Pelindo Di Kepri, Kisah ‘Invisible Hand’ Ekonomi Di Tapal Batas Negeri
Diam-diam, meskipun harus berliku, terekam jejak kerja senyap Pelindo ikut mendongkrak ekonomi tapal batas Kepri. Keluarga laut menjadi saksi bisu terus mengepulnya dapur mereka lewat kerja-kerja “tangan tak terlihat” Pelindo selepas merger dua tahun terakhir
Bambang Erawan mengaku persoalan BBM terus menghantui warga di tapal batas Kepri. Kabar baiknya, meski belum seharga seperti di Kelarik, tapi kini warga di Pulau Subi dapat menikmati BBM bersubsidi seharga Rp 12.000 per liter.
Sebelumnya, dia mengaku warga harus membayar Rp 15.000 per liter. “Persoalan di sini cukup kongkret, mulai transportasi, infrastruktur, sinyal, dan sekarang nambah lagi soal BBM mahal,” beber Bambang, Camat Pulau Laut di Natuna, Sabtu (26/9/2023), kepada media lokal di sana.
Natuna, satu dari tujuh kabupaten di Kepri, bukan hanya kabupaten tapal batas NKRI dengan Malaysia dan Vietnam. Tapi, selama bertahun-tahun, merupakan daerah penghasil migas di Tanah Air. Lewat Blok Natuna, mereka mengalirkan energi ke sekujur negeri.
Keluhan serupa sebelumnya juga terdengar di Serasan dan Subi, keduanya tetangga Pulau Laut, tapi belakangan berangsur menurun harganya di pasaran. Berdasarkan data BPS, per September 2022, Kepri terhitung provinsi tertinggi pengeluaran BBM per kapita di Tanah Air.
Orang di Kepri, tulis BPS, pengeluaran rata-rata per bulan mendapatkan BBM sebesar Rp 100.461, jauh di atas pengeluaran serupa warga di DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Keduanya, berdasarkan PDRB, terhitung provinsi kaya di Tanah Air. Selain akses transportasi, disparitas harga tadi juga akibat kondisi geografis.
Depo Pertamina di Selat Lampa perlu hitungan jam ke Pulau Laut dan Serasan saat pendistribusian BBM. Ongkos angkut tadi memicu disparitas harga. Kian jauh dari depo, makin tinggi harga beli BBM bersubsidi ke warga. Di Sumatera, hanya Bangka Belitung mengekor di belakang Kepri.
Lumbung Ikan-Migas
Secara geografis, Bangka Belitung seperti Kepri, wilayah perairan mendominasi daerah. Kepri merupakan provinsi dengan perairan terluas di Tanah Air, hampir 96 persen daerahnya merupakan wilayah perairan. Bersama cabai, harga BBM terus menghantui perekonomian di Kepri lewat inflasi.
Meskipun tak setinggi Sumatera daratan, keduanya terus memicu perubahan indeks harga konsumen (IHK) di Kepri. Presiden Jokowi telah mewanti-wanti kepala daerah (KDH) mencermati inflasi di wilayah masing-masing, termasuk di Natuna. Sebab, kesenjangan harga berujung dapur keluarga tak mengepul.
Kalaupun mengepul, seperti pengakuan Hafis nelayan di Natuna, seperti “gali lubang tutup lubang”, sebab nelayan merupakan pencarian utama warga di sana. Seperti dirinya, dia mengaku banyak warga terpaksa mengutang ke agen minyak lantaran tak memiliki uang cukup.
Saat hasil tangkapan ikan tak memadai, jangankan kebutuhan minyak. Kebutuhan sehari-hari terpaksa mengutang ke kedai. “Tapi, kalau tidak pergi (melaut) tidak mungkin. Ya itulah (akhirnya) utang terus,” kata Hafis kepada media nasional, pada satu kesempatan. Dia juga harus melaut maksimal sejauh 20 mil.
Kondisi mereka menjadi ironi lantaran Natuna lumbung ikan di Tanah Air. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lewat skema perikanan tangkap terukur menjadikan perairan di sana wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Di Tanah Air, terdapat empat WPP. Khusus Natuna potensi duit ke kas negara sebesar Rp 13,1 triliun, dengan kuota 473 ribu ton per tahun. Investor juga harus membayar PNBP di depan sebelum mendapatkan kuota.
