Permasalahan Dan Peluang Sektor Pertanian Di Indonesia

Zunadi *)

Sampai saat ini sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian dan merupakan tempat bergantung bagi jutaan orang di Indonesia. Pada tahun 2023 sektor pertanian menyumbang sebesar 12,53 persen bagi Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 28,21 persen pekerja atau mampu menyerap lebih dari 35 juta pekerja.

Meskipun peranannya dalam penciptaan PDB dan penyerapan tenaga kerja terus mengalami penurunan namun sektor pertanian tidak bisa diabaikan begitu saja. Sektor pertanian adalah penghasil pangan yang diperlukan bagi populasi yang terus tumbuh. Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat dunia (lebih dari 278 juta jiwa pada tahun 2023) harus mempunyai tingkat kedaulatan pangan yang memadai. Sangat tidak arif dan cukup berbahaya menggantungkan pemenuhan kebutuhan pangan pokok dari impor.

Sektor pertanian terbukti dalam beberapa kali krisis mempunyai tingkat ketahanan yang lebih baik dibanding dengan sektor-sektor lain. Pada tahun 2020 pada saat terjadi pandemi Covid-19 ekonomi Indonesia terkontraksi 2,07 persen, namun sektor pertanian mampu tumbuh positif sebesar 1,75 persen dan mampu menjadi katup pengaman bagi penurunan tingkat kesempatan kerja. Demikian juga pada saat krisis ekonomi tahun 1998 pada saat ekonomi Indonesia terkontraksi cukup dalam yaitu sebesar 14,78 persen sektor pertanian justru tumbuh sebesar 0,22 persen.

Permasalahan Sektor Pertanian

Dibalik peran dan potensinya yang luar biasa sektor pertanian menghadapi permasahan yang apabila tidak ditangani dengan serius akan mengancam ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Permasalahan-permasalahan penting yang muncul antara lain sebagai berikut: kualitas SDM yang rendah dan regenerasi pertanian, alih fungsi lahan pertanian, peningkatan jumlah petani gurem dan kesenjangan penguasaan lahan, ketersediaan dan harga input yang sering bermasalah, ketergantungan impor yang cukuptinggi, dan ancaman dampak climate change.

Kualitas SDM pertanian menjadi masalah terpenting. Petani kita didominasi oleh petani dengan pendidikan yang relatif rendah. Petani kita sebesar 60,72 persen hanya berpendidikan SD ke bawah,  petani dengan pendidikan terakhir SMP sebesar 16,81 persen, dan petani dengan pendidikan SMA sebesar 18,42 persen. Sebaliknya petani dengan pendidikan perguruan tinggi hanya sebesar 4,05 persen.

Selain masalah rendahnya kualitas SDM, masalah regenerasi pertanian merupakan isu yang harus disikapi dengan baik. Sektor pertanian bagi sebagian besar generasi muda dipandang kotor, berat, risiko tinggi, tingkat upah/keuntungan rendah dan tidak bergengsi sebagaimana sektor lain. Jika dilihat dari kelompok umur, petani kita didominasi oleh kelompok umur tua.

Sebagai gambaran, petani dengan usia 65 tahun ke atas sebesar 16,68 persen, petani dengan usia 55-64 tahun sebesar 23,67 persen,  petani dengan usia 45-54 tahun sebesar 27,51 persen, dan hanya sebesar 21,92 persen petani dengan rentang umur  35–44 tahun. Rendahnya pendidikan dikombinasikan dengan usia petani yang cenderung tua menyebabkan lambatnya adopsi teknologi, produktivitas relatif rendah, pendapatan yang diperoleh rendah dan pada gilirannya tingkat kesejahteraan petani juga akan rendah.

Kondisi yang mengancam sektor pertanian berikutnya adalah alih fungsi lahan pertanian. Kebutuhan yang tinggi akan lahan untuk perumahan, industri, dan pengembangan perkotaan telah nyata mengancam sektor pertanian melalui konversi lahan subur untuk pemukiman dan pengembangan perkotaan. Jika laju konversi lahan pertanian tidak ditanggulangi dengan baik tentu saja akan mengancam produksi pangan kita. Tidak mengherankan produksi padi nasional mengalami penurunan yang signifikan dan puncaknya dikonfirmasi dengan impor beras yang mencapai jumlah 3,06 ton pada tahun 2023. Sebuah jumlah yang sangat luar biasa.

Permasalahan yang tidak bisa dianggap enteng berikutnya adalah meningkatnya jumlah petani gurem dan kesenjangan penguasaan lahan. Petani gurem secara definisi adalah petani yang mengusahakan lahan petanian kurang dari 0,5 hektare. Hasil Sensus Pertanian 2023 menunjukkan 61,67 persen rumah tangga pertanian di Indonesia merupakan petani gurem, persentase ini meningkat dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2013 yang sebesar 55,95 persen.

