angkaberita.id – BKKBN menyoroti tren menurunnya angka kesuburan di Tanah Air seiring terus merosotnya jumlah perkawinan kurun 10 tahun terakhir. Bersama Sulawesi Utara dan Bali, Jawa mencatatkan tren tertinggi.
Sigi BKKBN, usia pernikahan di Tanah Air terus beranjak menua di tengah laporan perkawinan dalam 10 tahun terakhir konsisten menurun. Bahkan, klaim BKKBN, mencapai rekor terendah “hanya” 1,5 juta perkawinan di tahun 2023 merujuk data BPS.
Rata-rata usia menikah, versi BKKBN, kini di atas 20 tahun. "Median usia menikah menjadi 22 (tahun). Kalau dulu kan rata-rata masih di bawah 20 tahun. (Bahkan) 10 tahun lalu masih 19,18 atau di bawahnya dikit," ungkap Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, seperti dikutip detikcom, Kamis (7/3/2024).
Kaum perempuan, sebut dia, kian menunda usia menikah. Konsekuensinya angka kesuburan perempuan, alias total fertility rate (TFR) cenderung menurun. Secara nasional, kini di angka 2,1 atau jauh menurut dibanding beberapa tahun lalu, di angka 2,4-2,7. Dengan sebaran tertinggi di Jawa.
Sebaliknya, angka kesuburuan tertinggi tersebar di Sumatera, dan Indonesia bagian timur. Berikut sebarannya:
(1) Daerah Dengan Angka Kesuburan Tertinggi
NTT
Papua
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Sumatera Utara
Aceh
Maluku
Kabar buruknya, saran Hasto, Pemprov harus mengendalikannya. Sebab, jika tidak berimbas ke kualitas SDM penduduk mereka. "Ini TFR-nya tinggi, provinsi-provinsi TFR-nya tinggi memang harus ditekan, diturunkan, supaya kualitas SDM-nya meningkat," pesan dia.
(2) Daerah Dengan Angka Kesuburan Terendah
Daerah Istimewa Yogyakarta
DKI Jakarta
Bali
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Utara
Hasto mengingatkan KDH dengan angka kesuburan rendah harus waspada. Konsekuensinya, piramida penduduk mereka akan berubah. Saran dia, masing-masing provinsi menerapkan kebijakan berbeda-beda menangani persoalan demografi mereka.
Enggan Menikah
Hasto mengungkapkan, tren menurunnya perkawinan bersamaan melejitnya angka perceraian. Tahun 2022, terdapat lebih 500 ribu kasus perceraian dibanding tahun 2021, sebanyak 460 ribu kasus merujuk data BPS.
Selain egoisme, kata Hasto, juga terkait fenomena toxic people. Pemicunya, kian majunya pendidikan, alias tingkat pendidikan. Kian berpendidikan, semakin enggan menikah. Atau, mereka cenderung menunda.
Di Kepri, merujuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tertinggi se-Sumatera. Pada saat sama, biaya hidup di Kepri, khususnya Batam, terhitung mahal di Tanah Air. Meski demikian, penduduk Kepri terbilang berusia produktif, generasi usia emas masih mendominasi.
Persoalannya, keinginan menunda menikah berimbas kecenderungan menunda memiliki momongan. BKKBN memberikan perhatian, kata Hasto, lantaran tren tadi terjadi merata di Tanah Air, di hampir semua wilayah.
Yogyakarta menjadi contohnya. Angka kesuburan di sana rendah, kurang dari dua. Padahal, menjaga populasi tak terdampak minus growth angka kesuburan idealnya 2,1. "Kalau ini terlalu cepat, kan bonus demografinya kan cepat menutup, ya karena kalau ini terlalu cepat jumlah anak turun drastis," beber Hasto.
(*)