Kabar buruknya, ikhtiar menangkap peluang tadi tak semudah membalikkan telapak tangan. Wabup Natuna Rodhial Huda mengakuinya. Sebut saja, meski menelan duit ratusan miliar, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di sana belum beroperasi maksimal. Bahkan, dia mengaku ke media nasional, Senin (4/9/2023), kondisnya nyaris mubazir.
Selain kaya ikan, Natuna juga lumbung migas. Lewat Blok Natuna, berdasarkan data SKK Migas (2021), produksi minyak di sana setara 13.715 barel per hari (BOPD), sehingga termasuk delapan besar penyumbang lifting migas di Tanah Air. Namun, data BPS, gini rasio di Natuna justru bukan terendah di Kepri.
Tahun 2022, gini rasio di Natuna di angka 0,291, sedangkan Karimun dan Binta, masing-masing, di angka 0,288. Artinya, masih terjadi kesenjangan pendapatan di sana. Nah, nelayan paling merasakan kesenjangan pendapatan tadi. Ujungnya, saat terjadi lonjakan BBM, kemudian terjadi inflasi, pendapatan harian mereka kian tergerus. Ujungnya, terjadi ritual menutup utang dengan berutang.
Jejak Sinergi
Tak ingin menjadi “tikus mati di lumbung”, pemerintah telah melakukan sejumlah ikhtiar, termasuk melalui Pelindo. Bahkan, jauh sebelum mereka sepakat menyatu (merger) di tahun 2021. Tingginya biaya transportasi dan ongkos logistik menjadi musuh bersama. Khusus BBM, Pelindo menggandeng Pertamina.
Pelindo juga menggandeng kontraktor migas di Natuna demi pengurangan rantai distribusi pengiriman. Sinergi pentahelix tadi semata demi memastian kebijakan BBM satu harga di Tanah Air sejak 2017, seperti perintah Perpres No. 69/2021, juga terus meluas ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Kepada kontraktor migas, Pelindo lewat lengan Subholding Pelindo Jasa Maritim (SPJM) di Batam menyediakan jasa pandu kapal, kemudian pelayanan kapal dalam kondisi khusus/insiden/gawat darurat. Pelindo juga memastikan kecukupan jumlah dan kecakapan SDM Pandu.
Sinergi tadi, menurut Putut Sri Muljanto Direktur PT Pelindo, ikhtiar jalan tengah kondisi di Natuna. Istilah dia, ikhtiar naik kelas. “Ini baru dasar. Ke depan, kerjasama kita bisa naik kelas,” ucap dia. Dua tahun sebelumnya, Pertamina dan Pelindo I-IV sepakat bergandeng tangan.
Pelindo mengizinkan Pertamina memakai seluruh aset pelabuhan kelolaan Pelindo, termasuk di Kepri, bagi kepentingan distribusi BBM. Di Kepri, Pelindo lewat SPJM di Pulau Nipah menjadi jangkar kepentingan Pertamina mewujudkan tugas negara “Satu Harga BBM”, termasuk di Natuna.
Lewat fasilitas bunkering dan jasa Ship To Ship (STS), Pelindo memudahkan proses pendistribusian BBM dari hulu ke hilir, termasuk bongkar muat kapal tanker dari dan tujuan ke luar negeri. Skenarionya, khusus kebutuhan dalam negeri, minyak mentah dari Natuna ke Dumai, lewat Kilang Sei Pakning. Selanjutnya lewat Nipah, olah BBM mengisi depo Pertamina Pulau Sambu di Batam dan Tanjung Uban di Bintan.
Dari Tanjung Uban selanjutnya ke sejumlah daerah, termasuk Natuna di tapal batas utara Kepri. Pelindo memastikan pergerakan distribusi BBM tadi lewat jasa maritim mereka. Hasilnya, perlahan tapi pasti, BBM Satu Harga di Natuna terus bertambah. “Batam saat ini berkembang pesat, terutama Pulau Nipa(h),” ungkap Capt. Al Abrar, GM Pelindo Cabang Batam, pada satu kesempatan.
