Sumber PAD (10): Penerbangan Domestik, Pindahkan Home Base Rute Lokal Ke Pinang

angkaberita - Gubernur Ansar sempat mengiba ke pemerintah pusat agar mempertimbangkan kebijakan efisiensi, termasuk di Kepri. Sebab, dengan pemangkasan SPPD instansi pemerintah, khususnya Pemprov, kondisi Bandara Raja Haji Fisabillah di Tanjungpinang menjadi sepi. Penerbangan terbatas, jadwal terbang berkurang.

Sebab, klaim dia, SPPD menjadi penggerak aktivitas ekonomi di Bandara Pinang. Bahkan, porsinya 30 persen. Sayangnya, ikhtiar dia hanya sebatas itu, meskipun di depan pembesar Jakarta di Batam berkoar Pemprov mendorong pembukaan rute baru penerbangan perintis di Kepri.

Seperti Tanjungpinang ke Tambelan, Dabo Singkep-Batam, dan Letung-Ranai. Di semua rute tadi memang telah berdiri bandara lokal, sebagian berstatus Lanud kelolaan TNI AU. Bahkan, Gubernur Ansar telah membayangkan jenis pesawat pengisi rute tadi.

Yakni, berbadan kecil dan mesin baling-baling, sejenis Fokker. Pemprov nanti membelinya lewat pihak ketiga, dengan kompensasi rute penerbangan perintis terisi. Tapi, tak dijelaskan skema komitmen Pemprov menghidupi rute tadi, termasuk jurus subsidi seperti sebelum-sebelumnya.

“Terobosan konektivitas antarwilayah di Kepri melalui penyediaan transportasi udara pesawat jenis Fokker,” kata Gubernur Ansar sembari menyodorkan potensi ratusan miliar per tahun ke PAD Kepri. Tapi, dengan kondisi APBD Kepri sekarang, dia agaknya harus menunda dulu beberapa tahun ke depan.

Baca juga :  Lawan Perundungan Anak, Kepri Geber Puspaga Mengajar Ke Sekolah

Rekayasa Kebijakan

Kecuali Gubernur Ansar berani mengeluarkan kebijakan drastis, lewat rekayasa kebijakan dengan memindahkan home base rute penerbangan lokal dan perintis dari Batam ke Tanjungpinang. Dua tantangannya, yakni meyakinkan maskapai dan melobi BP Batam.

Pertama, meyakinkan maskapai beroperasi di Kepri, termasuk rute komersial, berpindah dari Bandara Hang Nadim ke Bandara Raja Haji Fisabilillah. Kedua, melobi BP Batam, pengelola Bandara Hang Nadim, berbagi “kue” penerbangan domestik dan komersial.

Sebelum melangkah ke situ, Pemprov perlu mempersiapkan kompensasi kepada mereka. Kuncinya, untuk sebagian, Pemprov harus meyakinkan BP Batam berbagi “kue” penerbangan. Karena Hang Nadim berstatus bandara internasional, alias mereka melayani rute internasional dan luar Kepri saja.

Mirip kebijakan pengelolaan bus, yakni antar kota antar provinsi (AKAP) dan antar kota dalam provinsi (AKDP). Nah, Hang Nadim kelola rute AKAP saja. Sedangkan RHF Pinang rute AKDP, seperti rute lokal dan perintis. Jika sukses, Pemprov tinggal melobi maskapai menerbangi rute dari dan ke Tanjungpinang.

Baca juga :  Sumber PAD (1): Wajibkan Kendaraan Pelat Luar Daerah (Kepri) Setahun Balik Nama Lewat Perbup/Perwali

Sebab, Tanjungpinang ibukota Kepri. Hampir seluruh penerbangan di Tanah Air menerbangi rute ibukota. Dengan terbang ke Tanjungpinang, dengan sendirinya arus penumpang dan kunjungan ke ibukota Kepri meningkat, termasuk dari arus SPPD nantinya.

Efek lanjutannya, Pemprov dapat menugaskan Bapperenlitbang Kepri mengkajinya. Sehingga, pada akhirnya, SPPD memang “menghidupi” Bandara Tanjungpinang. Sebab, tujuan SPPD sebagian besar berkoordinasi dengan Pemprov.

Ujungnya, terjadi “keakraban” (bonding) pejabat kabupaten/kota dengan Pemprov lantaran frekuensi SPPD ke Tanjungpinang. Dengan kondisi itu, kue ekonomi SPPD ke Batam berkurang, meskipun sejatinya justru membantu pemerataan kue pariwisata di Kepri. Selama ini, terkonsentrasi ke Batam-Bintan.

“Kalau mereka protes, kenapa harus terbang lewat Pinang ke Lingga, orang Pinang dapat jawab, kita juga telah berkorban selama ini, terbang ke Natuna dari Batam,” tutur kalangan paham desain kebijakan publik berargumentasi. Selebihnya, Pemprov meyakinkan maskapai. Karena entitas bisnis, jika kompensasi masuk akal dan businesable, hanya soal waktu mereka berpindah home base ke Tanjungpinang dari Batam.

(*)

Bagikan