COVID-19: Kenapa Sekolah Tatap Muka Jakarta Justru Banyak Jenjang SD?

pemprov dki jakarta memutuskan per 30 agustus 2021, sebanyak 610 sekolah boleh sekolah tatap muka. dari jumlah sebanyak itu, lebih setengahnya jenjang pendidikan dasar gabungan paud dan sd, sekolah negeri dan swasta tersebar di jakarta daratan dan kabupaten kepulauan seribu. gubernur anies baswedan (di atas) hanya mengizinkan, secara terbatas, sekolah tatap muka di sekolah dengan guru dan peserta didik sudah tervaksiansi covid-19/foto via bizlaw.id

COVID-19: Kenapa Sekolah Tatap Muka Jakarta Justru Banyak Jenjang SD?

angkaberita.id - Meskipun mengurus kebijakan sekolah di masa pandemi tak semudah memuluskan proyek Jembatan Batam-Bintan, Gubernur Ansar tetap harus mulai mempertimbangkan sejumlah alternatif persekolahan non daring (PTM) di Kepri.

Selain ancaman learning loss, sekolah daring (PJJ) juga tak efektif. Bahkan, cenderung membebani peserta didik lantaran kesejangan kondisi sosial ekonomi serta ketimpangan akses infrastruktur, khususnya internet, termasuk di Bumi Segantang Lada. Belum lagi, kesetaraan pendidikan berlaku umum, tidak terpaku jenjang menengah ke atas.

Apalagi, untuk sebagian, kunci pendidikan justru di pendidikan dasar. Persoalannya, jika skenarionya peserta didik harus sudah tervaksinasi, jenjang PAUD dan SD belum tersedia vaksinasi ke mereka. Pada titik itu, Pemprov Kepri harus mulai menghitung plus minus skenario "menganakbawangkan" pendidikan dasar (baca: PAUD-SD), termasuk risiko tumpang tindih tanggung jawab urusan wajib dalam tafsir otonomi daerah.

Terbaru, kendati berstatus episentrum COVID-19 di Tanah Air, Jawa Tengah dan DKI Jakarta mengizinkan sekolah tatap muka terbatas. Dengan sejumlah penyesuaian di sana-sini, termasuk capaian vaksinasi, keduanya bersiap dengan risiko sekolah tatap muka setelah melalui sejumlah pertimbangan dan penilaian terukur (assesment) secara ketat.

Di DKI Jakarta, bahkan dari 610 sekolah tatap muka tahap I, lebih dari setengahnya jenjang pendidikan dasar. SD sederajat mendominasi, termasuk SD swasta, tersebar di lima wilayah, yakni Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu.

Di Kepri, sekolah terkonsentrasi di Batam sebarannya. Begitu juga dengan jumlah tenaga pendidik dan peserta didik. Bersama Tanjungpinang, Batam merupakan episentrum COVID-19 di Bumi Segantang Lada. Sehingga, untuk sebagian, pertimbangan membuka sekolah tatap muka tak semudah dibanding, katakanlah, Natuna. Nama terakhir telah PTM sejak pertengahan Agustus 2021, meskipun belakang Pemkab menghentikan setelah terbit perintah dari Pemprov Kepri.

Bukan Sekadar Calistung

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memang menyarankan sebaiknya, kalau akhirnya PTM, daerah hanya memberlakukan di jenjang pendidikan menengah ke atas. Khususnya sekolah dengan peserta didik dan tenaga pendidik telah tervaksinasi. Tak keliru logika itu, jika memahami pendidikan dasar sebatas urusan baca tulis dan hitung (Calistung).

Juga masuk akal, jika tafsirnya, demi mencegah risiko kesehatan tak diinginkan. Hanya, sampai kapan kondisi seperti itu. Apalagi, jika pemerintah pada akhirnya menyatakan COVID-19 sebagai endemi, dengan konsekuensi COVID-19 bakal seterusnya ada. Seperti Singapura, pemerintah telah mempersiapkan peta jalan kondisi itu.

Pada titik itu, termasuk di Pemprov Kepri perlu ada terobosan, setidaknya jalan tengah. Bahkan, kalaupun Kepri akhirnya PPKM Level 2, syukur-syukur PPKM Level 1 tetap diperlukan terobosan pendidikan, karena kondisi sekolah tatap muka saat itu, untuk sebagian, tentu tak seperti kondisi sebelum pandemi COVID-19. Itu artinya perlu skenario jalan tengah juga.

Sebab, seperti juga karakteristik virus COVID-19, pendidikan bersifat dinamis. Sekarang saja tafsir definisi pendidikan beragam dan terpengaruhi lingkungan sosio kultural masing-masing negara, lebih spesifik kondisi psiko emosional masyarakat setempat. Di belahan barat, ada Jean Piaget pemikir pendidikan asal Swis.

Dia, seusai latar belakang dirinya seorang psikolog, meyakini proses pendidikan harus bertahap sesuai perkembangan psikologis peserta didik. Karena itu, sistem pendidikan mengenal instrumen kognisi, afeksi dan psikomotorik. Kognisi pendidikan berbanding lurus dengan pendekatan mengajar (teaching) atau transfer pengetahuan, sedangkan dua lainnya relevan bagi pendidikan dalam artian mendidik (paedagogic).