Hasilnya, lewat BPH Migas, mereka meresmikan SPBU Satu Harga di Kelarik, Natuna, Kamis (24/8/2023). Dengan penambahan tadi, kini terdapat empat SPBU Satu Harga di Natuna, dan tinggal menyisakan sejumlah kecamatan, seperti Pulau Laut. Harapannya terjadi efek ekonomi ke warga, dengan harga BBM bersubsidi seperti di Jawa, yakni Pertalite Rp 10.000 per liter dan solar Rp 6.800 per liter.
Kalangan nelayan di Natuna menyambut baik kabar itu. Bagi mereka, persoalan BBM tak semata harga tapi juga ketersediaan. “Bagi kami pasokan solar (subsidi) lebih penting, kalau tak mampu membeli banyak, kami beli sedikit. Yang penting solar tidak langka lagi,” kata Rudi, nelayan di Bunguran, Natuna, seperti dilansir Antara, Selasa (6/9/2023).
Sumbang Ekonomi
Ikhtiar sinergi Pelindo membantu hadirnya BBM Satu Harga di tapal batas berujung manis. Setahun setelah merger, kiner Pelindo mencatatkan laba Rp 3,2 triliun. Pelindo merger setelah Presiden Jokowi merestui lewat Peraturan Pemerintah No. 101/2021.
Dengan merger, kini Pelindo menjadi operator peti kemas terbesar ke-8 dunia, dengan total bongkar muat (throughput) sebesar 16,7 juta TEUs (twenty-foot equivalent units). Merger juga menyatukan sumber daya keuangan, peningkatan leverage dan memperkuat permodalan perusahaan.
Empat subholding Pelindo ialah pengelolaan peti kemas berpusat di Surabaya, non peti kemas di Medan, logistik dan hinterland di Jakarta, dan jasa kepelabuhan di Makasar. Nah, Batam menjadi lengan Makasar di tapal batas Kepri. Sejak tahun 2018, pajak kendaraan bermotor dan pajak BBM menjadi andalan APBD Kepri.
Lewat pajak BBM, kabupaten/kota di Kepri, termasuk Natuna kecipratan jatah lebih besar dana bagi hasil. Data BP2RD Kepri, dua tahun terakhir jatah bagi hasil pajak BBM Natuna tak terus naik. Tahun 2022, Natuna mendapatkan Rp 25,259 miliar. Tahun 2023, penyaluran BBM tahun 2022, hingga triwulan II tahun 2023, Natuna berhak Rp 54,937 miliar.
“Penyaluran BBM triwulan III-IV, data realisasi penyaluran bagi hasilnya menyusul. Karena dihitung volume penyaluran BBM di akhir periode triwulanan,” kata Diky Wijaya, Kepala BP2RD Kepri melalui Andi Mardianus, Kabid Pendapatan, Selasa (19/9/2023). Praktis, selama dua tahun terakhir, Natuna mengantongi hampir Rp 100 miliar.
Jumlah tadi belum termasuk bagi hasil pajak kendaraan bermotor dan BBnKB. Hingga Agustus 2023, Andi menambahkan, realisasi BBM di Kepri mencapai 574 ribu kilo liter, dengan jatah pajak BBM sebesar Rp 318, 355 miliar. Natuna dan Batam menjadi daerah penerima bagi hasil pajak BBM terbanyak.
Tahun 2023, APBD Natuna sebesar Rp 1,05 triliun, dengan PAD termasuk pajak BBM sebesar Rp 58,149 miliar. Selebihnya dana transfer APBN sebesar Rp 994,574 triliun. Berkaca data BP2RD Kepri tahun 2022-2023 sebagai asumsi APBD, realisasi penyaluran bagi hasil pajak BBM mencapai Rp 31,402 miliar. Terbaru, Pemprov Kepri juga berharap duit APBD lewat andil kesertaan (participation interest) SKK Migas ke Blok Natuna.
Pemprov, kata Gubernur Ansar, berpotensi mendapatkan duit Rp 1 triliun, dengan kabupaten/kota juga nantinya mendapatkan jatah mereka masing-masing. Kini Pemprov mengebut Ranperda BUMD Migas syarat PI tadi. Praktis, sektor migas masih menjadi andalan pertumbuhan ekonomi, bukan hanya Natuna juga Kepri. Dan, Pelindo lewat “tangan tak terlihat” nya ikut berkontribusi bagi ekonomi Natuna, kabupaten tapal batas, lewat terus bertambahnya jatah pajak BBM. (agoes soemarwah)