Praktik ‘Beli Pengantin’ di Korea Selatan, Benarkah Hanya Sekadar Membantu Si Bujang Lapuk?

Ilustrasi pernikahan di Korea Selatan/Yonhap via koreaherald.com

angkaberita.id – Beberapa tahun terakhir pemerintah Korea Selatan dipusingkan dengan terus menyusutnya jumlah penduduk wanita di kawasan pedesaan.

Pemicunya eksodus besar-besaran kaum perempuannya ke perkotaan seiring arus urbanisasi. Pemerintah Korea Selatan melalui pemerintah daerah setempat berusaha membalikkan tren yang telah berlangsung selama 30 tahun terakhir, dengan memberikan subsidi kepada penduduk pria yang ingin menikah.

Imbasnya, belakangan di sejumlah kawasan pedesaan di Negeri Gingseng itu terjadi fenomena “beli pengantin” dengan menyasar perempuan-perempuan non Korea.

Setidaknya 35 pemerintah daerah dengan andalan ekonominya pertanian dan industri perikanan menerapkan kebijakan ini. Subsidi ini memberikan pria setempat biaya berkencan dan menikah dengan perempuan non Korea, terutama dari Asia Tenggara.

Selain meningkatkan jumlah penduduk, kebijakan ini juga dimaksudkan mengurangi eksodus penduduk pedesaan terutama kaum pria. Besaran subsidi mulai 3 juta hingga 10 juta won atau setara 2,67 ribu hingga 8,9 ribu dolar.

Dengan kurs semisal Rp 10 ribu per dolar, besaran subsidinya setara Rp 26 juta hingga 89 juta, tergantung kebijakan masing-masing pemerintah daerahnya.

Tujuan subsidi hanya satu: mencegah menyusutnya jumlah penduduk di kawasan pedesaan dengan membantu penduduk pria mencari istri, terutama perempuan non Korea akibat eksodusnya kaum perempuan lokal bekerja ke perkotaan.

Seperti dilansir laman situs koreaherald.com, Senin (18/2/2019) kebijakan subsidi nikah ini diberikan 35 pemerintah daerah demi menekan penyusutan jumlah penduduk di kawasan pedesaan Korea Selatan sejak dekade 1980-an.

Pemda Yangpyeong di Provinsi Gyeonggi Province semisal, memberi dana “beli pengantin” kepada penduduk prianya usia antara 35-55 tahun yang bekerja di pertanian, perikanan dan kehutanan serta belum pernah menikah dan telah menjadi penduduk selama lebih tiga tahun.

Sejak menerapkan aturan ini pada 2009, sedikitnya telah 57 penduduknya menerima kebijakan subsidi ini, dari total 570 rumah tangga lintas budaya yang tercatat selama periode itu.

Kebanyakan pengantin perempuannya dari Vietnam, kemudian perempuan negara Asia Tenggara lainnya. Dalam pernyataannya, Pemda Yangpyeon mengatakan kebijakan memang sengaja menyasar penduduk pria lokal meskipun programnya di bawah pengawasan dinas kesejahteraan perempuan, bidang kesetaraan jender dan keluarga.

Kebijakan ini bukannya sepi dari kritikan, sejumlah pihak mengkritisi kebijakan ini yang disindirnya sebagai tak lebih praktik “beli pengantin”. “Pada dasarnya ini seperti beli pengantin, menikah berdasar uang ketimbang cinta,” kata Jang Han-up, Direktur Ewha Multicultural Research Institute.

Dia menambahkan, kondisi ini rentan menimbulkan kekerasan rumah tangga dalam pernikahan itu akibat kendala bahasa dan budaya. Sehingga berpotensi melanggar HAM.

“Pengantin ini rawan menjadi sasaran pelanggaran HAM, dianggap sebagai harta benda dan hanya objek seksual,” sebut Jang. Kritikannya bukan isapan jempol. Survei Komnas HAM Korea Selatan mengonfirmasi temuannya.

Dari 920 perempuan migran yang disurvei sebanyak 42,1 persen menjawab mereka mengalami kekerasan rumah tangga dan 68 persen lainnya mengaku mendapatkan perlakuan seksual tak mengenakkan.

Kebijakan “beli pengantin” ini sebenarnya hanya menyubsidi sebagian dari biaya pernikahan saja. Subsidi mencakup biaya tiket transportasi, akomodasi dan jasa perjodohan.

Ketimbang menggunakan jasa mak comblang, banyak calon pengantin pria memilih terbang ke negara asal perempuan yang hendak dinikahinya dan mengenalnya lebih dekat.

Ilustrasi pernikahan di Korea Selatan/Yonhap vis koreaherald.com

Uzbekistan paling mahal

Merujuk data riset Kementerian Kesetaraan Gender Korea Selatan pada 2017 tentang bisnis perjodohan antarbangsa, menikahi perempuan

Uzbekistan terbilang paling mahal menelan biaya sekitar 18,3 juta won setara 16,200 dolar dengan kurs Rp 10 ribu per dolar, biayanya setara Rp 16,2 juta per pengantin.