Itulah mengapa pendidikan di barat disebut education, kombinasi antara mengajar dan merawat (educare). Tahap itu, di tangan Maria Montessori, sukses melahirkan pendekatan pendidikan karakter kemandirian lewat konsep kurikulum "Help Me To Help Myself". Pemikir Islam, Al Ghazali meyakini betul kurikulum bagi pendidikan.

Karena bagi Al Ghazali, semesta pengetahuan seyogyanya diberikan sesuai kebutuhan, sesuai dengan tujuan awal pendidikan. Ki Hajar Dewantoro, dengan Sekolah Taman Siswa, menerjemahkan krusialnya kurikulum dalam tiga laku dasar kepemimpinan dalam pendidikan: Ing Ngarso, Ing Madyo dan Tut Wuri!

UU Sisdiknas di Tanah Air merangkumnya, yakni pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendeknya, pendidikan bukan hanya pengetahuan (Calistung), tapi juga pembentukkan karakter. Bukan semata melahirkan insan al kamil atau pribadi berilmu namun juga pribadi beradab. Kini, di tengah pandemi, kondisi pendidikan terancam learning loss. Yakni, hilangnya kompetensi akademis, namun juga rendahnya skill bagi persaingan dunia kerja masa depan.

Ancaman learning loss, dan akhirnya earning loss agaknya menjadi dasar Gubernur Anies Baswedan dan Gubernur Ganjar Pranowo mengizinkan sekolah tatap muka terbatas di DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Anies lebih percaya diri karena capaian vaksinasi lebih 100 persen target, sedangkan Ganjar memutuskan go ahead setelah lebih 50 persen kabupaten/kota berstatus PPKM Level 3.

Pertimbangan lainnya, boleh jadi, mengantisipasi ekses jika daerah keukeuh bersikap beda dengan kebijakan SKB 4 Menteri. Seperti, bahasa sederhananya, sekolah patuh ke Gubernur atau ke Bupati/Walikota jika terjadi beda tafsir "lampu hijau" sekolah tatap muka.

Apalagi, kata Mendikbud, bukan vaksinasi prasyarat sekolah tatap muka, tapi PPKM Level 3. Selebihnya, khususnya Pemprov Kepri, perlu mencarikan jalan keluar nasib dan kelanjutan sekolah swasta. Sebab model dan sumber pengelolaan sekolahnya beda dengan sekolah negeri.

Skenario Kepri

Kepri memang bukan DKI Jakarta. Gubernur Ansar Ahmad dan kepala daerah lainnya di Bumi Segantang Lada, seperti tertuang dalam SKB 4 Menteri, memang berwenang memutuskan buka tidaknya sekolah tatap muka dengan mempertimbangkan indikasi sosio epidemiologis masing-masing daerah.

Ansar, dalam banyak kesempatan, mengizinkan sekolah tatap muka jika daerah telah PPKM Level 2. Belum lagi capaian vaksinasi usia 11-17 tahun belum menembus 70 persen dosis pertama. Positivity Rate juga masih belum memenuhi lampu hijau WHO, yakni 5 persen. Penundaan sekolah tatap muka merupakan, di mata Ansar, opsi paling masuk akal demi mengantisipasi kondisi tak diinginkan. Pada titik itu, argumentasi Ansar masuk akal.

Persoalannya, Pemprov Kepri hanya menonjolkan capaian vaksinasi seiring keyakinan strategi herd immunity. Keduanya bersandar pada vaksinasi dan jumlah pasien sembuh. Tak pernah terdengar strategi menurunkan positivity rate. Indikatornya ialah rasio testing dan tracing kasus. Data Kemenkes RI, Kepri termasuk terbatas. Padahal itu, kalau dijadikan dasar pertimbangan pelarangan sekolah tatap muka, penting dijelaskan ke publik.

Boleh jadi, Gubernur Ansar tidak ingin memicu kegaduhan jika dilakukan kebijakan testing massal di Kepri, seperti terjadi di Tanjungpinang, atau ada alasan lainnya. Dua pertanyaan besar sekarang ialah, (1) Berapa lama Kepri segera masuk ke PPKM Level 2? Apa strateginya menuju ke situ?

Selanjutnya (2), Benarkah belum tuntasnya vaksinasi pelajar, atau setidaknya belum menembus 70 persen target, memang alasan pelarangan sekolah tatap muka di Kepri seperti didalihkan Gubernur Ansar? Apakah jika nantinya Kepri dinyatakan PPKM Level 2, sekolah tatap muka dibuka, meskipun vaksinasi pelajar belum tuntas 70 persen seperti dijanjikan Gubernur Ansar?

Sembari menunggu itu, bagi Pemda meyakini bakal PPKM Level 2, sebaiknya mulai mempersiapkan diri, terutama check list sekolah tatap muka dan protokol kesehatan. Syukur-syukur mengadopsi saran Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), yakni membentuk Satgas COVID-19 di sekolah masing-masing!

(*)

Bagikan