Lockdown Batam? Tak Semudah Meliburkan Anak Sekolah di Kepri

presiden jokowi menegaskan kebijakan lockdown wewenang pemerintah pusat dan bukan kewenangan daerah/foto ilustrasi via nandirwilliams.com

Lockdown Batam? Tak Semudah Meliburkan Anak Sekolah di Kepri

angkaberita.id – Malaysia mengumukan lockdown selama dua pekan demi membendung penyebaran pandemi COVID-19. Perdana Menteri Muhyiddin Yassin mengumumkan sendiri keputusan itu, Senin waktu setempat.

Seruan serupa juga terdengar di tanah air. Bahkan, seorang anggota DPR meminta lockdown dimulai di tiga kota gerbang utama ke tanah air, yakni Batam, Jakarta dan Bali.

Presiden Jokowi menjawab seruan itu. Katanya, kebijakan lockdown merupakan otoritas pemerintah pusat. “Dan sampai saat ini, tidak ada kita berpikiran ke arah kebijakan lockdown,” tegasnya di Istana Bogor, Senin (16/3/2020).

Selain Malaysia, mengutip riset Katadata, setidaknya terdapat sejumlah negara melakukannya, terutama di eropa setelah organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebut benua biru kini menjadi episentrum penyebaran pandemi COVID-19.

Selain Italia, mengutip data itu, terdapat tujuh negara eropa lainnya “mengunci rapat-rapat” negaranya, yakni Spanyol, Jerman, Prancis, Belanda, Austria, Norwegia dan Denmark. Praktis, begitu resmi lockdown maka seluruh aktivitas di dalamnya terhenti. Penduduk terkarantina secara massal.

Dari luar tak bisa masuk, di dalam tak boleh keluar. Bahkan, Italia menyiapkan hukuman penjara dan denda kepada warga nekat tanpa alasan jelas. Belakangan, kebijakan ini memicu kerusuhan di penjara. Selain lansia, narapidana merupakan mereka yang berisiko tinggi terjangkit COVID-19.

petugas kepolisian berjaga-jaga di penjara sant anna di italia saat terjadi kerusukan di penjara sebagai protes penerapan lockdown di italia/foto Piero CRUCIATTI / AFP via Getty Images via cnn.com

Berdasarkan pertimbangan banyaknya negara lockdown ini pula, Kemendagri melarang pejabat di tanah air, terutama pejabat daerah membatasi bepergian ke luar negeri.

Dikhawatirkan mereka tak bisa kembali lantaran tertahan pulang akibat negara tujuan tiba-tiba lockdown akibat COVID-19. Lalu apa lockdown itu? Apa syarat dan dampaknya secara sosial ekonomi bagi negara bersangkutan?

Mengutip Cambridge Dictionary, lockdown merupakan situasi seseorang dilarang keluar masuk secara bebas suatu wilayah akibat kondisi gawat darurat.

Selain melarang pergerakan, tujuan lockdown sejatinya ialah mengkarantina wilayah bersangkutan mengantisipasi kondisi gawat darurat tadi, semisal akibat merebaknya wabah penyakit dan sebagainya.

Karantina akibat wabah secara massif (pandemi) juga bukan ikhwal baru. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) di Amerika Serikat, bahkan menyebut isolasi massif seperti itu juga pernah terjadi di masa abad pertengahan saat wabah lepra dan sampar menghajar dunia.

Di tanah air, pemerintah juga telah memiliki payung hukum soal itu. Bisa dilakukan terbatas di satu daerah, atau bahkan secara nasional. Begitu diputuskan lockdown, negara harus menjamin kebutuhan dasar penduduk di dalamnya sesuai UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina.

Ada karantina rumah, karantina rumah sakit, hingga karantina wilayah. Namun pemerintah telah memagari kemungkinan lockdown parsial dengan menyebutnya kewenangan terkait di tangan pemerintah pusat. Dalam kasus COVID-19, tentu setelah mempertimbankan masukan dari gugus tugas COVID-19 bentukkan Keppres No. 7 Tahun 2020.

Persoalannya, keputusan lockdown tak bisa semata berdasarkan alasan kesehatan saja, namun juga mencakup pertimbangan lainnya, termasuk kemungkinan dampak sosial ekonomi, politik dan sebagainya. Tak heran, di Amerika Serikat, tak seluruh negara bagian mengunci wilayahnya, kecuali California.

Pun, Filipina hanya mengunci kawasan ibukota negara di Manila, bukan seluruh Filipina. Dampak kesehatan, sosial ekonomi dan politis akibat keputusan tersebut menjadikan posisi pemerintah dilematis, persis istilah prisoner’s dilemma. Tak heran, pemerintah masih memilih pendekatan social distancing.

uasana antrean di supermarket setelah pemerintah spanyol mengumumkan lockdown. garis kuning hitam menggabarkan alur harus dilalui seorang warga sebelum masuk ke meja kasir supermarket/foto cnn.com

Apalagi, berkaca dari kasus Italia tak selalu keputusan lockdown menekan laju kasus infeksi COVID-19. Harian Wall Street Journal bahkan sampai pada kesimpulan, kini dunia terbelah ke dalam dua kutub dalam perang melawan pandemi COVID-19.

Ironisnya, keduanya berhadapan secara diametral akibat tiadanya kepemimpinan dan strategi global dalam menghadapi COVID-19, seperti dikritisi Presiden SBY belum lama ini. Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump tak bisa diharapkan. Padahal dulunya Amerika Serikat selalu mengambil inisiatif kepemimpinan global.

Sikap abai Trump dan fakta dirinya meniadakan panglima khusus isu kesehatan global di Dewan Keamanan Nasional (NSC) menjadikan langkah dunia kini berlangsung secara sporadis, bahkan mulai terjadi sentimen nasionalisme sempit dalam menyikapi pandemi COVID-19.

Lalu apa hasil dari dua strategi mitigasi berbeda itu? Aljazeera menulis, begitu lockdown kasus COVID-19 di Italia langsung melejit, dan Korea Selatan dalam rentang waktu sama justru melambat. Keduanya dianggap representasi perbedaan strategi mitigasi. Setelah China, Italia dan Korea Selatan bersama Iran menjadi episentrum COVID-19.

Pemerintahan Jokowi memilih berhati-hati menghadapi pandemi COVID-19. Selain memberikan daerah kewenangan tertentu menghadapi COVID-19, seperti meliburkan sekolah dan sebagainya, termasuk di Kepri, pemerintah juga menambah jumlah rumah sakit rujukan di tanah air, termasuk menyiapkan rumah sakit khusus di Pulau Galang Batam.

Belum lagi kebijakan fiskal dan insentif demi tetap menggerakkan perekonomian. Terbaru Menkeu dan Mendagri memberikan daerah kelonggaran mengubah skema APBD-nya demi perang menghadapi COVID-19.

Namun perang agaknya masih bakal berlangsung lama seiring meningkatnya kasus COVID-19 di tanah air. Hingga 16 Maret, tercatat 134 kasus di tanah air, atau terjadi penambahan 17 kasus baru 14 di antaranya di Jakarta.

(*)

Bagikan