Lebih jauh, rata-rata penguasaan lahan petani gurem menurun dari 0,18 hektare pada tahun 2013 menjadi 0,15 hektare pada tahun 2023. Sempitnya luas lahan garapan ini menyebabkan skala usaha yang tidak optimal, terhambatnya inovasi dan adopsi teknologi pertanian dan pada gilirannya pendapatan petani yang tidak memadai.  Masalah petani gurem ini diperparah dengan fenomena kesenjangan penguasaan lahan yang terkonfirmasi oleh hasil Sensus Pertanian 2023.

Persentase rumah tangga petani gurem yang mencapai lebih dari 61 persen ini hanya menguasai lahan sekitar 13 persen. Sementara itu, rumah tangga yang mempunyai luas lahan di atas 3 hektar (petani kaya) yang jumlahnya hanya 4,73 persen, menguasai lebih dari sepertiga luas lahan pertanian.

Permasalahan berikutnya adalah ketersediaan dan harga input pertanian yang relatif mahal dan kadang sulit diperoleh. Harga pupuk beberapa tahun terakhir ini meningkat cukup tajam. Menurut data BPS impor pupuk meskipun tercatat volumenya menunjukkan tren yang menurun, namun pada tahun 2023 impor pupuk Indonesia tercatat masih sebesar 5,38 juta ton. Ketergantungan pada impor ini yang menyebabkan kelangkaan dan naiknya harga pupuk pada tahun 2022 karena penghentian ekspor pupuk dari Tiongkok dan Rusia dalam rangka mengamankan kepentingan pertanian mereka sendiri.

Permasalahan berikutnya adalah produk pangan utama kita seperti beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan susu kita belum swasembada. Tingkat ketergantungan pada impor masih cukup mengkhawatirkan. Sebagai negara agraris ini tentu saja sangat ironi. Pada tahun 2023, beberapa komoditas penting pangan masih impor. Sebagai ilustrasi pada tahun 2023 impor beras tercatat mencapai 3,06 juta ton, impor jagung mencapai 1,35 juta ton, bahkan impor kedelai mencapai lebih dari 2 juta ton.

Dalam lima tahun terakhir impor daging sapi dan susu menunjukkan peningkatan yang tajam. Pada tahun 2023 impor daging sapi tercatat sebesar 241,38 ribu ton dan impor susu tercatat 329,95 ribu ton. Ketergantungan terhadap impor yang tinggi sangat berbahaya karena pada saat terjadi krisis suplai pangan negara-negara pengekspor akan mementingkan keamanan pangan domestik mereka dahulu (safety first).

Permasalahan berikutnya untuk dikelola dengan baik adalah peristiwa perubahan iklim ekstrem El-Nino dan La-Nina yang mengakibatkan kekeringan dan banjir/genangan serta pergeseran musim tanam di Indonesia. Pergeseran musim yang tidak menentu menyulitkan petani dalam menentukan masa tanam dan masa panen mereka. Sementara itu, kemarau panjang meningkatkan resiko kelangkaan air, kebakaran hutan, hilangnya kesuburan tanah, dan penurunan kualitas tanaman yang memicu potensi kegagalan panen yang tinggi.

Demikian juga banjir dapat menyebabkan gagal panen dan penurunan produksi pangan secara signifikan. Pada tahun 2023, dampak perubahan iklim dirasakan oleh petani di Indonesia. Dari total unit usaha pertanian yang mengalami penurunan luasan panen, sebanyak 11,3 persen di antaranya disebabkan oleh faktor kekeringan. Jenis komoditas tanaman yang paling terdampak akibat kekeringan yaitu komoditas padi sawah, jagung, kacang-kacangan, ubi kayu, tembakau, dan cabai. Selain itu, sebanyak 7,44 persen unit usaha pertanian juga mengalami penurunan produksi akibat bencana banjir

Unjuk Saran

Di samping permasalahan pertanian yang cukup mendasar dan saling berkelindan, terdapat peluang membangun pertanian yang cukup besar. Pertama, permintaan akan produk pangan yang akan terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas seiring dengan peningkatan populasi dan peningkatan pendapatan. Kedua, harga pangan global yang cenderung terus meningkat akan memberikan insentif untuk budi daya komoditas pangan.

Ketiga, teknologi budi daya pertanian yang terus berkembang memungkinkan untuk terus meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Keempat, peluang untuk melakukan hilirisasi terhadap produk-produk pertanian untuk memenuhi permintaan konsumen yang bervariasi. Kelima, keinginan kuat dari Pimpinan Nasional saat ini untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan.