Kemudian Filipina 15,2 juta won. Kamboja (14.4 juta won), Vietnam (14.2 juta won) dan China (10.7 million won). Berdasar riset itu, banyak pria Korea Selatan memilih pengantin asal Vietnam sebanyak 73 persen.

Proses jadinya juga terbilang cepat, hanya rerata 3,9 hari sejak pertemuan pertama, pasangan pengantin langsung berlanjut ke pelaminan. Secara usia, pengantin pria Korea Selatan berusia rerata 43,6 tahun dan pengantin perempuannya rerata 25,2 tahun atau terpaut usia 18,4 tahun lebih.

Pejabat Pemda Yangpyeong mengungkapkan, itu dipicu kondisi hampir sulitnya menemukan perempuan lokal yang masih berdiam diri atau melajang di pedesaan.

“Jarang ada perempuan lajang di sini, kebanyakan mereka telah menikah atau bekerja ke kota kemudian menikah di sana. Karenannya kebijakan ini hanya buat pria petani yang belum menemukan jodohnya sepanjang hidup,” kata pejabat itu sembari menyebut kondisi keuangan menjadi pemicunya.

Di kawasan pedesaan, banyak perempuan Korea Selatan enggan menikah dengan pria lokal. “Karenanya kami bantu para prianya melirik pekerja migran, kami membantu mereka agar menemukan jodohnya,” ujar pejabat Pemprov Gyeonggi Province, menguatkan penjelasan sejawatnya dari Pemda Yangpyeong.

Politik pertanian?

Sejak melesatnya pertumbuhan ekonomi Korea Selatan di dekade 1960-an, banyak penduduk perempuan di kawasan pedesaan eksodus ke perkotaan bekerja di industri demi menambal kebutuhan keluarganya.

Alasan lain urbanisasi karena pekerjaan di pedesaan terbatas. Kaum pria di pedesaan sebaliknya, cenderung bertahan di desa lantaran terikat kewajiban mengurus keluarga, termasuk menjaga orang tua dan meneruskan usaha keluarga serta menjaga nama baik keluarga sebagaimana nilai-nilai ajaran Konghucu.

Alasan kultural inilah yang melatarbelakangi pemerintahan di Korea Selatan menerbitkan aturan subsidi “beli pengantin”. Pasal 1 Perda Pendanaan Nikah di Pemprov Gyeongsang Selatan semisal, menulis:

“Ketentuan dukungan pernikahan antarbangsa buat bujangan di pedesaan” jelas ditujukan membiayai sebagai biaya pernikahan mereka kelak sekaligus menguatkan lagi sektor pertanian di pedesaan dengan membantu petani memiliki keluarga.

Di mata akademisi, kebijakan ini seperti mengandung kepentingan politik tertentu. Yakni, seolah-seolah Korea Selatan hanya terbuka kepada perempuan pekerja migran sepanjang mereka mau menikah dengan pria lokal dan hamil, terutama di pedesaan demi menghidupkan sektor pertanian yang mulai ditinggalkan.

“Aturan ini problematik. Seharusnya suatu kebijakan publik tidak menyasar sekelompok kecil penduduk,” kata Professor Cho Hye-ryeon, Peneliti di Institute Korea untuk Promosi Kesetaraan Gender dan Pendidikan.

Dia menambahkan, sudah waktunya buat pemerintah Korea Selatan meninjau ulang kebijakan ini dan melihat perempuan pekerja migran sebagai bagian dari masyarakat, bukan sebatas mengadopsinya untuk kepentingan menggenjot sektor pertanian atau urusan membentuk keluarga saja.

“Penghormatan terhadap individu harus menjadi kebijakan utama soal-soal kebijakan keluarga ke depannya,”imbuh Cha. Terlepas dari tali temali persoalan di baliknya, banyak perempuan migran di Korea Selatan perkenalan dan pengetahuan pertama mereka seputar Korea berawal dari tayangan TV drama Korea atau artis dan penyanyi K-Pop.

Sehingga mereka rela merantau ke Negeri Gingseng dengan harapan bisa merasakan kondisi serupa yang dilihatnya, selain mendapatkan uang dan membantu keluarga di negara asal.

Tak heran, kondisi ini juga mengundang kritik aktivis HAM Korea Selatan. “Kami menilai kebijakan Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga soal ini tidak layak,”kata Lim Sun-young, pejabat khusus perlindungan migran pada Komnas HAM Korea Selatan.

Ini terbukti dengan adanya sebuah ketentuan di dalam Perda subsidi pernikahan di Pemda Yangyang, Provinsi Gangwon yang mengatur penarikkan kembali subsidi senilai 3 juta won kepada pasangan antarbangsa yang bercerai atau berpindah sebelum setahun menikah. (*)

Bagikan