angkaberita – Tersengat sindiran Karsayuda, Ketua Komisi II DPR, Gubernur Ansar membela diri dengan menantang balik DPR mengesahkan UU Daerah Kepulauan. Ketimbang koar-koar UU Daerah Kepulauan, Gubernur Ansar sebaiknya mengurus dulu pajak kendaraan di atas air. Kenapa?
Sebab, (1) Bersama Pajak Alat Berat, sesuai UU Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Pajak Kendaraan Di Atas Air merupakan objek pajak daerah. Pemprov Kepri agaknya belum menggarap, meskipun peluang ke situ bukannya kecil.
Kemudian (2) UU Daerah Kepulauan tak lantas ketuk palu dengan koar-koar di publik, tapi perlu lobi politik di DPR. Khususnya meyakinkan “Provinsi Daratan” lewat Jubir mereka di DPR, termasul win-win solution bagi mereka, jika memang Kepri memiliki usulan.
Terakhir (3), Buktikan dulu ke publik di Kepri jika Jubir mereka di DPR dan DPD solid dan memiliki “jurus” mengegolkan UU Daerah Kepulauan. Sebab, untuk sebagian, Kepri dapat menjadi “kunci pembuka” kebuntuan sejak deklarasi “Daerah Kepulauan” terungkap ke publik di tahun 2005.
PAD Nyusu Kendaraan Darat
Data Bapenda Kepri, hingga kuartal I tahun 2025, pajak kendaraan dan turunannya penyumbang terbesar ke PAD lewat pajak daerah. Sedangkan pajak alat berat belum terelisasi, meskipun pemungutan di awal tahun. Kondisi itu bukannya sekarang, tapi telah bertahun-tahun di Kepri.
Bahkan, tahun 2019-2020, DPRD Kepri getol mengkritik Pemprov lantaran dinilai tak kreatif menggali PAD, dengan bergantung sepenuhnya ke pajak kendaraan. Sekarang baru kelabakan, setelah APBN tak mengirim lagi duit transfer sebanyak tahun-tahun sebelumnya akibat Inpres No. 1/2025 dan,
Kebijakan kurang dan lebih bayar Kemenkeu di tahun 2024. Ujungnya, APBD Kepri di akhir tahun 2024 defisit, dengan menyisakan tunda bayar hingga ratusan miliar. Bapenda Kepri berdalih objek pajak kendaraan air masih pendataan.
Sekilas masuk akal. Sebab, objek pajak dimaksud merujuk kendaraan air di atas 7 GT. Artinya, pendaftaran harus ke pusat, bukan kewenangan daerah. Kecuali kapal di bawah tonase itu, kewenangan pendaftaran di pusat lewat Kemenhub. Di Kepri, pendaftaran kapal di KSOP Tanjungpinang dan KSOP Batam.
Namun, UU HKPD terbit sejak 2022, berlaku resmi ketentuan terbaru tahun 2025, khususnya opsen pajak. Pajak kendaraan di atas air menjadi sumber pajak daerah baru, dan Pemda dapat melegalisasi dengan menerbitkan Perda. Kepri tahun lalu telah mengesahkan Perda Pajak Daerah.
Nah, seharusnya waktu tadi harusnya cukup keperluan pendataan kapal terdaftar di Kepri sehingga tergambar potensi pajaknya. Patut diduga biang kekhawatiran terbesar ialah potensi inflasi. Ujungnya reputasi kepala daerah.
Sebab, pajak kendaraan di atas air tadi bakal menyasar kapal transportasi, termasuk feri di Kepri. Sekdaprov Adi Prihantara tak menampik kemungkinan itu. Nah, ketimbang koar-koar berteriak UU Daerah Kepulauan, Pemprov Kepri sebaiknya membuktikan dulu dengan menggarap pajak itu.
Mentalitas Dana Transfer
Sebab, jika terus mengejar UU Daerah Kepulauan, patut diduga Pemprov hanya ingin main aman, dengan mengandalkan duit transfer APBN lewat skema Dana Alokasi Khusus Kepulauan. Lalu apa bedanya, dengan skema dana Otsus, seperti di Aceh dan Papua.
Toh, meskipun bertahun-tahun kedua provinsi tadi menikmati skema fiskal itu, kemiskinan dan pembangunan masih jalan di tempat. Artinya, pendekatan anggaran tak sepenuhnya menentukan maju tidaknya pembangunan daerah. Sebaliknya, itu menggambarkan mentalitas dana transfer.
