COVID-19: Meskipun Engkau Menolak, Bukan Vaksin Justru ‘Kondom Wajah’ Itu Penyelamatmu!
angkaberita.id – Kendati vaksin merupakan senjata penting melawan pandemi COVID-19, namun menurut WHO tak ada jaminan pandemi langsung akan berakhir. WHO menegaskan, berdamai dengan COVID-19 menjadi cara menangkal penyebaran virus corona.
Yakni, dengan belajar hidup bersama dan bagaimana mengendalikan virus sert membuat penyesuaian keseharian demi menurunkan sebaran virus ke tingkat terendah. “Pada saat yang sama, kita tidak bisa, kita tidak dapat kembali ke keadaan semula,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dilansir CNBC Indonesia.
Katanya, sejarah mencatat, wabah dan pandemi telah mengubah ekonomi dan struktur sosial masyarakat. Secara khusus, pandemi COVID-19 telah memberikan dorongan baru perlunya mempercepat upaya mitigasi perubahan iklim global. “Pandemi COVID-19 telah memberi kita gambaran sekilas dunia kita,” sebut mantan Menlu Ethiopia itu.
You will find more infographics at StatistaBerdasarkan data Universitas John Hopkins di Amerika Serikat, hingga kini telah 22,7 juta orang di sekujur dunia terinfeksi virus corona, dan sedikitnya 794.100 orang meninggal dalam kurun tujuh bulan terakhir pandemi. Sekurangnya 30 vaksin potensi telah uji klinis, meski tak ada jaminan langsung efektif menghapus pandemi.
Kendati uji klinis vaksin ke orang tengah berlangsung, namun para ilmuwan belum dapat menemukan jawaban pertanyaan besar di baliknya: Bagaimana serangan COVID-19 mempengaruhi tubuh atau seberapa baik seseorang terlindungi dari infeksi ulang setelah pulih.
Tedros mengatakan, pemimpin dunia dapat menghentikan serangan wabah baru dengan mempraktikkan dasar-dasar kesehatan publik dan pengendalian penyakit. “Menguji, mengisolasi dan merawat pasien serta melacak dan mengkarantina kontak mereka. Lakukan semuanya. Menginformasikan, memberdayakan, dan mendengarkan komunitas. Lakukan semuanya,” kata Tedros.
Setiap orang dan keluarga memiliki tanggung jawab mengetahui tingkat penularan COVID-19 secara lokal, dan memahami apa yang dapat mereka lakukan demi melindungi diri sendiri dan orang lain. Terpenting, seperti disarankan Kepala Unit Penyakit Dan Zoonosis WHO, Maria Van Kerkhove, ialah sangat penting publik dapat mempelajari cara hidup dengan virus itu.
Katanya, itu akan membantu terus menekan penularan, mengidentifikasi kasus dan kelompok (klaster) baru muncul sehingga dapat segera memadamkannya, minimal menghindari kematian sebanyak mungkin. Majalah The Economist di Inggris, dalam laporan terbarunya, juga menggarisbawahi kondisi serupa.
Manusia, tulisnya, kini tak berdaya menghadapi virus corona, namun harus mulai belajar beradaptasi dengan kondisi itu. Pandemi telah mengubah dunia, termasuk persepsi bahwa manusia merupakan pemuncak terakhir dari rantai makanan, atau jejaring kehidupan dalam pelajaran biologi dasar.
Find more statistics at Statista
Apa yang terjadi sekarang, seperti ditulis Majalah Time, sejatinya pengulangan kejadian seabad lalu, saat wabah Spanish Flu mengharu biru sekujur dunia. Tak ada resep jitu saat itu, sehingga korban meninggal juga tak sedikit. Namun masker, seperti juga kondisi saat ini, menjadi satu-satunya cara menghadapi pandemi flu itu.
Bahkan, iklan-iklan kesehatan di masa itu menggemakan pentingnya memakai masker, termasuk kebiasaan protokol kesehatan seperti rajin mencuci tangan dan menjaga jarak. Seperti kondisi sekarang, saat itu arahan agar memakai masker juga mendapatkan perlawanan.
Tak sedikit menolak memakai masker demi menekan penyebaran virus Spanish Flu. Bedanya, belakangan terungkap semisal di Amerika Serikat, resistensi pemakaian masker banyak terjadi di kalangan pria. Usut punya usut, ada sentimen gender di baliknya. Bahkan, bagi sebagain penentang masker, diolok-olok sebagai ‘kondom wajah’ di Amerika Serikat, memakai masker tak ubahnya memakai kondom saat bercinta.
Mereka tak ingin terjadi seperti itu. Ada pertarungan kuasa dan persepsi dalam relasi gender di baliknya. Politik dan politisasi di baliknya menjadikan penanganan pandemi di Amerika Serikat menjadi kacau balau. Boleh disebut, kasus kematian akibat COVID-19 di Amerika Serikat hampir sepertigas total kasus sedunia. Amerika Serikat di masa Trump menjadi satu-satunya negara kaya paling terdampak dengan COVID-19, Inggris menyusul berikutnya.
Namun pandemi tak akan berakhir hanya dengan mengurusi orang penolak masker. Vaksin tetap menjadi satu-satunya cara masuk akal melawan pandemi COVID-19. Ilmuwan di sekujur dunia kini tengah berjibaku merealisasikannya. Pro kontra juga mengelilinginya, termasuk di tanah air setelah terbetik kabar tim akademisi Unair dan TNI dibantu BIN tengah meriset calon vaksin COVID-19.
Selain China dan Amerika Serikat, seperti ditulis Katadata, adu cepat riset vaksin COVID-19 juga melibatkan sejumlah negara maju lainnya, seperti Jerman, Inggris dan India. Tiadanya kepemimpinan global menjadikan dunia tak memiliki strategi global melawan virus COVID-19.
Kepemimpinan penting, karena hanya melalui kelembagaan itulah, publik dapat dirangkul dan diyakinkan bersama-sama menangkal pandemi, minimal memahami cara berdamai dengan COVID-19, bukan dengan memasang baliho kepala daerah besar-besaran! (*)