Dengan memperhatikan permasalahan dan peluang untuk pembangunan pertanian dapat diajukan saran sebagai berikut:

  1. Mengingat komposisi petani kita didominasi oleh petani dengan pendidikan rendah dan petani dengan kelompok umur relatif tua. Perlu pendekatan yang spesifik dalam peyuluhan pertanian yang mengutamakan learning by doing melalui demontrasi plot (demplot) dan percontohan-percontohan yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Penguatan kelembagaan seperti kelompok tani dan kantor-kantor penyuluhan pertanian perlu direvitalisasi. Dari banyak penelitian menunjukkan adopsi teknologi pertanian akan lebih tinggi pada petani yang menjadi anggota kelompok tani dibanding yang tidak.
  2. Penting untuk melakukan Upaya pengendalian konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Meskipun Langkah ini sulit dan banyak tantangannya namun perlu diupayakan secara ketat mengingat lahan pertanian yang subur jumlahnya terbatas dan pengadaan lahan pertanian baru memerlukan investasi yang besar. Banyak langkah bisa dilakukan diantaranya; lahan-lahan pertanian di tepi jalan biasanya mempunyai NJOP yang tinggi sehingga pajak yang harus dibayar juga tinggi. Untuk memberikan insentif agar petani tetap mempertahankan lahannya perlu dilakukan insentif pajak. Selain itu, proses perijinan yang ketat terhadap pendirian bangunan perlu dilakukan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke nonpertanian.
  3. Tingginya proporsi petani gurem perlu diantisipasi dengan baik. Perlu dipilih teknologi yang tepat guna dan sesuai dengan kondisi skala usaha mereka. Skala usaha yang sangat kecil ini tentu tidak memungkinkan untuk melakukan research sendiri, membeli alat mekanisasi pertanian sendiri, dan melakukan pemasaran secara efisien. Sangat penting untuk menguatkan kembali peran koperasi dalam penyediaan input, pembiayaan mikro, dan pemasaran hasil-hasil pertanian. Keikutsertaan petani dalam koperasi akan memperkuat posisi tawar petani secara kolektif dalam mendapatkan harga yang wajar baik harga sarana produksi pertanian maupun harga produk pertanian. Sempitnya luas lahan garapan hampir dapat dipastikan rumah tangga petani tidak bisa menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian saja. Banyak anggota rumah tangga petani sebagai multi job holder, tidak sedikit yang bekerja ulang-alik ke kota sebagai buruh di sektor konstruksi, pedagang keliling, dan pekerja informal lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.  Hilirisasi pertanian melalui agroindustri di pedesaan bisa menjadi alternatif untuk membuka lapangan kerja di luar sektor pertanian disamping akan memberikan nilai tambah pada produk pertanian. Program transmigrasi merupakan langkah yang patut diaktifkan lagi untuk mengurangi beban di Jawa dan melakukan ekstensifikasi ke luar Jawa sekaligus merekatkan persatuan bangsa melalui akulturasi budaya.
  4. Perlu dibangun kemandirian penyediaan pupuk dan pakan ternak agar masalah kelangkaan dan gejolak harga input bisa diatasi. Dengan keseriusan upaya ini sangat mungkin dilakukan mengingat Indonesia kaya akan sumber daya alam di samping permintaan akan pupuk dan pakan diproyeksikan akan terus meningkat.
  5. Penting untuk melakukan peningkatan produksi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap komoditas pangan strategis seperti: beras, jagung, kedelai, daging sapi dan susu. Potensi lahan tidur perlu diidentifikasi dan dikembangkan untuk meningkatkan produksi pangan. Potensi pangan lokal perlu digali dan dikembangkan melalui diferensiasi produk yang diterima oleh konsumen untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras.
  6. Antisipasi dan mitigasi terhadap Climate Change perlu dipersiapkan dengan baik. Laju deforestasi perlu dikendalikan dengan baik, program reboisasi perlu ditingkatkan untuk mengurangi risiko banjir dan berkurangnya air tanah. Penelitian dan penggunaan varietas tahan kering dan varietas tahan banjir perlu dikembangkan dan diaplikasikan pada wilayah yang bersesuaian untuk mengurangi risiko perubahan iklim.

Dengan sinergi dan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan: pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi dan kelembagaan pertanian, Indonesia akan mampu mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan. Torehan sejarah Indonesia yang pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 akan terulang lagi bahkan mungkin juga pada komoditas pangan yang lain.

*) Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi DIY

DISCLAIMER: Setiap tulisan di rubrik kolom sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya masing-masing

Exit mobile version