Sekaligus tidak kreatif mengenali potensi PAD di rumah sendiri. Dalam RUU Daerah Kepulauan inisiatif DPD, klausul dana khusus kepulauan memang seperti memberikan angin surga berkedok afirmasi. Dia sejatinya, hanyalah satu dari 9 poin krusial RUU telah diajukan ke DPR sejak lima tahun terakhir, termasuk lewat usulan DPR beberapa tahun lalu.
Sebab, dengan kondisi Kepri masih bergantung APBN, teriakan UU Daerah Kepulauan ibarat "Berharap Burung Terbang, Punai Di Tangan Dilepaskan". Sebab PAD Kepri rendah bukan karena ketiadaan potensi, tapi belum sepenuhnya tergarap. Ironisnya, meskipun Kepri membanggakan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Sumatera, tapi tren PAD justru terjadi stagnasi.
Unjuk Kepiawaian Politik
Selain membuktikan ke pusat, sebelum berkoar pengesahan UU Daerah Kepulauan, dengan menggarap pajak kendaraan di atas air, Kepri juga harus membuktikan solid secara politik di Senayan. Sebab, berdasarkan data, komposisi delapan daerah kepulauan kurang 10 persen kursi DPR.
Di atas kertas, mereka minoritas. Karenanya, lobi politik menjadi kunci mendorong itu. FGD dan tetek bengek lainnya tak berpengaruh. Ketuk palu pengesahan lewat kompromi di lobi politik, khususnya lewat Komisi II DPR. Nah, Kepri punya modal ke situ.
Pertama, empat Jubir Kepri di DPR berasal dari parpol pemenang di hampir delapan provinsi pengusul UU. Konfigurasinya sama persis di Kepri, yakni PDIP dan Golkar serta Gerindra dan Nasdem. Kedua, Ketua Komisi II Karsayuda kader Nasdem.
Dia juga getol mendorong regulasi pemekaran daerah, meskipun kritis terhadap kebijakan Pemda mengelola ASN di daerah masih-masing. Terbukti, Komisi II getol merevisi UU ASN terbaru, termasuk memberikan kewenangan ke Presiden menata ASN dengan meniadakan status pejabat daerah, atau pegawai daerah.
Hanya persoalannya, kecuali Sturman PDI, tiada satupun Jubir Kepri di DPR bercokol di Komisi II. Mereka justru tersebar di komisi lainnya. Yakni, Endipat di Komisi I dan Rizki di Komisi III dan Randi di Komisi VI. Komisi terakhir mengurus BP Batam. Padahal di periode sebelumnya, Jubir Kepri di banyak bercokol di komisi perekonomian dan infrastruktur.
Kabar baiknya, komisi bukan kendala melobi DPR mengegolkan UU Daerah Kepulauan. Syaratnya, karena politik identik take and give, Kepri dan tujuh provinsi daerah kepulauan harus berkompromi dengan Jubir Daerah Darat dengan membawa usulan, bukan sebatas sodorkan eklusifitas daerah kepulauan, sebagai kompensasi.
Buktikan Lewat Dana Abadi
Nah, Kepri memiliki modal ke situ. Pertama, Jubir Kepri di DPR dan DPD turun keliling Kepri mengedukasi pentingnya UU Daerah Kepulauan, bukan sebatas FGD di lokasi tertentu saja. Kedua, mereka berdelapan berkongsi dengan seluruh KDH di tujuh kabupaten/kota, dan Pemprov Kepri, bertekad mengegolkan UU tadi.
Ketiga, lewat DPRD masing-masing, membuat terobosan Perda “bakal” turunan dari UU Daerah Kepulauan. Terakhir, Empat, sebagi bukti komitmen dan kesungguhan delapan Jubir Kepri di Senayang, mereka menyisihkan sebagian penghasilan mereka di DPR dan DPD sebagai “dana abadi” kampanye mendorong UU Daerah Kepulauan.
Dengan kata lain, pekerjaan rumah pertama Gubernur Ansar, ialah meyakinkan KDH di Kepri lain dan Jubir di Senayan sefrekuensi soal UU Daerah Kepulauan, biar tak dinilai manuver perorangan. Sekarang merupalan momen terbaik, sebab DPR dan rezim Prabowo-Gibran tengah melihat Kepri, lewat Natuna, dengan pendekatan berbeda.
(*)