Gaduh RUU Kesehatan, Kemenkes Kalahkan Organisasi Profesi?
angkaberita.id - Langkah pemerintah melalui Kemenkes membendung banjir pasien berobat ke luar negeri, terutama Malaysia dan Singapura, tak berlangsung mulus. RUU Kesehatan menuai polemik lantaran sejumlah organisasi profesi keberatan dengan kandungan perundangan tadi, terutama soal kewenangan Kemenkes.
Meski demikian, sejumlah pengelola rumah sakit masih berharap polemik tak mengakhiri nasib RUU Kesehatan. Preskom PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO), John Riady meyakini polemik akan selesai. Karena menguntungkan calon pasien di Tanah Air.
"RUU Kesehatan digagas untuk menjadi regulasi yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan di Indonesia, baik dari aspek peningkatan layanan kepada masyarakat, kualitas sumber daya manusia (SDM) kesehatan, pemerataan dokter spesialis, dan aspek bisnis," kata John, seperti dilansir merdeka.com, Selasa (7/3/2023).
SILO sendiri mengelola jaringan rumah sakit Siloam di Tanah Air. Konon, RUU Kesehatan lahir lantaran tingginya belanja devisa kesehatan ke luar negeri, terutama Malaysia dan Singapura. Berdasarkan data, tahun 2022 sebanyak dua juta WNI berobat ke luar negeri. Seperti ke Malaysia, Singapura, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat.
Tak sedikit di antara mereka, sejumlah pejabat dan politisi di Tanah Air. Akibat tingginya belanja devisa tetirah tadi, setiap tahunnya kas negara kehilangan duit Rp 165 triliun. Membanjirnya pasien berobat ke luar negeri akibat problem kualitas dan tak tersebarnya secara merata dokter spesialis.
"Sumber utama permasalahan adanya ketimpangan SDM kesehatan dengan cakupan layanan, baik luasnya wilayah serta jumlah populasi," kata John. Obatanya hanya dengan mencetak lebih banyak dokter spesialis. Sebab, data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Indonesia hanya memiliki 54.000 dokter spesialis.
Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa, rasionya 2:10.000 pasien, sehingga sangat timpang. Belum lagi, mereka juga tak tersebar merata di sekujur negeri. Kondisi di daerah paling parah, tercatat 647 RSUD tak memiliki dokter spesialis seperti anestesi, bedah, genokologi, obstetric, dan spesialis anak.
"Maka layanan kesehatan pun menjadi rentan dan tidak merata," kata John. Akibatnya, secara bisnis makro, industri kesehatan nasional kalah bersaing. Nah, RUU Kesehatan semangatnya menggenjot jumlah SDM kesehatan, terutama dokter spesialis dengan menyederhanakan proses pendidikan mereka.
Yakni, sarjana kedokteran, co-asistensi selama dua tahun, hingga internship alias magang. Calon dokter spesialis juga diwajibkan mengantongi rekomendasi dari Pemda setempar dan organisasi profesi. Terakhir, sebelum buka praktik, mereka wajib memiliki surat tanda register (STR) dan surat izin praktik.
Problemnya, langkah penyederhanaan tadi memancing polemik karena dinilai mengabaikan organisasi profesi dan bersidat sentralistik di Kemenkes. Faktanya, Indonesia hanya memiliki 92 fakultas kedokteran, hanya 20 di antaranya memiliki program spesialis. Pro kontra lainnya, regulasi terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), termasuk BPJS Kesehatan. Mencuat usulan agar soal BPJS melibatkan pembahasannya dengan pemberi kerja.
(*)