Kasak-kusuk Resafel Pemprov Kepri, Siapa Pejabat Eselon Kena Pensiun Dini?

angkaberita - Kendati Gubernur Ansar berjanji tak mengusik TPP ASN, tapi perasaan deg-degan menghantui sejumlah kalangan pejabat eselon dua di Pemprov. Apalagi waktu pelantikan KDH terpilih hasil Pilgub tinggal menghitung hari. Siapa pejabat eselon kena pensiun dini?

Kecuali beralih jabatan fungsional widyaiswara, seperti Sekdaprov Adi Prihantara, pejabat eselon dua masuk usia pensiun tahun 2025 kena non job artinya langsung pensiun. Sebab, pejabat kena non job langsung berstatuf staf. Kepada mereka berlaku ketentuan usia pensiun 58 tahun.

Sedangkan batas usia pensiun pejabat struktural ialah 60 tahun. Tak heran, kasak-kusuk mulai merebak di lingkungan Pemprov Kepri. Apalagi hingga akhir tahun nanti disebut-sebut belasan pejabat eselon masuk usia pensiun, meskipun baru enam nama Kepala BKD Kepri resmi konfirmasi.

Puncaknya, Mendagri mengizinkan KDH terpilih langsung meresafel pejabat mereka tanpa menunggu waktu enam bulan sehabis pelantikan. KPU memastikan pelantikan KDH hasil Pilgub tak berujung ke MK, termasuk di Kepri, pada 6 Februari.

Dengan begitu, Presiden Prabowo akan melantik duet Ansar-Nyanyang pekan depan. Berkaca periode pertama Gubernur Ansar menjabat, dia langsung mengeksekusi privilege dengan merombak pejabat eselon warisan KDH sebelumnya.

Bahkan, sebagian berakhir demosi, dari Kadis menjadi Kabid. Kekhawatiran serupa merebak kembali belakangan. Apalagi, untuk sebagian, lelang jabatan besar kemungkinan ditiadakan merujuk pengisian pejabat eselon di kementerian beberapa waktu terakhir.

Sehingga resafel menjadi skenario masuk akal suksesi pejabat eselon masuk usia pensiun. Kalaupun skenario tadi terjadi, sejumlah kalangan paham dinamika di Pemprov, mendorong KDH tetap berpatokan ke kriteria “PDLT”, alias prestasi dan dedikasi serta loyalitas dan tidak tercela.

Tahun Berat

Sebab, klaim mereka, skenario itu menjadi jalan tengah meniadakan potensi perkubuan sekaligus menetralisasi ekses Pilgub kemarin. Apalagi tantangan Pemprov lima tahun ke depan bukan mudah. Bukan saja keputusan Presiden Prabowo mengobrak-abrik APBD, termasuk Kepri.

Tapi, juga tahun 2025 tahun jatuh tempo bagi Pemprov. Seperti kewajiban tunda bayar, dan penyertaan modal ke BUMD participation interest ke Blok Natuna. Kemudian menggaji, termasuk TPP ke pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja barusan rekrutan. Kewajiban belanja tadi bersamaan berlakunya ketentuan UU HKPD dan Perda Kepri No. 1/2024.

Dengan opsen pajak kendaraan, duit pembayar pajak “tak menginap” ke Pemprov tapi langsung mengalir ke kas Pemko/Pemkab secara simultan. Insentif fiskal Pemprov lewat Pajak Daerah hanya pajak alat berat dan opsen MBLB, sedangkan sejumlah retribusi menjadi hak kabupaten/kota mulai tahun 2025, seperti retribusi tenaga kerja asing.

Dengan APBN akhir tahun 2024 defisit Rp 500 triliun, dan situasi ekonomi dunia di ambang krisis, potensi dana transfer APBN ke daerah kembali meleset seperti tahun lalu bukan mustahil. Terbukti, Pemprov di awal tahun langsung bersikap galak ke ASN, khususnya ASN mangkir. Sebab, berdasarkan data portal APBD, hanya belanja pegawai di Pemprov realisasi mendekati target. Belanja modal memble.

Artinya, belanja pegawai termasuk TPP ASN menguras APBD Kepri. Tak heran, lewat tangan BKAD, Gubernur Ansar mengerem belanja, termasuk mengambil alih penggajian anggota DPRD Kepri. Kabar buruknya, besar kemungkinan revisi APBD dipercepat. Kabar-kabarnya di bulan April, sehabis Lebaran.

Penyakit Birokrasi

Keputusan Prabowo mengobrak-abrik APBD sejatinya cara dia menguji KDH lewat birokrasi ASN. Sebab, bagi daerah sepenuhnya mengandalkan APBN-APBD, ASN sejatinya instrumen pembangunan. Namun, jika salah kelola, mereka justru beban pembangunan.

Karenanya, menurut kalangan pejabat pernah berdinas di provinsi dan kabupaten/kota, kuncinya bukan hanya meritokrasi, tapi juga KDH harus jeli menemukan pejabat “mau dan mampu berkoordinasi” ke kabupaten/kota. Jika mau, tapi tak mampu berkoordinasi sama saja.

Khusus di Kepri, perang dingin Ansar-Marlin kemarin membukakan mata publik titik simpul persoalan itu. Jika telah menemukan pejabat itu, tantangan kedua KDH ialah mengantisipasi penyakit birokrasi selanjutnya. Yakni, “perbedaan anggaran dan beda sumber anggaran”.  Yang pertama merujuk DPA Pemprov, yang terakhir merujuk APBD dan APBN.

Sebab, beda anggaran dan beda sumber anggaran, akan menjdi pengukur etos birokrasi mereka. Apalagi dengan pemangkasan anggaran perjalanan dinas hingga 50 persen. Karena, seperti kelakar di kalangan ASN, apapun persoalan di birokrasi, boleh jadi termsuk di Kepri, cara menjawabnya cukup tiga jurus. Yakni, ke pusat berkonsultasi, ke provinsi berkoordinasi dan ke kabupaten/kota turun sosialisasi, alias SPPD.

(*)

Bagikan