COVID-19: Heboh Deksametason, Benarkah Obat Mujarab Pasien Corona?
angkaberita.id -Berbagai upaya ditempuh pemerintahan di sekujur dunia demi menekan penyebaran pandemi COVID-19. Selain mempercepat pencarian vaksian anti virus corona, sejumlah kalangan lain berlomba meracik obat infeksi akibat virus itu.
Terbaru, beredar kabar penelitian di Inggris mengungkap peneliti memiliki bukti menunjukkan penggunaan obat dexamethasone (deksametason) dapat menekan angka kematian (CFR) pasien COVID-19 hingga 35 persen pada pasien dengan alat bantu pernafasan, dan 20 persen pada pasien dengan oksigen tambahan.
Kontan kabar itu menyengat dunia di saat kurva penyebaran pandemi di dunia tak kunjung melandai. “Hasilnya menunjukkan jika pasien COVID-19 menggunakan ventilator atau oksigen, lalu diberi deksametason. Itu akan menyelamatkan nyawa, dan biaya sangat rendah,” klaim Martin Landray, Profesor Oxford dalam sidang penelitian itu seperti dilansir CNBC Indonesia.
Deksametason merupakan obat “sapu jagat” alias berbagai indikasi keluhan seperti alergi, kondisi kulit, radang usus besar, radang sendi, lupus, psoriasis dan gangguan perpafasan. Menurut RX List seperti dilansir CNBC International, obat ini juga dapat dipakai dengan indikasi keluhan lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan deksametason sebagai steroid dan sejak 1960-an telah digunakan, termasuk gangguan peradangan dan kanker tertentu. “Telah terdaftar dalam Daftar Model Obat Esensial WHO sejak 1977 dalam berbagai formulasi, dan saat ini tidak memiliki paten dan tersedia dengan harga terjangkau di sebagian besar negara.” jelas lembaga itu dalam situs resminya.
Kendati mengakui kegunaannya bagi pasien COVID-19 parah, namun WHO tidak melihat manfaatnya di pasien COVID-18 ringan. “Ini adalah pengobatan pertama untuk mengurangi angka kematian pasien COVID-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.
Dia menyebutnya terobosan dalam perang melawan COVID-19, dan mengapresiasi kerja keras peneliti, pemerintah Inggris, Universitas Oxford dan banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang terlibat dalam terobosan pengobatan itu. Kendati memiliki efek samping, namun menurut harian USA Today, peneliti meyakini penggunaan deksametason dosis rendah dan dalam waktu singkat umumnya aman.
Lalu berapa harganya? Berbagai ahli menyebut di pasaran harga obat ini terbilang murah dan mudah ditemukan. “Deksametason tidak mahal, tersedia di rak-rak, dan dapat segera digunakan untuk menyelamatkan nyawa di seluruh dunia,” kata Peter Horby, Pemimpin Riset Universitas Oxford dan peneliti uji klinis deksametason, seperti dikutip Indian Express.
Market Watch melaporkan, penggunaan obat ini guna perawatan per pasien COVID-19 hanya menghabiskan setara 6 dolar Amerika, atau Rp 85.000. Di tanah air, sejumlah situs belanja online, menawarkan harga obat ini mulai Rp 4.000 hingga Rp 140.000, tergantung dosis dan jumlah pembelian. Situs obat online, drugs.com menulis, di sebagian apotek di Amerika Serikat, harganya 25 dolar per 25 mililiter injeksi deksametason.
Uji klinis obat itu dilakukan kepada 2.100 pasien, dan 4.300 lainnya dengan obat lain. Pasien dipilih secara acak. Berdasarkan paparan situs drugbank, selain berbentuk injeksi, deksametason juga tersedia dalam bentuk tablet, dan sebagainya.
Khusus bentuk injeksi, pabrikan Merck di Kanada menjadi produsennya. Nama generik deksametason, namun merek komersialnya beragam tergantung pabrikan pembuatnya dan bentuk obatnya.
Upaya pencarian obat dilakukan sejak COVID-19 berstatus pandemi. Berbagai negara dengan caranya sendiri berusaha menekan penyebaran wabah, termasuk mengombinasikan sejumlah obat-obatan.
Laporan Der Spiegel, majalah Jerman di situs mengungkap berbagai jenis obat dan efektivitas pengobatannya. Di Amerika Serikat, Presiden Trump bahkan merekomendasikan obat anti malaria sebagai alternatif meskipun ditentang badan pengawasan obat (FDA) setempat.
Namun kabar mengejutkan tentu saja mundurnya Gilead, produsen obat remdesivir dari uji klinis obat itu ke pasien COVID-19. Sebelumnya obat itu ditujukan buat pasien Ebola di Afrika, meskipun dianggap tidak terlalu berhasil. Belakangan raksasa farmasi dunia, yakni AstraZeneca dikabarkan merger dengan Gilead dan meneruskan riset obat itu. (*)