COVID-19: Gara-gara Pandemi, Orang Singapura Takut Kawin!
angkaberita.id - Pandemi agaknya membungkam klaim Singapura negeri sukses melawan COVID-19. Selain kasus terus meledak beberapa hari terakhir, juga terungkap banyak warga Singapura ketakutan kawin. Seperti Jepang, Singapura di ambang "resesi seksual" akibat terus menurunnya angka perkawinan.
Seperti dilansir CNBC Indonesia, jumlah pernikahan di Negeri Singa turun drastis ke level terendah dalam 34 tahun terakhir, dengan jumlah kelahiran juga terus menukik ke level terendah selama tujuh tahun terakhir. Jika terus berlanjut, secara demografis, Singapura menuju negeri piramida terbalik.
Kondisi "resesi seksual", resesi sendiri istilah ekonomi pertumbuhan negatif dua kuartal berturut dalam setahun, itu disebut-sebut gegara pandemi COVID-19. Sehingga mereka takut menikah, bahkan menjadi orangtua. Laporan Channel News Asia (CNA), terdapat 19.430 pernikahan tahun lalu. Kini menjadi 22.165, turun 12,3 persen.
Jumlah itu terendah sejak 1986 ketika terdapat 19.348 pernikahan. "Pembatasan pertemuan besar pada tahun lalu bisa menyebabkan pasangan menunda pernikahan mereka," rilis Divisi Kependudukan dan Bakat Nasional Singapura, Rabu (29/9/2021). Dua tahun lalu, median usia pernikahan di Singapura, yakni 30 tahun pria dan 28 tahun perempuan.
Sebanyak 30 persen pernikahan melibatkan pasangan lintas bangsa (transnasional), atau turun 37 persen dibanding 2019. Pembatasan kegiatan umum (circuit breaker) selama pandemi, untuk sebagian, disebut mengakibatkan mereka enggan menikah. Bukan hanya menikah, pasangan telah menikah juga ketakutan memiliki anak.
Hanya terdapat 31.816 kelahiran di Negeri Singapura selama 2020, lebih rendah 3,1 persen dibanding 2019, sebanyak 32.844 kelahiran. Jumlah itu terendah sejak 2013. Kurun lima tahun terakhir, 2016-2020, rata-rata ada 32.500 kelahiran, sedikit meningkat dibanding kurun lima tahun sebelumnya, peiode 2011-2015.
Usia rata-rata ibu melahirkan pertama sebesar 30,8 tahun 2020, tidak bergeser jauh dari catatan 2019, yakni 30,6 tahun. Badna Kependudukan Singapura mengatakan, pihaknya telah mensurvei 4.000 orang pada Juni 2020, sejumlah responden mengaku mereka menunda pernikahan dan menjadi orang tua.
"Karena kekhawatiran kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat yang tidak pasti," tulis Otoritas Kependudukan Singapura sembari menelaah dampak COVID-19. "Kami terus menghadapi tantangan struktural jangka panjang dengan tingkat kelahiran kami yang rendah, serupa dengan masyarakat maju lainnya," tulis laporan mereka.
Padahal Singapura memberi insentif warga memiliki anak dan menjadi orang tua di tengah pandemi tak kecil, yakni 3.000 dolar Singapura, jika kurs rerata Rp 10 ribu, setara Rp 30 juta per anak. Kondisi sebaliknya, disebut-sebut, justru terjadi di Kepri. Selama pandemi, jumlah kelahiran du Kepri bertambah, sehingga jumlah penduduk terus bertambah.
(*)
UPDATE: Penambahan Infografis