Target Stunting Meleset, Obesitas Hantui Anak-anak Kepri?
angkaberita.id - Kendati kasus stunting di Kepri jauh di bawah angka nasional, tapi terhitung jauh dari harapan BKKBN Kepri. Hitungan mereka, kasus stunting di Kepri dapat ditekan hingga 10 persen. Tapi, meskipun dua tahun terakhir terus menurun, kini baru tercapai di angka 15 persen.
Kondisi tadi disebut-sebut mendorong Pemprov Kepri merevisi target RPJMD mereka. RPJMD sendiri menjadi indikator "prestasi" KDH menjabat. Kenapa? Sebab, stunting tak tertangani memicu obesitas. Ujungnya, anak dengan obesitas rentan terserang penyakit, termasuk jantung.
Stunting Picu Obesitas
Data hasil SSGI tahun 2022, prevalensi kasus obesitas di Kepri tertinggi ke-2 di Sumatera, setelah Bangka Belitung. Secara nasional, Bangka Belitung tertinggi. Bahkan, jauh di atas Papua dan DKI Jakarta. Kepri berada di urutan ke-8 berisiko. Tapi, Pemprov membantah revisi lantaran stunting meleset.
Revisi lantaran perubahan OPD dan kebijakan nasional. "Renstra SOTK baru perlu Pergub, dasarnya Perda," kilah Misni, Kepala Bapperenlitbang Kepri, baru-baru ini. Tapi, dia tak menampik masih ada pekerjaan rumah mengejar target 2024, akhir periode Gubernur Ansar.
DPRD Kepri mengesahkan Perda RPJMD Ansar-Marlin tahun 2021-2026 setelah menang Pilgub 2020. Tapi, sejak Mei lalu, Pemprov menggeber revisi RPJMD. Persoalannya, saat stunting mendapat perhatian, angka prevalensi obesitas anak-anak di Kepri juga beringsut naik.
Data terakhir, Kepri di level 4,5 persen. Sedangkan nasional di angka 3,5 persen. Tahun 2019, Kepri juga terhitung tinggi kasus obesitas. Sejak 2017 prevalensi obesitas Kepri tinggi di Tanah Air. Kata Tjetjep Yudiana, Kadinkes Kepri saat itu, satu di antara pemicunya pola makan tak sehat.
Seperti obesitas, stunting sebagian juga akibat pola asupan makan keliru. Ibaratnya, anak makan memang makan. Tapi, makanannya berceceran di lantai. Sehingga tak terasup sepenuhnya ke anak. Meski demikian, obesitas juga terkait faktor genetik.
Kenapa balita stunting tak tertangani berisiko obesitas? Logikanya sederhana, stunting bukan karena tiadanya suplai pangan, dan penyakit infeksi seperti diare, tapi juga pengasuhan keliru terutama pola makan. Demi mengenyangkan buah hati, kadang orangtua membebaskan semua makanan masuk, termasuk makanan tinggi gula dan lemak.
Nah, menekan risiko tadi, untuk sebagian, orang tua dengan anak usia balita tak membiasakan menggendong buah hatinya. Kemudian orangtua dengan anak bayi, biasakan tummy time, sebagai pengganti aktivitas bergerak si bayi.
Kalau remaja, orangtua sebaiknya membatasi aktivitas gadget. Bisa juga membiasakan makan bersama dan mengajak anak-anaknya tidak malas bergerak, alias mager. Praktis, sejak 2017 obesitas menghantui warga Kepri.
Selain meningkatkan risiko kesehatan dan kematian, kasus obesitas khususnya di penduduk usia produktif, berdampak buruk bagi perekonomian.
Laporan Katadata mengutip riset Wulansari dkk. (2016) dalam artikel “Estimasi Kerugian Ekonomi akibat Obesitas pada Orang Dewasa di Indonesia” di Jurnal Gizi Pangan, obesitas menyebabkan kerugian ekonomi.
Seperti biaya perawatan kesehatan, nilai ekonomi produktivitas hilang akibat kematian dan tidak masuk kerja. Biaya perawatan mencakup persentase kejadian komorbiditas pada populasi obesitas, jumlah penduduk mengalami obesitas, dan rata-rata biaya perawatan di rumah sakit.
Nilai ekonomi produktivitas akibat kematian dan tidak masuk kerja seperti jumlah kematian dan jumlah hari tidak masuk kerja, tingkat partisipasi kerja, dan upah diterima masing-masing pekerja. Hasilnya, tulis riset tadi, biaya perawatan kesehatan penduduk dewasa, alias usia produktif, Rp 56,5 triliun per tahun pada 2016.
Kemudian, nilai ekonomi produktivitas hilang akibat kematian sebesar Rp 1,6 triliun per tahun dan akibat tidak masuk kerja sebesar Rp 20,4 triliun per tahun. Artinya, kerugian ekonomi di Tanah Air hingga Rp78,5 triliun per tahun dari kasus obesitas, atau setara 0,4 persen PDB tahun 2022.
(*)