Pilwako Tanjungpinang, Jangan Tertawakan Stunting

 

angkaberita.id – Soal stunting di Bumi Gurindam mendadak naik daun sehabis debat Pilwako Tanjungpinang. Biskuit hiu menjadi isu panas. Polemik stunting terjadi di tengah sukses Pemko menurunkan angka prevalensi, setidaknya berdasarkan hasil SKI 2023.

Gaduh stunting mencuat saat Pemko gigit jari lantaran tak mendapatkan sama sekali dana insentif fiskal di tahun 2024, termasuk dari penanganan stunting. Padahal, tahun 2023 Pemko Tanjungpinang mendapatkan belasan miliar, sehingga Pj. Wako saat itu mengklaim bakal jor-joran membelanjakan ke program khusus kesejahteraan warga, termasuk stunting.

Sejatinya tak ada ikwal keliru soal biskuit hiu bagi stunting, meskipun Kemenkes telah meniadakan kebijakan bantuan biskuit bagi anak stunting di tahun 2023. Pemicunya bukan karena kandungan daging hiu, tapi semata jajaran birokrasi di bawah keliru menerjemahkan kebijakan. Mereka memberi anak stunting dengan biskuit tinggi gula dan karbohidrat. Padahal, stunting identik dengan kekurangan protein.

Apalagi biskuit hiu tadi disebut-sebut ada hasil riset dari perguruan tinggi. Secara teori, biskuit hiu telah lolos saringan ilmiah. Ujungnya, jika bukti empiris juga ada, biskuit hiu berarti masuk akal. Selebihnya, biskuit hiu juga mencerminkan lokalitas Kepri, provinsi kaya ikan.

Meski demikian, biskuit stunting tak menyelesaikan persoalan stunting secara menyeluruh. Ia merupakan intervensi di hilir, sedangkan stunting merupakan kerja pencegahan di hulu. Jadi, skenario penguatan dan pemberdayaan Posyandu masuk akal. Hanya saja, ini juga merupakan kebijakan nasional. Pemda nantinya wajib mengeksekusi.


Pekerjaan Rumah

Dengan kondisi APBD defisit, penanganan stunting menjadi krusial bagi Pemko Tanjungpinang. Sebab, pemerintah mengganjar kerja keras Pemda dengan insentif dana fiskal miliaran rupiah. Artinya, itu bakal menjadi pekerjaan rumah siapapun Wako Tanjungpinang terpilih nanti di ujung November 2024. Apalagi stunting merupakan kerja pentahelix, alias melibatkan banyak OPD.

Penyakit birokrasi ada dua, termasuk di Pemda, yakni perbedaa anggaran dan sumber anggaran serta sindrom Bystander Effect, alias kalau sudah ada pihak menangani stunting, OPD terkait lain akan pura-pura tutup mata. Padahal, kesuksesan di satu OPD tanpa dibarengi keberhasilan OPD lain dalam rantai pentahelix membereskan tanggung jawab mereka, tak ubahnya kerja menegakkan benang basah.

Wako dengan sendiri menjadi kunci dari kinerja stunting, dan Sekda menjadi tangan kanan memastikan OPD tidak sekadar menggugurkan kewajiban mengurus stunting. Pekerjaan rumah lainnya ialah politik anggaran, khususnya soal stunting. Kepiawaian Wako akan terlihat saat mengalokasikan porsi anggaran berdasarkan cascading tanggung jawab stunting.

Sebab, kini Pemko bukan hanya tengah defisit, tapi juga OPD penghasil banyak berkinerja memble. Soal Posyandu, berdasarkan data Dinkes Kepri, juga belum seluruhnya terbentuk. Khususnya Posyandu Remaja, target utama kebijakam hulu stunting, malah baru hitungan jari di Tanjungpinang. Khusus biskuit stunting, tantangan nantinya adalah beranikah Wako nanti mengadopsinya menjadi intervensi kebijakan mereka saat berkuasa.

Selebihnya, Posyandu dan Biskuit Hiu saling melengkapi. Kesungguhan Wako mengeksekusi, terutama lewat politik anggaran, menjadi kunci penanganan stunting. Syukur-syukur mendapatan dana insentif fiskal. Terakhir, Prabowo-Gibran menjadikan stunting “musuh bersama”, bukan hanya lewat “makan siang gratis” tapi juga Kementerian baru dan Wakil Menteri baru. Karena itu, tantangan Wako nantinya memimpin birokrasi menangani stunting. Jadi, jangan tertawakan stunting!

(*)

Bagikan