilkada Nasdem Ungguli Golkar Di Kepri
angkaberita.id – Dalam dua hajatan politik terakhir di Kepri, Nasdem terbilang piawai memilih strategi memenangi kontestasi. Selain Pileg 2019, Nasdem juga termasuk sukses membawa Paslon dukungan unggul perolehan suara di Pilkada serentak pada 9 Desember tahun lalu.
Bukti kesuksesan Pileg kemarin, ditandai duduknya kader Nasdem di unsur pimpinan DPRD Kepri. Sedangkan pada Pilkada serentak, bukan hanya mengungguli koalisi parpol lain, Nasdem juga memaksa Golkar mengakui keunggulan dalam soal jumlah kemenangan koalisi Pilkada.
Lalu apa kunci kesuksesan politik Nasdem di Kepri itu? Meskipun Golkar, berdasarkan perolehan kursi DPRD Kepri, terbilang paling merata perolehan suaranya. Dengan mengirimkan delapan kader dari tujuh daerah pemilihan di Kepri. Namun bekal Nasdem di Pilkada serentak akhir tahun lalu, juga tak kalah kuat basis elektoralnya.
Berbeda dengan PDIP dan PKS, masing-masing kuat di Batam, berdasarkan jumlah dapil pengirim kader terbanyak di DPRD Kepri. Modal Nasdem di Pilkada hampir mirip dengan Golkar, yakni meratanya basis elektoral mereka. Bahkan, sejumlah kader mereka juga berkuasa setelah memenangi hajatan Pilkada kabupaten/kota sebelumnya.
Seperti Batam, Lingga dan Karimun. Di Lingga, bahkan Nasdem menjadi peraih suara terbanyak di Pileg. Nah, seperti parpol besar lainnya, saat Pilkada strategi Nasdem, selain bertumpu pada figur kuat, juga bersandar pada Paslon petahana. Terbukti, dari tujuh Pilkada di Kepri, hanya satu Paslon petahana kandas. Lima lainnya unggul perolehan suara, sedangkan Natuna tanpa Paslon inkumben.
Fenomena itu, seperti mengonfirmasi, tradisi petahana di Kepri. Artinya, siklus dan sirkulasi kepemimpinan di masing-masing daerah biasanya tuntas hingga dua periode masa jabatan. Ansar di Bintan, Rudi di Batam dan Aunur Rafiq di Karimun. Dua nama terakhir, bertarung ke Pilkada dengan status wakil kepala daerah di periode pertamanya.
Bertumpu pada petahana, sejatinya, bukan hanya dominan di Kepri. Secara nasional, banyak parpol juga berkoalisi di Pilkada ke Paslon petahana. Selain akses sumber daya politik, diyakini Petahana juga selangkah dibanding penantangnya lantaran statusnya sebagai kepala daerah memungkinkan mereka bertemu dan berinteraksi secara terus menerus dengan masyarakat.
Kunci strategi memenangi kontestasi lainnya, Nasdem terbilang berani melawan arus kritikan di tengah publik. Seperti isu politik dinasti. Secara legal, memang tidak ada aturan main secara legalistik melarang politik dinasti. Kemudian, banyak Paslon sasaran politik dinasti memang figur terbilang mengakar di daerah bersangkutan.
Alasan terakhir, politik dinasti secara kacamata politik, dapat dimaknai mengakar dan kuatnya basis elektoral Paslon bersangkutan. Artinya, jika satu keluarga bisa berkuasa dan bertahan hingga empat periode, meskipun berbeda-beda figur keluarga yang duduk di pemerintahan hasil Pilkada. Artinya “dinasti” politik itu memang kuat dan mengakar ke pemilih, alias ada loyalisnya.
Bagi Parpol, itu artinya, meskipun berpotensi menciderai fatsoen politik, namun secara kalkulasi politik justru peluang menangnya besar. “Karena itu (politik dinasti) bukan mainan lokal, nasional juga seperti itu,” kata Saur Sirait, Analis Politik Kepri di Karimun, belum lama ini, mencoba membedah alasan Nasdem nekat melawan arus kritikan seperti itu.
Kata Sirait, Nasdem juga piawai hitungan politiknya saat menyandingkan dua figur menjadi paket Paslon, tanpa menyingkirkan kadernya sendiri. Riset Nagara Institute mengonfirmasi itu, meskipun kajiannya soal pencalonan di Pileg 2019 lalu. Nasdem menjadi parpol teratas dalam persentase anggota legislatif terpapar dinasti politik.
“Dengan perolehan sebanyak 59 kursi, Nasdem meloloskan 20 orang atau 33,90 persen anggota (legislatif terpilih) yang terpapar politik dinasti,” kata Akbar Faisal, Direktur Nagara Institute. Tak heran, di Pilgub Kepri, isu politik dinasti terhadap Paslon usungan mereka tak beresonansi negatif ke pemilih.
Zamzami A. Karim, Analis Politik Kepri di Tanjungpinang mengungkapkan, kendati isu politik dinasti menguat di publik, namun pemilih pada akhirnya mempertimbangkan kedekatan dengan Paslon sebagai pertimbangan mencoblos.
Di Tanjungpinang, menurut analisis dirinya terhadap perilaku pemilih, setidaknya tiga alasan pemilih menjatuhkan pilihan. “Yakni, kedekatan dengan paslon, isu kampanye dan jejak rekam kepemimpinan Paslon,” papar Zamzami.
(*)